Kompas TV nasional rumah pemilu

Pengamat Hukum Tata Negara soal Presiden Boleh Kampanye: Keadaban Politik Jokowi Hilang

Kompas.tv - 25 Januari 2024, 11:41 WIB
pengamat-hukum-tata-negara-soal-presiden-boleh-kampanye-keadaban-politik-jokowi-hilang
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta jajarannya untuk memastikan pasokan dan menstabilkan harga bahan pokok jelang Natal 2023 dan Tahun Baru 2024. (Sumber: BPMI Setpres)
Penulis : Ninuk Cucu Suwanti | Editor : Iman Firdaus

JAKARTA, KOMPAS.TV- Pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengatakan presiden berhak berkampanye dalam pemilihan umum dianggap sebagai hilangnya keadaban politik presiden.

Hal tersebut disampaikan Pegiat Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Bivitri Susanti dalam keterangan tertulis yang diterima KOMPAS TV, Kamis (25/1/2024).

“Pernyataan ini bertentangan dengan pernyataan-pernyataan presiden sebelumnya yang menyatakan akan netral dan meminta seluruh jajarannya netral,” kata Bivitri.

Bagi Bivitri, perubahan sikap Presiden Jokowi membuktikan semakin jelas betapa pentingnya larangan politik dinasti dan nepotisme dalam pemilihan umum. Terlebih dalam Pilpres 2024, salah satu paslonnya adalah anak kandung dari Presiden Jokowi.

Baca Juga: Istana: Yang Disampaikan Jokowi Bukan Hal Baru, Presiden ke 5 dan 6 Juga Punya Preferensi Politik

“Tak mudah bagi Jokowi untuk netral ketika anaknya berlaga dalam pemilihan presiden,” ucap Bivitri.

Ditegaskan Bivitri bila pejabat negara aktif berkampanye itu berarti melanggar prinsip keadilan dalam pemilu sebagaimana Pasal 22E UUD 1945.

“Akan bisa mempengaruhi keadilan Pemilu melalui dua hal. Pertama, fasilitas, seperti kebijakan, anggaran, dan dukungan administrasi serta protokoler pejabat. Kedua, pengaruh sebagai pemegang kekuasaan akan memengaruhi netralitas birokrasi dan mengarahkan pemilih,” jelas Bivitri.

Selain itu, Bivitri menuturkan keberpihakan presiden dan pejabat negara dalam kampanye bisa mengarah pada pelanggaran dengan dimensi Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM), seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

“Perlu dibedakan antara “berpolitik” dan “berkampanye.” Presiden berhak berpolitik, tetapi ia tidak diperbolehkan untuk berkampanye. Kita bisa berdebat pada bunyi norma pasal-pasal dalam pemilu (perdebatan kami ringkas dalam lampiran), namun UU Pemilu harus pertama-tama diletakkan dalam konteks asas-asas pemilu dalam UUD 1945 yaitu Luber Jurdil, dengan penekanan pada aspek keadilan,” tegas Bivitri.

Baca Juga: Istana Buka Suara soal Pernyataan Jokowi Sebut Presiden Boleh Kampanye dan Memihak di Pilpres

Kemarin, Rabu (24/1/2024) Presiden Jokowi mengatakan seorang Kepala Negara itu boleh berkampanye dan memihak salah satu pasangan calon (paslon) di Pilpres 2024.

“Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja. Yang penting, presiden itu boleh loh kampanye. Presiden itu boleh loh memihak. Boleh,” kata Jokowi.


 

“Tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara. Boleh.”

Pagi ini, Kamis (25/1/2024) Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana menyampaikan pernyataan Presiden Joko Widodo sudah disalahartikan.

Ari menuturkan apa yang disampaikan Presiden Jokowi adalah jawaban untuk pertanyaan media tentang apakah boleh menteri ikut menjadi tim sukses pasangan calon di Pilpres 2024.

“Pernyataan Bapak Presiden di Halim, Rabu 24/01/2024, telah banyak disalahartikan. Apa yang disampaikan oleh Presiden dalam konteks menjawab pertanyaan media tentang Menteri yang ikut tim sukses,” jelas Ari.

“Dalam merespon pertanyaan itu, Bapak Presiden memberikan penjelasan terutama terkait aturan main dalam berdemokrasi bagi Menteri maupun Presiden.”



Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x