Kompas TV kolom opini

"Vox Populi" dan "Vox Diaboli"

Kompas.tv - 4 Februari 2024, 13:06 WIB
vox-populi-dan-vox-diaboli
Umat di lapangan Santo Petrus, Vatikan. (Sumber: Istimewa)

Oleh Trias Kuncahyono

Ketika mengunjungi tanah kelahiran demokrasi, Yunani, 4 Desember 2021, Paus Fransiskus secara terang-terangan mengatakan bahwa demokrasi sedang terancam. Tidak hanya di Eropa, tetapi di mana-mana demokrasi terancam.

Ancaman itu muncul seiring dengan meningkatnya jumlah pemimpin otoriter yang didorong oleh kepentingan populis dan kepentingan diri. Kemunduran demokrasi tidak hanya di Eropa, tetapi di mana-mana.

Kata Paus, demokrasi memerlukan partisipasi dan keterlibatan semua pihak. Oleh karena itu, diperlukan kerja keras dan kesabaran. Ini rumit, padahal otoritarianisme bersifat mutlak dan jawaban mudah dari populisme tampak menarik.

Karena itu, ia mendesak agar para penguasa  kembali ke prinsip-prinsip dasar politik yang baik yakni “seni kebaikan bersama”; “keberpihakan ke partisipasi”; “memprioritaskan lapisan masyarakat yang lebih lemah”; dan  “menyingkirkan upaya mengutamakan kepentingan diri sendiri dan kekuasaan.”

Paus Fransiskus. (Sumber: Istimewa)

Politik membutuhkan hal itu semua: mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dengan sasaran utama mewujukan bonum commune, kemaslahatan bersama.

Baca Juga: Kupandang Visuvius dari Balkon

Paus mengingatkan bahwa demokrasi masih rapuh dan  perlu berkomitmen untuk menjadikan partisipasi penuh semua pihak dan setara dalam kehidupan politik sebagai prioritas moral.  Sebab, demokrasi membutuhkan partisipasi dan keterlibatan semua pihak.

***

Piazza del Popolo atau Lapangan Rakyat di Roma dibangun pada tahun 1818. (Sumber: Istimewa)

Peringatan Paus itu saya temukan pada buku kumpulan refleksi Paus, yang belum lama saya miliki. Buku itu berjudul I Am Asking in the Name of God, The Prayers for a Future of Hope (2023).

Buku ini merupakan refleksi Paus terhadap sepuluh isu vital yang dihadapi dunia saat ini. Editor buku, Becky Nesbitt menulis, buku ini diterbitkan berkenaan dengan ulang tahun kesepuluh terpilihnya Kardinal Jorge Mario Bergoglio sebagai Paus, 13 Maret 2013.

Ada isu tentang media to fight fake news and avoid hate speech; stop the madness of war; greater participation of women in society be promoted and encouraged; access to health services; dan politics that works for the common good. Semua tema isu didahului dengan kalimat In the name of God, I ask that…

Yang pertama kali saya baca adalah refleksi keempat Paus. Refleksi keempat itu berjudul In the name of God, I ask for Politics that works for the common good.

Baca Juga: Ngobrol di Baccano

Refleksi Paus Fransiskus tentang politik itu mengingatkan pada pidato Paus di Yunani (2021), juga pesannya yang disampaikan saat peringatan Hari Perdamaian Dunia 2019.

Kebetulan pesan Paus itu baru beberapa hari silam saya baca, setelah mendapat undangan untuk mengikuti briefing di Vatikan berkait dengan Hari Perdamaian Dunia Ke-57 tahun 2024. Undangan dikirimkan oleh Mgr Edgar Pena Parra, seorang uskup agung dari Venezuela yang sekarang menjabat sebagai “Substitute for General Affairs of the Secretariat of State of the Holy See”.

Pesan Paus tahun ini bertema Artificial Inteligence and Peace. Lima tahun lalu, 2019, Paus memberikan judul pesannya Good Politics is the service of peace.

***

Fresko Pengadilan Terakhir karya Michelangelo di Kapel Sistina, Istana Apostolik Vatikan. (Sumber: Istimewa)

Dalam pesan perdamaiannya tahun 2019, Paus antara lain mengatakan, kehausan akan kekuasaan dengan cara apa pun akan berujung pada pelanggaran dan ketidakadilan. Politik merupakan sarana penting untuk membangun komunitas dan institusi manusia.

Namun, ketika kehidupan politik tidak dilihat sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat secara keseluruhan, maka politik bisa menjadi sarana penindasan, marginalisasi, dan bahkan kehancuran.

Jabatan politik dan tanggung jawab politik, kata Paus, terus-menerus menantang mereka yang terpanggil untuk mengabdi pada negara; untuk melakukan segala untuk melindungi rakyat dan untuk menciptakan kondisi demi masa depan yang layak dan adil.

Jika semua itu dilakukan dengan rasa hormat yang mendasar terhadap kehidupan, kebebasan, dan martabat seseorang, maka kehidupan politik dapat menjadi suatu bentuk amal yang luar biasa.

***

Kardinal François-Xavier Nguyễn Vãn Thuận, 1928-2002. (Sumber: (Foto: vaticannews.va))

Paus Fransiskus, dalam pesan perdamaiannya 2019, antara mengutip pidato Kardinal François-Xavier Nguyễn Vãn Thuận (1928 – 2002) asal Vietnam, pada tahun 2002.

Pada waktu itu, di Padua, Italia utara tak jauh dari Venetia, Kardinal François-Xavier Nguyễn Vãn Thuận, menyampaikan “Sabda Bahagia Politisi” (Beatitudes of the Politician).



Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x