> >

Sejarah Masjid Jogokariyan, Rutin Gelar Ibadah hingga Tradisi Pasar Sore Sajikan Menu Buka Puasa

Tradisi | 5 April 2022, 16:41 WIB
Warga kampung Jogokariyan dan wisatawan berkumpul menikmati sajian buka puasa yang ada di pasar sore Kampung Ramadan Jogokariyan di Masjid Jogokariyan, Yogyakarta. (Sumber: dok. Istimewa)

YOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Pasar sore Kampung Ramadan Jogokariyan (KRJ) yang terletak di masjid Jogokariyan, Yogyakarta kembali digelar mulai Sabtu (2/4/2022) lalu.

Setiap harinya, para pengunjung akan disambut oleh 3 ribu porsi takjil dari 270 usaha mikro kecil menengah (UMKM) binaan Masjid Jogokariyan. 

Tidak hanya sebagai tempat ibadah, masjid Jogokariyan memang dikenal sebagai masjid yang mampu membangkitkan ekonomi warga sekitar.

Baru tiga hari digelar, KRJ sudah diserbu tidak hanya oleh warga lokal namun juga wisatawan luar daerah.

Hal unik lainnya yang ada di Kampung Ramadan Jogokariyan ini, jual beli diterapkan dengan transaksi nontunai atau cashless. 

Dalam hal ini, Pemkot Yogyakarta melibatkan sejumlah bank daerah untuk memfasilitas pembayaran nontunai di KRJ.

Lantas, bagaimana sejarah masjid Jogokariyan hingga sampai menjadi pusat ekonomi warga saat Ramadan ini?

Baca Juga: Kampung Ramadan Jogokariyan di Yogyakarta Kembali Dibuka, Tersedia Aneka Ragam Takjil Pilihan

Melansir dari berbagai sumber, berikut sejarah kampung dan masjid Jogokariyan.

Sejarah Kampung Jogokariyan

Sultan Hamengkubuwono membuka Kampung Jogokariyan karena sesaknya ndalem Beteng Baluwerti di Keraton. 

Ia lantas memindahkan bergodo-bergodo Prajurit Kesatuan Keraton ke selatan benteng, tepatnya di utara Panggung Krapyak atau Kandang Menjangan. 

Tempat itulah yang menjadi rumah para prajurit keraton sesuai dengan Toponemnya dinamakan “Kampung Jogokariyan”.

Sultan Hamengkubuwono VII membuat kebijakan tersebut karena prajurit saat itu hanya dipekerjakan untuk kepentingan upacara saja, bukan lagi untuk perang.

Akibatnya, banyak prajurit yang kehilangan jabatan dan pekerjaan sebagai abdi dalem. 

Mereka lantas mengganti mata pencahariannya sebagai petani di Kampung Jogokariyan dari sepetak tanah yang diberikan oleh keraton. 

Namun, banyak di antara prajurit yang gagal menyesuaikan diri hingga akhirnya memutuskan untuk menjual sawah mereka kepada pengusaha batik dan tenun. 

Majunya usaha batik dan tenun di Kampung Jogokariyan akhirnya menjadi buruh pabrik di kampung mereka sendiri.

Penulis : Dian Nita Editor : Deni-Muliya

Sumber : Berbagai Sumber


TERBARU