> >

Uni Eropa: Sah! Ulat Hong Kong Aman Dimakan Orang Eropa

Kompas dunia | 15 Januari 2021, 06:05 WIB
Dalam foto file 18 Februari 2015 ini, ulat Hong Kong disortir sebelum dimasak di San Francisco, Amerika Serikat. Badan keamanan makanan Eropa mengatakan cacing aman untuk dimakan. (Sumber: AP Photo/Ben Margot)

Ahli kimia dan ilmuwan makanan EFSA, Ermolaos Ververis kepada Reuters mengatakan, selain rendah lemak dan kaya protein, ulat Hong Kong juga kaya serat.

Baca Juga: Bocah Ini Sempat Kelaparan Karena Dituduh Penyihir, Kondisinya Sekarang Mengejutkan

Diperkirakan tidak lama lagi ulat Hong Kong akan menjadi tamu di pinggan-pinggan hidangan lezat Eropa. 

Dalam penelitian yang berada di bawah pengawasannya, ulat Hong Kong adalah serangga pertama yang dikaji badan Uni Eropa itu dalam kategori aturan "makanan unik" yang mulai berlaku sejak 2018.

Sejak itu, badan tersebut kebanjiran aplikasi kajian "makanan unik" seperti ulat Hong Kong. 

Ermolaos menerangkan, "Masyarakat ilmiah dan industri makanan memiliki ketertarikan sangat besar kepada serangga-serangga yang bisa dimakan,"

Baca Juga: Hidangan Menjijikan Yang Digemari Penduduk Greenland

Orang di seluruh dunia, termasuk di Afrika Australia, dan Selandia Baru, dan juga China serta Asia Tenggara, sudah lama menikmati ulat sebagai hidangan penuh gizi dan protein serta lezat tiada tara.

Di Australia dan Selandia Baru, ulat sudah sering diselipkan dalam burger, maupun dibuat menjadi kudapan menarik yang maknyus. 

Bila Komisi Eropa meratifikasi usulan EFSA ini, tidak akan lama seluruh Eropa akan menyetujui.

Baca Juga: Hidangan Daging Hiu Busuk Dari Islandia

Walau begitu, sebagian sosiolog meyakini ulat Hong Kong akan dihadang masalah psikologis di Eropa, yang artinya Ulat Hong Kong akan sedikit lama untun mendarat di berbagai supermarket seluruh Eropa. 

"Ada alasan kognitif yang hadir dari berbagai pengalaman budaya dan sosial (di Eropa), alasan itu adalah "yuck factor" atau "faktor geli atau jijik" yang akan membuat orang Eropa enggan makan serangga," tutur Giovanni Sogari, peneliti sosial dan konsumen dari Universitas Parma di Italia. 

Namun dia menekankan, "seiring waktu yang berjalan, perilaku diatas bisa berubah,"

Penulis : Edwin-Shri-Bimo

Sumber : Kompas TV


TERBARU