Kompas TV kolom opini

Madonna della Piet

Kompas.tv - 13 April 2024, 07:05 WIB
madonna-della-piet
Fresko di Basilika Maria Assumpta atau Domo di Orvieto (Sumber: Trias Kuncahyono)

Oleh Trias Kuncahyono

Kami berdiri berdampingan. Diam. Diam di tengah begitu banyak orang.  Dalam diam, kami membiarkan pikiran bebas mengembara. Menembus zaman.

Menembus zaman seperti tempat kami berada saat itu: Basilika Santo Petrus. Basilika yang menembus zaman: mulai dibangun tahun 1506 menggantikan gereja yang dibangun pada abad keempat; dan masih berdiri kokoh hingga saat ini. Berbagai peristiwa besar-kecil sepanjang zaman yang berbeda,  dilaluinya, dilihat dan dirasakan.

Kami – Bre Redana, sahabat saya sejak masih aktif sebagai wartawan, yang cerpenis, serta novelis dan saya – masih berdiri diam. Orang yang berdiri di kiri-kanan kami, silih berganti. Ada yang berdoa. Ada yang berdiam diri. Bahkan, ada yang berlutut di lantai marmer.

Entah berapa banyak orang yang ada di dalam basilika, siang itu. Dari bahasa yang mereka gunakan saat saling bicara, kami tahu dari mana mereka berasal. Ada yang dari Filipina. Ada yang dari Jepang. Ada lagi yang dari Korea. Ada yang dari Jerman, Rusia, Perancis, Inggris, Mesir.

Baca Juga: Jokowi Lantik 12 Duta Besar LBBP, Ada Teuku Faizasyah hingga Trias Kuncahyono

Dan, ketika ada yang berbicara dalam bahasa Indonesia, tanpa janjian kami berdua bersama-sama, menoleh. Yang, kami lihat sejumlah orang Indonesia. “Hei…” Kami tersenyum.

***

Kembali kami memandang patung wujud Bunda Maria memangku jenazah putranya, Yesus yang baru saja diturunkan dari salib. “Itu patung karya Michelangelo, Pak Bre,” kataku padanya sambil menunjuk patung marmer putih di dalam ruangan di balik kaca di hadapan kami.

“Jadi ini patung Pietà yang kondang itu, ya Pak, ” katanya.

“Ya. Ini patung Madonna della Pietà atau lebih dikenal sebagai La Pietà, atau kalau kita biasa menyebutnya Pietà saja, Pak,” jawabku

Lalu, saya katakan, “Kisah  tentang patung itu, panjang. Mungkin selama  kita di sini dan bercerita tentang  Pietà dan pematungnya, cerita itu belum selesai…” kataku mengawali obrolan kami tentang Pietà, Michelangelo, dan Renaisans, yakni zaman ketika patung itu dibuat oleh pematung, pelukis, dan penyair asal Florence atau Firenze kotanya Nicollo Machiavelli itu.

Baca Juga: "Vox Populi" dan "Vox Diaboli"

Kata Pietà berasal dari kata Italia yang berarti “kasihan” dan kata Latin yang berarti “kesalehan” juga “cinta kasih orang tua kepada putranya.”

Dalam kesedihan dan kehancurannya, Bunda Maria tampak pasrah dengan apa yang telah terjadi. Ia tetap tampak anggun, indah. Sekalipun dalam keadaan tragis.

Patung itu begitu indah. Hidup. Tapi, sekaligus menyayat hati. Betapa tidak menyayat hati. Memilukan. Puluhan tahun sebelumnya, Bunda Maria menggendong bayi Yesus  tapi puluhan tahun kemudian, memangku jenazah Yesus yang penuh luka, sebelum dikafani dan dimakamkan.

Itulah pelukan terakhir kasihnya. Itulah kasih ibu. Kasih yang tak terhingga sepanjang masa. Kata Paus Fransiskus pada audiensi umum (2015),  keibuan itu “lebih daripada sekedar melahirkan anak; itu adalah pilihan hidup, yang memerlukan pengorbanan,” hormat terhadap kehidupan, dan komitmen untuk meneruskan nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan yang sangat penting bagi masyarakat yang sehat.

Masyarakat tanpa ibu-ibu, kata Paus, akan menjadi “masyarakat yang tak manusiawi” karena dalam saat-saat tergelap sekalipun “ibu-ibu adalah saksi-saksi kelembutan, dedikasi dan kekuatan moral.”

Beberapa hari kemudian, ketika kami pergi ke Orvieto, sebuah kota kecil di atas bukit, sekitar 120 menit perjalanan darat dari Roma, kami melihat patung Pietà agak berbeda. Di belakang Bunda Maria, berdiri Nikodimus sambil memegangi tangga. Nikodimus adalah salah satu murid Yesus.

***

Patung Pietà itu menjadi bukti nyata kehebatan Michelangelo. Seniman besar itu mampu  menggambarkan momen ketika Bunda Maria dihadapkan pada kenyataan kematian putranya. Sementara, Yesus digambarkan seolah-olah sedang tertidur lelap, dan bukan seseorang yang berlumuran darah dan memar setelah berjam-jam disiksa dan menderita.

“Sungguh indah.” Komentar Bre Redana. “Ya, sangat indah,” gumam saya lirih.

Memang secara keseluruhan, kedua sosok ini cantik dan ideal, meski menderita. Hal ini menjadi ciri khas karya-karya seni Zaman Renaisans.

Baca Juga: Andreas Brehme, Jelmaan Brietner secerdas Beckenbauer

Renaisans adalah gerakan perubahan besar di Eropa yang terjadi setelah abad pertengahan, antara tahun 1400 – 1600-an. Sekadar sebagai pembanding, ketika itu saat patung Pietà  dibuat 1498-1499, kejayaan Kerajaan Majapahit, kerajaaan Hindu terbesar di seluruh nusantara, di ujung keruntuhannya, dan nantinya digantikan Demak.

Istilah renaissance, renaisans  berasal bahasa Latin renaitre yang terdiri dari dua kata, yakni re berarti kembali dan naitre berarti lahir. Dengan begitu, renaisans dapat diartikan sebagai masa terlahir kembali

Masa kelahiran kembali atau kebangkitan kembali; kembali mempelajari hal klasik dan meninggalkan kebudayaan tradisional yang didominasi oleh tradisi agama berdasarkan teks kitab suci di bawah kekuasaan Gereja atau oleh tradisi Aristotelian selama kurang lebih dua ribu tahun.

***

Di dalam basilika, kami ngobrol. Berjalan pelan-pelan sambil menikmati keindahan fresko, lukisan dinding dan patung-patung karya para seniman zaman Renaisans yang bermula di Florence, kota yang terletak sekitar 273 km sebelah utara Roma itu.

“Florence, top banget, Pak. Apik. Indah,” kata Pak Bre, yang sudah mengunjungi kota yang selain melahirkan Michelangelo (1475 – 1564) juga Niccolo di Bernardo Machiavelli (1469-1527). Dua tokoh yang hidup sezaman ini dikenang album yang berbeda.

Machiavelli adalah seorang pelopor pemikiran teori-teori politik yang sekularistik. Kata Machiavelli pertimbangan kebaikan dan nilai moral bisa ditinggalkan demi keberhasilan politis. Karena pertimbangan moral dan agama dianggap tidak relevan dalam kehidupan politik.

Maka itu, dia lantas dianggap sebagai tidak bermoral karena dipandang menghalalkan segala cara; tujuan menghalalkan cara. Maka “machiavellisme” diartikan sebagai paham yang menghalalkan segala cara: dalam berpolitik menggunakan cara-cara kotor, kejam, licik, dan cara-cara lain sejenisnya.

Padahal kata Sastraprateja (St Sularto, 2003) Machiavelli sebetulnya tak pernah merumuskan patokan “moral” tujuan menghalalkan sarana. Dia hanya bermaksud mengemukakan apa yang bermanfaat bagi yang berkuasa dengan menggunakan penyelidikan obyektif tanpa tambahan pernyataan moral.

Machiavelli mau mengemukakan adanya dua moralitas: moralitas politik dan moralitas pribadi. Dengan kata lain, dalam politik dan dalam berpolitik ada moralitas politik. Moralitas tak bisa dibuang dari politik.

Tapi, sulit dipungkiri  Machiavelli telanjur menjadi simbol sebuah pengertian tentang pemakaian kekuasaan negara yang menolak pertimbangan moral dalam berpolitik.

Tentu Pietà tidak bicara tentang kekuasaan, seperti dalam De Principatibus atau The Prince karya Machiavelli. Tapi, tentang kasih, cinta kasih; tentang kasih tanpa batas di ujung penderitaan tiada tara.

***


 

 




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x