> >

Era Keemasan Ratu Elizabeth II, Pastikan Monarki Selamat dari Era Perubahan yang Cepat

Kompas dunia | 9 September 2022, 07:50 WIB
Ratu Elizabeth II saat meresmikan sebuah gedung baru di Rumah Sakit Thames, Maidenhead, Inggris (15/7/2022). Pada Kamis (8/9/2022), Istana Buckingham mengumumkan bahwa sang ratu berada dalam pengawasan medis dan para dokternya prihatin atas kondisi kesehatannya hingga wafat. (Sumber: Kirsty OConnor/Pool Photo via AP, File)

YOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Ratu Inggris Elizabeth II yang meninggal di Istana Balmoral, Inggris, Kamis (8/9/2022) waktu setempat atau Jumat (9/9/2022) waktu Indonesia, memecahkan rekor sebagai pemimpin Kerajaan Inggris terlama.

Ratu Elizabeth II menjadi simbol abadi Inggris, negara di mana ia telah memimpin selama 70 tahun. Selama masa kepemimpinannya, Inggris terus berubah, mulai dari kehilangan jati diri kerajaannya hingga mengalami pergolakan sosial.

Sejumlah komentator dan kritikus memandang pemerintahan Ratu Elizabeth II secara berbeda. Beberapa komentator menilai masa kepemimpinan Elizabeth II sebagai zaman keemasan yang mengingatkan mereka terhadap masa Ratu Elizabeth I, ratu Inggris 400 tahun yang lalu.

"Saya pikir kami (masyarakat Inggris) dipandang sebagian melalui prisma sang ratu yakni dari konsistensi, kebijaksanaan yang telah ditunjukkannya, semua itu terlihat jelas dalam cara orang memandang Inggris," kata mantan politisi Inggirs Valerie Amos dilansir dari Antara, Jumat (9/9/2022). 

Baca Juga: Inilah Prosesi Pemakaman Ratu Elizabeth II 10 Hari ke Depan

Komentator lain mengatakan bahwa pengaruh ratu berusia 96 tahun itu kurang mendalam terhadap bangsa Inggris jika dibandingkan dengan leluhurnya, ketika kekuasaan kerajaan telah menyusut sejak zaman Ratu Elizabeth I.

Di sisi lain, para kritikus berpendapat bahwa Elizabeth II tidak meninggalkan bekas pemerintahan nyata, melainkan sebuah institusi yang tidak sesuai untuk tujuan di dunia yang diwarnai aspirasi egaliter atau kesetaraan.

 

Akan tetapi, warisan Ratu Elizabeth II masih tetap luar biasa, yakni memastikan monarki selamat dari era perubahan yang cepat.

Elizabeth II naik takhta ketika berusia 25 tahun, tepatnya pada 6 Februari 1952, setelah kematian ayahnya George VI. 

Saat itu, Inggris sedang berusaha bangkit dari kehancuran Perang Dunia Kedua. Di sisi lain, sistem penjatahan masih berlaku dan Winston Churchill menjabat perdana menteri.

Baca Juga: Peristiwa-peristiwa Penting dalam Kehidupan Ratu Elizabeth II

Sejak Elizabeth II menjadi ratu, sejumlah presiden, paus, dan perdana menteri telah datang dan pergi. Zaman kerajaan Inggris telah berlalu dan digantikan dengan Persemakmuran 56 negara. Elizabeth II juga berperan penting dalam menciptakannya.

"Tidak ada kekuatan kerajaan lain yang mencapai hal semacam itu. Di Inggris, perubahan sosial dan ekonomi yang besar telah terjadi secara keseluruhan secara damai serta konsensual," kata ahli sejarah konstitusi Inggris Profesor Vernon Bogdanor.

"Itu sangat luar biasa," puji Vernon.

Rupanya, Ratu Elizabeth II pernah mengatakan bahwa ia tak merasa seperti leluhurnya yang bertakhta pada abad ke-16 saat beberapa orang menyebut pemerintahannya sebagai Era Elizabeth Baru.

"Beberapa orang telah menyatakan harapan bahwa pemerintahan saya dapat menandai era Elizabeth yang baru," kata ratu Inggris itu dalam suatu siaran Natal pada tahun 1953.

"Terus terang, saya sendiri sama sekali tidak merasa seperti leluhur Tudor saya yang hebat," ujarnya.

Baca Juga: Bertakhta Selama 70 Tahun, Ratu Elizabeth II Sangat Dicintai Rakyat Inggris

Elizabeth II tidak pernah melakukan wawancara atau menyatakan pandangan pribadinya terkait masalah politik. Oleh karenanya, penilaian Ratu Elizabeth II tentang pemerintahannya sendiri sulit dipastikan.

Sejarawan konstitusi Inggris David Starkey mengatakan, Ratu Elizabeth II tidak menganggap perannya selaku ratu sebagai perwujudan periode sejarah, melainkan hanya sebagai suatu pekerjaan.

"Ia (Elizabeth II) tidak melakukan dan tidak mengatakan hal apa pun yang akan diingat oleh siapa pun. Dia tidak akan menyematkan namanya untuk suatu era," tulis David Starkey pada 2015.

"Saya mengatakan ini bukan sebagai kritik, tetapi hanya sebagai pernyataan fakta. Bahkan sebagai semacam pujian. Saya kira, ratu akan menganggapnya seperti itu. Karena dia naik takhta hanya dengan satu niat: untuk menjaga keberlangsungan kerajaan (Inggris) terus berjalan," ucapnya.

Beberapa sejarawan dan penulis biografi lain mengatakan pandangan David Starkey itu masih kurang untuk menggambarkan peran Ratu Elizabeth II yang bergerak seiring waktu.

"Dalam dunia yang semakin kacau, dia telah memberikan rasa stabilitas," kata Andrew Morton, penulis biografi Putri Diana pada 1992 yang menyebabkan pertengkaran di keluarga kerajaan.

Baca Juga: Ratu Elizabeth II Wafat, Pemimpin Dunia Sampaikan Ungkapan Dukacita

Beberapa orang menyebut, tekad sang ratu untuk melakukan perannya sebaik mungkin dan menahan diri untuk tidak menyuarakan pandangan apa pun memberinya otoritas moral besar yang dia perintahkan hanya melalui posisinya sebagai ratu.

"Apa yang berhasil dilakukan Ratu (Elizabeth II) adalah membawa monarki Inggris ke abad ke-21 sebaik mungkin," kata cucu sang ratu, Pangeran William, dalam film dokumenter pada 2012.

"Setiap organisasi perlu sering menilai dirinya sendiri, dan monarki adalah mesin yang terus berkembang dan saya pikir monarki benar-benar ingin mencerminkan masyarakat, ingin bergerak seiring waktu dan penting bahwa monarki melakukannya untuk kelangsungan hidupnya sendiri," ujar William.

Para sejarawan mengatakan Elizabeth II telah menggunakan "kekuatan lembut" dan menjadikan monarki Inggris sebagai titik fokus pemersatu bagi bangsa di tengah perpecahan masyarakat yang besar.

Kekuatan lembut itu dicontohkan Ratu Elizabeth II melalui siarannya untuk meyakinkan publik pada awal pandemi Covid-19.

Selain segala keributan politik, sang ratu masih menyempatkan diri bertemu perdana menteri untuk audiensi mingguan pribadi.

Baca Juga: Ratu Elizabeth II Meninggal Dunia, Para Selebritis Berduka

Para mantan pemimpin pemerintahan Inggris mengatakan pengalaman Ratu Elizabeth II selama bertahun-tahun telah terbukti sangat membantu, memungkinkan mereka untuk berbicara dengan jujur tanpa takut percakapan mereka akan dipublikasikan.

"Anda bisa benar-benar jujur, bahkan sampai bersikap tidak bijaksana (saat berbicara) dengan ratu," kata Perdana Menteri Inggris periode 1990-1997 John Major.

Tony Blair, yang menggantikan Major dan menjadi perdana menteri selama satu dekade, mengatakan bahwa Ratu Elizabeth II menilai situasi dan kesulitan serta dapat menggambarkannya tanpa pernah memberikan petunjuk apa pun tentang preferensi politiknya. 

"Sangat luar biasa untuk dilihat," ungkap Tony Blair.

Beberapa sejarawan mengatakan, Ratu Elizabeth II akan dipandang sebagai yang terakhir dari jenisnya, yakni seorang pemimpin kerajaan dari masa ketika para elite memerintahkan rasa hormat.

Namun, Ratu Elizabeth II masih mungkin menjadi salah satu tokoh yang terbesar di Inggris, menurut para sejarawan.

"Tidak ada keraguan bahwa dia akan berada di atas sana sebagai salah satu tokoh terbesar kerajaan Inggris, tidak hanya untuk umur panjangnya, tetapi juga untuk periode perubahan yang telah dia saksikan," kata profesor sejarah monarki di Universitas London Anna Whitelock.

"Dan seperti Elizabeth I... (Elizabeth II) sama-sama berperan penting bagi Inggris dan juga bagi tempat Inggris di dunia," ujarnya.

Baca Juga: Strata Gelar Bangsawan di Kerajaan Inggris Setelah Ratu Elizabeth Wafat, Ini Gelar William dan Kate

Penulis : Nadia Intan Fajarlie Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Kompas TV, Antara


TERBARU