> >

Uni Eropa: Sah! Ulat Hong Kong Aman Dimakan Orang Eropa

Kompas dunia | 15 Januari 2021, 06:05 WIB
Dalam foto file 18 Februari 2015 ini, ulat Hong Kong disortir sebelum dimasak di San Francisco, Amerika Serikat. Badan keamanan makanan Eropa mengatakan cacing aman untuk dimakan. (Sumber: AP Photo/Ben Margot)

ROMA, KOMPAS TV — Kini hidangan Mediterania, atau hidangan lezat Prancis maupun Italia, akan mendapat pesaing. Ulat Hong Kong atau yellow mealworm atau larva kumbang (Tenebrio molitor) mendapat ijin Badan Keselamatan Makanan Eropa EFSA untuk digunakan sebagai makanan manusia. 

Badan yang bermarkas di Parma, Italia itu baru saja menerbitkan pendapat ilmiah tentang keamanan Ulat Hong Kong kering dan setuju Ulat Hong Kong itu aman dimakan manusia, demikian dilansir Associated Press hari Kamis (15/01/2021)

Peneliti di badan resmi Uni Eropa itu mengatakan, ulat tersebut, baik dimakan utuh maupun dikeringkan dan dijadikan bubuk, adalah kudapan kaya protein dan boleh menjadi campuran makanan lain. 

Baca Juga: Inggris Resmi Cerai dari Uni Eropa

Dalam pendapat ilmiahnya peneliti mengatakan, mungkin reaksi alergi akan muncul bagi sebagian orang, tapi itu tergantung pakan yang diberikan kepada kumbang penghasil larva ulat Hong Kong, yang dikenal sebagai Tenebrio molitor. 

Namun secara umum, "panel menyimpulkan makanan unik itu aman berdasarkan penggunaan yang disarankan dan porsi yang disarankan. 

Kini, Uni Eropa berdiri di samping ulat Hong Kong menyusul Perserikatan Bangsa-Bangsa yang sebelumnya juga berpendapat sama. 

Organisasi Pangan dan Agrikultur PBB, FAO, tahun 2013 menyimpulkan Ulat Hong Kong sebagai makanan rendah lemak dan kaya protein bagi manusia, hewan peliharaan, maupun ternak.

Baca Juga: Ironi Negara Kaya yang Kelaparan: Jutaan Warga Amerika Menggantungkan Hidup pada Bank Makanan

Jadi, ulat Hong Kong disimpulkan baik bagi lingkungan dan bisa membantu memberi makan mereka yang kelaparan. 

Ulat Hong Kong itu sendiri adalah serangga pertama yang mendapat persetujuan di Eropa sebagai makanan manusia. 

Reuters hari Kamis (14/01/2021) melaporkan, keputusan yang diambil EFSA sehari sebelumnya itu akan membuka jalan bagi ulat Hong Kong digunakan utuh maupun kering dalam hidangan kari misalnya. Ulat Hong Kong juga boleh dibikin menjadi tepung dan diolah menjadi campuran biskuit, pasta, maupun roti. 

Walaupun namanya membuat gentar, ulat Hong Kong adalah larva kumbang dan sebelumnya sudah luas digunakan sebagai kandungan makanan hewan peliharaan, ya itu tadi, karena rendah lemak dan kaya protein. 

Ahli kimia dan ilmuwan makanan EFSA, Ermolaos Ververis kepada Reuters mengatakan, selain rendah lemak dan kaya protein, ulat Hong Kong juga kaya serat.

Baca Juga: Bocah Ini Sempat Kelaparan Karena Dituduh Penyihir, Kondisinya Sekarang Mengejutkan

Diperkirakan tidak lama lagi ulat Hong Kong akan menjadi tamu di pinggan-pinggan hidangan lezat Eropa. 

Dalam penelitian yang berada di bawah pengawasannya, ulat Hong Kong adalah serangga pertama yang dikaji badan Uni Eropa itu dalam kategori aturan "makanan unik" yang mulai berlaku sejak 2018.

Sejak itu, badan tersebut kebanjiran aplikasi kajian "makanan unik" seperti ulat Hong Kong. 

Ermolaos menerangkan, "Masyarakat ilmiah dan industri makanan memiliki ketertarikan sangat besar kepada serangga-serangga yang bisa dimakan,"

Baca Juga: Hidangan Menjijikan Yang Digemari Penduduk Greenland

Orang di seluruh dunia, termasuk di Afrika Australia, dan Selandia Baru, dan juga China serta Asia Tenggara, sudah lama menikmati ulat sebagai hidangan penuh gizi dan protein serta lezat tiada tara.

Di Australia dan Selandia Baru, ulat sudah sering diselipkan dalam burger, maupun dibuat menjadi kudapan menarik yang maknyus. 

Bila Komisi Eropa meratifikasi usulan EFSA ini, tidak akan lama seluruh Eropa akan menyetujui.

Baca Juga: Hidangan Daging Hiu Busuk Dari Islandia

Walau begitu, sebagian sosiolog meyakini ulat Hong Kong akan dihadang masalah psikologis di Eropa, yang artinya Ulat Hong Kong akan sedikit lama untun mendarat di berbagai supermarket seluruh Eropa. 

"Ada alasan kognitif yang hadir dari berbagai pengalaman budaya dan sosial (di Eropa), alasan itu adalah "yuck factor" atau "faktor geli atau jijik" yang akan membuat orang Eropa enggan makan serangga," tutur Giovanni Sogari, peneliti sosial dan konsumen dari Universitas Parma di Italia. 

Namun dia menekankan, "seiring waktu yang berjalan, perilaku diatas bisa berubah,"

EFSA mengatakan sejak 2018 telah menerima 156 aplikasi "makanan unik" untuk dikaji dan diijinkan beredar di Eropa, mulai dari makanan yang berasal dari alga, hingga makanan yang berasal dari beragam jenis serangga.

Penulis : Edwin-Shri-Bimo

Sumber : Kompas TV


TERBARU