Kompas TV kolom opini

Madonna della Piet

Kompas.tv - 13 April 2024, 07:05 WIB
madonna-della-piet
Fresko di Basilika Maria Assumpta atau Domo di Orvieto (Sumber: Trias Kuncahyono)

Masyarakat tanpa ibu-ibu, kata Paus, akan menjadi “masyarakat yang tak manusiawi” karena dalam saat-saat tergelap sekalipun “ibu-ibu adalah saksi-saksi kelembutan, dedikasi dan kekuatan moral.”

Beberapa hari kemudian, ketika kami pergi ke Orvieto, sebuah kota kecil di atas bukit, sekitar 120 menit perjalanan darat dari Roma, kami melihat patung Pietà agak berbeda. Di belakang Bunda Maria, berdiri Nikodimus sambil memegangi tangga. Nikodimus adalah salah satu murid Yesus.

***

Patung Pietà itu menjadi bukti nyata kehebatan Michelangelo. Seniman besar itu mampu  menggambarkan momen ketika Bunda Maria dihadapkan pada kenyataan kematian putranya. Sementara, Yesus digambarkan seolah-olah sedang tertidur lelap, dan bukan seseorang yang berlumuran darah dan memar setelah berjam-jam disiksa dan menderita.

“Sungguh indah.” Komentar Bre Redana. “Ya, sangat indah,” gumam saya lirih.

Memang secara keseluruhan, kedua sosok ini cantik dan ideal, meski menderita. Hal ini menjadi ciri khas karya-karya seni Zaman Renaisans.

Baca Juga: Andreas Brehme, Jelmaan Brietner secerdas Beckenbauer

Renaisans adalah gerakan perubahan besar di Eropa yang terjadi setelah abad pertengahan, antara tahun 1400 – 1600-an. Sekadar sebagai pembanding, ketika itu saat patung Pietà  dibuat 1498-1499, kejayaan Kerajaan Majapahit, kerajaaan Hindu terbesar di seluruh nusantara, di ujung keruntuhannya, dan nantinya digantikan Demak.

Istilah renaissance, renaisans  berasal bahasa Latin renaitre yang terdiri dari dua kata, yakni re berarti kembali dan naitre berarti lahir. Dengan begitu, renaisans dapat diartikan sebagai masa terlahir kembali

Masa kelahiran kembali atau kebangkitan kembali; kembali mempelajari hal klasik dan meninggalkan kebudayaan tradisional yang didominasi oleh tradisi agama berdasarkan teks kitab suci di bawah kekuasaan Gereja atau oleh tradisi Aristotelian selama kurang lebih dua ribu tahun.

***

Di dalam basilika, kami ngobrol. Berjalan pelan-pelan sambil menikmati keindahan fresko, lukisan dinding dan patung-patung karya para seniman zaman Renaisans yang bermula di Florence, kota yang terletak sekitar 273 km sebelah utara Roma itu.

“Florence, top banget, Pak. Apik. Indah,” kata Pak Bre, yang sudah mengunjungi kota yang selain melahirkan Michelangelo (1475 – 1564) juga Niccolo di Bernardo Machiavelli (1469-1527). Dua tokoh yang hidup sezaman ini dikenang album yang berbeda.

Machiavelli adalah seorang pelopor pemikiran teori-teori politik yang sekularistik. Kata Machiavelli pertimbangan kebaikan dan nilai moral bisa ditinggalkan demi keberhasilan politis. Karena pertimbangan moral dan agama dianggap tidak relevan dalam kehidupan politik.

Maka itu, dia lantas dianggap sebagai tidak bermoral karena dipandang menghalalkan segala cara; tujuan menghalalkan cara. Maka “machiavellisme” diartikan sebagai paham yang menghalalkan segala cara: dalam berpolitik menggunakan cara-cara kotor, kejam, licik, dan cara-cara lain sejenisnya.

Padahal kata Sastraprateja (St Sularto, 2003) Machiavelli sebetulnya tak pernah merumuskan patokan “moral” tujuan menghalalkan sarana. Dia hanya bermaksud mengemukakan apa yang bermanfaat bagi yang berkuasa dengan menggunakan penyelidikan obyektif tanpa tambahan pernyataan moral.

Machiavelli mau mengemukakan adanya dua moralitas: moralitas politik dan moralitas pribadi. Dengan kata lain, dalam politik dan dalam berpolitik ada moralitas politik. Moralitas tak bisa dibuang dari politik.

Tapi, sulit dipungkiri  Machiavelli telanjur menjadi simbol sebuah pengertian tentang pemakaian kekuasaan negara yang menolak pertimbangan moral dalam berpolitik.

Tentu Pietà tidak bicara tentang kekuasaan, seperti dalam De Principatibus atau The Prince karya Machiavelli. Tapi, tentang kasih, cinta kasih; tentang kasih tanpa batas di ujung penderitaan tiada tara.

***


 

 




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x