> >

Pengakuan Pria Kolombia yang Meninggal Disuntik Mati: Saya Ingin Kematian yang Bermartabat

Kompas dunia | 8 Januari 2022, 17:54 WIB
Victor Escobar, duduk di tepi tempat tidur di kediamannya di Cali, Kolombia, Kamis (6/1/2022). Meskipun bukanlah pasien penyakit yang tidak dapat disembuhkan, Escobar dapat menjalani euthanasia atau suntik mati secara legal pada Jumat (7/1/2022). (Sumber: AP Photo/Ivan Valencia)

CALI, KOMPAS.TV – Untuk kali pertama selama bertahun-tahun, Victor Escobar berhenti meminum obat-obatan untuk penyakit paru yang dideritanya. Obat-obatan itu tak lagi diperlukan.

Pada Jumat (7/1/2022) malam, Escobar jadi orang Kolombia pertama yang menjalani euthanasia atau suntik mati, kendati kondisinya belum berada di ambang kematian. 

“Saya merasakan ketenangan yang luar biasa. Saya tak merasa takut pada apa yang akan terjadi,” ujar Escobar pada Associated Press pekan lalu.

“Mereka bilang bahwa prosesnya akan diawali dengan proses sedasi yang lambat, jadi saya punya waktu untuk mengucapkan perpisahan,” ujar Escobar.

Euthanasia Dilegalkan bagi Pasien Penyakit yang Tak Bisa Disembuhkan

Escobar bukanlah pasien penyakit terminal, atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

Di Kolombia, euthanasia bagi pasien yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dilegalkan.

Escobar menjadi orang Kolombia pertama yang menjalani euthanasia secara legal, kendati bukan pasien penyakit terminal.

Baca Juga: Klinik Eutanasia Jerman Tolak Klien yang Belum Divaksin Covid-19

“Setelahnya baru penyuntikan euthanasia, yang konon tanpa rasa sakit, kematian yang sangat tenang. Saya percaya kepada Tuhan bahwa semua ini akan berjalan seperti seharusnya,” lirih suara Escobar yang duduk di sofa rumah kecil yang dilunasinya dengan uang pensiun senilai Rp3,5 juta per bulan.

Pengacara Escobar, Luis Giraldo, pada Jumat malam mengatakan bahwa proses euthanasia telah selesai dan Escobar dinyatakan telah meninggal dunia.

Escobar adalah orang pertama yang menggunakan keputusan pengadilan tinggi negara pada bulan Juli yang mengubah aturan untuk euthanasia.

Hingga memungkinkan untuk diterapkan pada orang-orang yang mengalami penderitaan fisik atau psikologis yang intens karena penyakit yang parah dan tidak dapat disembuhkan, bahkan jika mereka belum berada di ambang kematian. 

Keluarga Escobar menolak mengungkap nama klinik tempat Escobar menjalani euthanasia.

Baca Juga: Parlemen Spanyol Sahkan Undang-Undang Euthanasia

Kolombia mendepenalisasi atau menghilangkan ancaman pidana atas euthanasia di tahun 1997.

Namun, depenalisasi itu hanya berlaku bagi mereka yang dianggap hanya memiliki waktu hidup kurang dari 6 bulan.  

Jajak pendapat menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat Kolombia mendukung penerapan euthanasia bagi orang-orang seperti Escobar.

Namun, sejauh ini, legislatif belum secara resmi mengikuti jejak pengadilan dengan mengizinkannya secara eksplisit.

Beberapa anggota legislatif bahkan tetap sangat menentang.

Pada Juli, Gereja Katolik mengeluarkan pernyataan, “setiap tindakan atau kelalaian dengan maksud memprovokasi kematian untuk mengatasi rasa sakit, merupakan pembunuhan”.

Escobar menyadari pentingnya kasusnya yang merupakan kasus pertama di Amerika Latin. 

Baca Juga: Nelayan Aceh Minta Disuntik Mati, Trauma karena Didatangi Aparat Setiap Hari

Kematian yang Bermartabat

“Ini pintu agar pasien seperti saya, dengan penyakit degeneratif punya kesempatan untuk (mengalami) kematian yang bermartabat,” ujarnya pada Kamis (6/1/2022).

Bahkan morfin tak mampu meredakan kesakitan yang dirasakan Escobar.

Obat-obatan lain pun, imbuh Escobar, sudah kehilangan efeknya.

Escobar jatuh sakit sejak 2008, setelah dua kali stroke menyebabkan setengah tubuhnya lumpuh.

Setelahnya, ia kemudian mengalami penyakit paru obstruktif kronik, hipertensi, diabetes, arthrosis parah dan sindrom persimpangan costochondral, peradangan menyakitkan di mana tulang rusuk bertemu dengan tulang dada.

Lebih dari dua tahun, Escobar berjuang agar dapat menjalani euthanasia secara legal.

Hakim menolak permohonannya dua kali karena penyakitnya belum dianggap tak dapat disembuhkan. 

Baca Juga: Mereka yang Minta Disuntik Mati: Dari Nelayan Aceh, Penderita Mag Kronis, hingga Lulusan S2

Sebelumnya, pada Oktober lalu, hakim mengizinkan euthanasia sukarela bagi Martha Sepulveda, yang menderita amyotrophic lateral sclerosis, penyakit sistem saraf yang melemahkan otot dan fungsi fisik.

Namun, suntik mati itu dibatalkan beberapa jam sebelum jadwal, setelah peliputan berita intensif membuat komite medis klinik itu berubah pikiran.

Escobar berharap, kasusnya akan mengarah pada legalisasi aktual dan regulasi kematian yang dibantu bagi pasien dengan penyakit non-terminal, atau bisa disembuhkan. 

“Jika kami meminta kematian yang bermartabat, itu karena kami lelah dengan semua penyakit yang menimpa kami,” kata Escobar. “Bagi kami, hidup sudah lama berakhir.”

Penulis : Vyara Lestari Editor : Deni-Muliya

Sumber : Associated Press


TERBARU