> >

Perjanjian Perdagangan Bebas Dinilai Belum Dimanfatkan Maksimal

Ekonomi dan bisnis | 6 September 2021, 12:44 WIB
Ilustrasi: Perjanjian dagang internasional (Sumber: freepik.com/xb100 )

JAKARTA, KOMPAS.TV – Perjanjian dagang internasional dinilai belum dimanfaatkan secara maksimal untuk mendorong industrialisasi dan mengamankan posisi Indonesia dalam rantai pasok dunia.

Mengingat, perjanjian dagang sebagai sektor yang bernilai tambah tinggi dan menyerap banyak tenaga kerja, seharusnya bisa sebagai strategi untuk menarik investasi dan mendorong industrialisasi.

Jadi, bukan hanya berurusan dengan kinerja perdagangan barang dan jasa negara-negara yang terlibat kerja sama. Demikian disampaikan Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani.

Menurutnya,  pelaku usaha menyambut dengan antusias perjanjian dagang terbaru dengan UEA yang ditargetkan dapat rampung dalam waktu singkat selama satu tahun. 

Namun, ia mengingatkan, kunci utama dari perjanjian internasional tidak berakhir hanya pada penyelesaian negosiasi kerja sama dagang itu sendiri, tetapi pemanfaatan atau utilisasi setelah perjanjian tersebut disepakati. 

“Selama ini, pemanfaatan berbagai perjanjian dagang bebas belum maksimal dimanfaatkan untuk meningkatkan investasi, industrialisasi, serta mengamankan peran Indonesia dalam rantai pasok dunia,” ujarnya, Jumat (3/9/2021).

Apalagi, lanjutnya, jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan ASEAN yang juga memiliki hubungan dagang serupa. 

Diketahui, Indonesia telah mengantongi 23 perjanjian perdagangan internasional. Sebanyak 12 perjanjian sudah mulai berlaku. Sementara yang terbaru, Indonesia memulai perundingan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Emirat Arab (IUAE-CEPA) pada Kamis (2/9/2021).

Baca Juga: Indonesia dan Uni Emirat Arab Segera Lakukan Perundingan Kerjasama Ekonomi

Shinta mencontohkan, perjanjian dagang ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) yang berlaku sejak tahun 2005. Sebelum kerja sama regional itu berlaku, ekspor Indonesia ke China mencapai 7,2 miliar dollar AS pada tahun 2004. Indonesia posisi kelima terbesar di kawasan ASEAN. Dalam 15 tahun setelah ACFTA, ekspor Indonesia meningkat 570 persen. 

“Meski terkesan pesat, kenaikan itu masih kalah dibandingkan Vietnam yang juga tergabung dalam perjanjian dagang yang sama,” ujar Shinta.

Sebagai perbandingan, setelah 15 tahun sejak ACFTA berlaku, Vietnam mampu meningkatkan ekspornya ke China hingga 11.700 persen. 

Contoh lainnya adalah utilisasi perjanjian ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Agreement (AANZFTA).

Pada tahun 2009, sebelum kerja sama itu berlaku, ekspor Indonesia ke Australia mencapai 3,65 miliar dollar AS. Namun, 10 tahun pasca berlakunya AANZFTA, ekspor Indonesia ke Australia justru terkontraksi 14 persen pada tahun 2020. 

Kontraksi itu bukan hanya karena faktor pandemi, tetapi juga faktor internal. Sebab, jika diperhatikan, ekspor Indonesia ke Australia dalam lima tahun terakhir (sebelum pandemi) pun tidak bisa mencapai kinerja maksimal. Berbeda dengan negara lain seperti Vietnam yang kinerja ekspornya ke Australia naik 69 persen atau Filipina yang naik 12 persen.

"Berbagai perjanjian dagang bebas yang diteken Indonesia itu pun belum tampak memperbaiki posisi Indonesia dalam rantai pasok global (global supply chain)," kata Shinta.

Menarik investor

Searah dengan hal itu, Wakil Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI Kiki Verico mengatakan, perjanjian dagang tidak hanya berkaitan dengan kinerja perdagangan barang dan jasa antara negara-negara yang terlibat dalam kerja sama, tetapi terkait dengan strategi menarik investasi yang bisa menjadikan Indonesia sebagai negara basis produksi. 

Pertumbuhan industri manufaktur penting bagi Indonesia yang memiliki tingkat ketimpangan pengeluaran (gini ratio) tinggi serta jumlah penduduk banyak. Terutama, di tengah kondisi krisis ekonomi dan sosial akibat Covid-19 saat ini. 

”Gini ratio kita terus meningkat. Untuk memperbaiki ini, kita perlu meningkatkan sektor yang sifatnya padat karya (labor intensive), yaitu manufaktur,” kata Kiki. 

Pertumbuhan sektor manufaktur Indonesia lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional. Kondisi ini tidak ideal, karena untuk menjadi negara industri maju, laju pertumbuhan industri manufaktur seharusnya berada di atas laju pertumbuhan ekonomi nasional.

Baca Juga: Saling Perkuat Perekonomian, Kadin Indonesia Gandeng Kadin Uni Emirat Arab

 

Penulis : Fransisca Natalia Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV/Kompas.id


TERBARU