Kompas TV nasional wawancara

Profesor Emil Salim: Pembangunan Ekonomi Keliru Arahnya

Kompas.tv - 12 November 2021, 06:00 WIB
profesor-emil-salim-pembangunan-ekonomi-keliru-arahnya
Ekonom senior Profesor Emil Salim saat berbincang dengan Rosiana Silalahi pada program ROSI di KOMPAS TV, Kamis (11/11/2021). (Sumber: Kompas TV)
Penulis : Haryo Jati | Editor : Iman Firdaus

JAKARTA, KOMPAS.TV - Pemimpin Redaksi KOMPAS TV Rosiana Silalahi berbincang dengan ekonom senior sekaligus tokoh lingkungan hidup, Profesor Emil Salim pada program ROSI, Kamis (11/11/2021) malam.

Lelaki kelahiran Lahat, Sumatera Selatan, 8 Juni 1930 ini, adalah  salah seorang di antara sedikit tokoh Indonesia yang berperan internasional. Ia adalah tokoh lingkungan hidup internasional yang pernah menerima The Leader for the Living Planet Award dari World Wide Fund (WWF), suatu lembaga konservasi mandiri terbesar dan sangat berpengalaman di dunia.

Emil menjabat menteri di era Presiden Soeharto. Sebagai Menteri Perhubungan pada 1973-1978,  dan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup pada 1978-1993. 

Meski tidak lagi menjabat sebagai menteri, namun perhatian pada isu pembangunan dan lingkungan hidup tidak surut.  Lewat yayasan dan lembaga swadaya masyarakat seperti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Yayasan Kehati, Emil terus menyuarakan keprihatinannya pada isu-isu pembangunan dan lingkungan hidup.  

Ia bahkan mengatakan bahwa selama ini ilmu bekonomi ikut merusak lingkungan, dan peranan itu harus segera diperbaiki.

Guru besar dari Universitas Indonesia (UI) ini juga berbicara mengenai para cukong dalam demokrasi yang tak kalah dalam merusak lingkungan.  Termasuk soal pembangunan infrastruktur seperti kereta cepat Jakarta-Bandung dan pemindahan ibu kota negara yang menurutnya harus dipertimbangkan secara matang.

Berikut  perbincangan Rosi bersama Profesor Emil Salim.

Baca Juga: Emil Salim Kritik Prabowo soal Anggaran Alutsista Rp 1.700 Triliun: Urgenkah?

Prof,  saya ingin mendengar banyak pemikiran Prof Emil Salim. Anda ini di masa Presiden Soeharto, pernah menjadi Menteri Lingkungan Hidup dan pernah menjadi Menteri Perhubungan?

Saat kita bicara di bulan November, biasanya jika bulan sudah ber-ber, sudah musim hujan dan pasti kabar yang sering terdengar kabar buruk mengenai bencana alam, ada banjir bandang, tanah longsor.

Menurut Anda  ini adalah persoalan dari dulu yang yang tak pernah selesai, atau ada kontribusi pembangunan saat ini?

Jadi saya ini pendidikannya ekonomi. Jadi belajar ekonomi melalui pasar, di beberapa sumber daya alam, menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya bagi perusahaan dan demikian imbasnya pada product domestic bruto, pendapatan nasional dan sebagainya.

Itu adalah pola pikir dalam pendidikan yang saya alami, lalu saya diminta Pak Harto masuk ke lingkungan. Saya terus terang berkata pada beliau,  saya ini ekonom, jadi tak mengerti ekonomi ekologi.

Tapi dia berkata, ekonomi rumah tangga oleh masyarakat, ekologi rumah tangga alam. Jadi sama-sama rumah tangga.

Beliau kemudian berkata, saya juga tak dilatih menjadi presiden, maka kita sama-sama belajar. Sejak itu saya belajar, apa itu ekologi, mengapa lahir ekologi, apa salahnya. Dalam proses mencari makna lingkungan hidup, maka saya jumpai dunia lain.

Bahwa ekonomi yang saya pelajari tidak sempura. Kedua,  ekonomi yang saya pelajari jadi penyebab kerusakan lingkungan, jadi Masyallah, apa yang saya pelajari menjadi penyebab dan sekarang harus saya perbaiki.

Ini jadi semacam soul searching, bagaimana caranya ini. Apa yang salah? Kebetulan terbentuk Komisi Brundtland, World Commission on Environment and Development. Nah,  itu saya jadi anggota di pihak pimpinan,  semua jago-jago dan paham lingkungan.

Tahun berapa itu?

Tahun 1980-an. Dan tiga  bulan kita keliling dunia melihat di lapangan apa soal lingkungan, mana permasalahan ekonomi. Dampaknya pada lingkungan, dan bagaimana cara perbaikannya.

Dalam tim World Comission itu ada Saburo Okita, yang arsitek pembangunan Jepang setelah perang.

Beliau berkata, kita ini ekonom membikin kesalahan melihat pembangunan sumber daya alam to exploit, bukit ada batu bara gali, minyak gali, hutan tebang, tanam kebun macam jadi alam itu diubah untuk menghasilkan output.

Demi pembangunan?

Jadi apa itu pembangunan, merusak alam. Resource, eksplorasi. Maka kita harus sadar, kita ini ekonom keliru melihat masalah.

Menurutnya, resource itu bukan mati, resource itu hidup, namanya lingkungan hidup. Hutan itu bukan cuma pohon, hutan itu keanekaragaman hayati, ada burung, ada lebah dan macam-macam.

Laut bukan hanya air atau ikan, ekosistem, lingkungan hidup. Maka kata beliau, bagaimana kita bangun sumber daya alam bukan ekspolitatif tapi enrichment, atau pendayaan.

Dari sana saya dapat wawasan pembangunan ekonomi keliru arahnya. Satu resource dilihat eksploitatif, betul pembangunan, tapi generasi berikut bagaimana, mewariskan lobang.

Jadi lahirlah gagasan bagaimana membangun bukan ekspolitasi sumber daya alam tapi pendayaan sumber daya alam.

Jadi alam itu ada keanekaragaman hayati, ada lebah ada macam-macam, bagaimana menggunakan fungsi dari lebah, dari alam itu memperkaya value added, nilai tambah.

Apa itu nilai tambah, yaitu yang berguna bagi manusia, gizi, obat dan macam-macam.

Alam ini jangan dirusak karena mengandung potensi yang diberikan Tuhan tetapi kita perkaya dengan akal, otak, pikiran, value added, resource enrichment, bukan resource eksplorasi.

Baca Juga: Emil Salim: Tak Satu Pun Parpol Perjuangkan Pancasila - SATU MEJA THE FORUM (4)

Maka jika keputusan bahwa hutan harus kita cegah deforestasi, betul, karena tanpa deforistasi hutan akan berkembang menjadi resource untuk  enrichment. Banyak dari isi hutan yang berguna.

Jadi kita ini duduk di atas peti alam, tropical rainforest, kita duduk di atasnya, tapi kuncinya di otak tidak ada.

Maka, jika ada orang mau buka hutan selalu setuju, jual, eksploitasi, mengorbankan kemungkinan resource enrichment.

Pembangunan itu bukan kelola resource,  merusak hutan, merombak hutan menjadi kelapa sawit. Bukan. Tetapi bagaimana dengan alam yang Tuhan berikan, kita kembangkan value added-nya.

Prof bagaimana dengan anggapan deforestasi jangan sampai menghambat pembangunan?

Keliru, maka kembali ke tim Brundtland, World Commission itu, tiga bulan diskusi, bulan pertama saya sependapat bahwa kita punya kekayaan alam hutan, tropical rain forrest nomor dua di dunia, mengapa tidak kita berdayakan, kita ini miskin, ini untuk alam, macam-macam.

Dalam diskusi, kentara bahwa teman-teman dari rain forrest di Brasil berkata, rain forest itu lebih dari kayu, lebih dari tanah, dia bio diversity, keanekaragaman hayati, kekayaan yang nilainya lebih tinggi.

Kedua, pengalaman terakhir ini, Covid meledak, lahir zoonosis, yaitu penyakit yang disebabkan bukan oleh manusia tetapi oleh hewan.

Kelelawar melahirkan virus memindahkan ke manusia, lahir Covid. Jadi berkembang zoonosis, penyakit yang bukan berasal dari manusia, tetapi dari lingkungan alam.

Mengapa kelelwar bisa begitu, merupakan reaksi dari terganggunya ekosistem.

Maka tampak ke depan, jika kita berpikir deforistasi untuk pembangunan, mengubah ekosistem hewan, menimbulkan penyakit-penyakit baru, yang kita sebagai manusia belum siap.

Jadi, please bagaimana merubah orientasi berpikir. Indonesia memiliki tropical rain forrest terkaya di dunia, dua samudera, katulistiwa, sinar matahari, kekayaan alam, Masyaallah.

Jadi orang selalu bilang, Anda sekarang duduk di peti emas. Please, cari kuncinya.

Jadi Prof, kalau misalnya banyak bencana alam yang menimpa kita, ada banjir bandang, tanah longsor, menurut Prof Emil Salim, seorang ekonom dan juga penah menjabat sebagai Menteri Lingkungan Hidup, ini adalah harga yang harus dibayar dari pembangunan kita yang tidak berorientasi pada lingkungan hidup?

Maka harga yang harus dibayar oleh pembangunan ekonomi yang bagaimana? Yang tidak mengindahkan tata ruang, yang tidak mengindahkan daya dukung alam.

Baca Juga: Harga Sejumlah Komoditas Pangan Berpotensi Naik Tahun Depan

Jadi, yang saya belajar kemudian pola pembangunan berkelanjutan adalah, please gabungkan tiga hal. Jika memakai matriks, Satu ekonomi, kedua lingkungan, ketiga sosial.

Kenapa lingkungan, karena resource. Resource juga ada pemakai non-ekonomi, masyarakat adat, masyarakat Kubu, masyarakat petani, macam-macam. Jadi ada A, B, C.

Lantas ekonomi berpengaruh pada A, B, C. Jadi ada matriks. Maka telusuri, jika ada deforestasi, apa yang hancur? Lingkungan, alam, daya serap air, air itu sungai, merubah ekosistem, melahirkan zoonosis.

Menimbulkan dampak kepada masyarakat yang bergantung pada alam tersebut.

Jadi, please lihat pembangunan holistik. Bukan hanya pembangunan ekonomi, tetapi juga sosial. Masyarakat mana yang terkena, apa kerugiannya, dan lingkungan.

Bagaimana ekosistem jangan sampai merusak, menimbulkan penyakit-penyakit baru.

Akibat Covid, orang kan bingung, bagaimana, darimana, mengapa Covid? Kau rusakkan ekosistem.

Belajar dong dari hal ini, kalua sekarang Covid kita tidak belajar dari kenyataan ini, nanti, kapan-kapan, akan lahir penyakit lain.

Virus-virus baru dari lingkungan hidup?

Jadi bagaimana ya, dan jika kita orang beragama, maka tampak kerusakan di muka karena ulah tangan manusia. Maka selalu disebut di Quran, jaga alam, pelihara laut, daratan.

Jadi dari sudut agama dan ilmu sudah mengingatkan, dari sudut pengalaman, dari Saburo Okita di Jepang mengalaminya, mengapa kita ragu-ragu terhadap merubah pola pembangunan dari resource eksploitasi ke resource enrichment. Why?

Jadi  Anda ingin mengatakan kepada para ekonom ya, bertaubatlah jangan melulu berorientasi pada pembangunan yang mengeksploitasi alam?

Perubahan ini pada 1992 telah disepakati di Rio De Janeiro. Saat itu Pak Harto jadi ketua delegasi, saya masih Menteri Lingkungan Hidup, telah menandatangani mengenai perubahan iklim, bio diversity dan statement mengenai pembangunan berkelanjutan.

Pada 10 tahun kemudian, 2002, peringatan di Johannesburg, saya waktu itu menjadi ketua pertemuan itu. Ibu Megawati adalah Presiden pada 2002. Beliau pergi ke Johannesburg ikut pertemuan itu.

Pada 2009 dan sebagainya, sampai SBY pada 2015, ikut aktif di dalam deklarasi G-20. Jadi berturut-turut Pak Harto, Ibu Megawati hingga pak SBY, kita terus pembangunan berkelanjutan. Mengapa tidak dilanjutkan?

Oleh Presiden Jokowi?

Dan Menteri Lingkungan, Menteri Industri, Menteri Ekonomi. Tentang Presiden, saya ketika jadi Menteri diajarkan oleh Widjojo (Widjojo Nitisastro, ekonom dan menteri di era orde baru, red), kita sekarang Menteri, kita diangkat sebagai pembantu Presiden.

Apa tugas kita? bukan minta dilindungi presiden, tetapi kita melindungi presiden.

Jadi menjadi bumper, jika ada orang A-B-C, maka gunakan tanggung jawab itu untuk menyelamatkan presiden.

Tentu banyak orang ingin presiden menandatangani macam-macam, dan sebagai pembantu presiden jagalah.

Jadi benteng, agar Presiden tidak hanya menandatangani sesuatu yang bertentangan?

Begini, beliau itu tidak maha tahu. A simple minded man, Pak Soeharto dan lainnya. Pak Jokowi mengerti ilmu kehutanan, tetapi ilmu lingkungan, strategi, resources use dan segala macam, kita punya aparatnya.

Ada Bappenas, Perincian Regional, Resouce Use Strategy dan macam-macam. Mengapa ini kita tidak jadi masukan, demi keputusan dari presiden yang viable dan rasional.

Baca Juga: Nadiem Makarim: Permendikbud PPKS Adalah Upaya Pencegahan, Bukan Legalkan Zina

Pengalaman saya itu banyak, para pemimpin punya cita-cita itu logis. Tentu setiap pemimpin ingin perform. Saya punya kesempatan mengangkat derajat kebahagiaan, kesejahteraan masyarakat. Waktu saya singkat. Apa yang bisa saya lakukan?

Karena itu, tugas kita membantu cita-cita presiden on the right track, jangan kau ikut mengusulkan the wrong track, karena itu kau disebut pembantu Presiden.

Jangan justru menjerumuskan Presiden?

Pembantu Presiden bukan yes man. Pembantu Presiden adalah honest man. Jadi kalau ada hal-hal pada Pak Harto, beliau ngomong A. Terus saya bilang alternatif A untung ruginya X-Z, lalu ada alternatif B pak, untung ruginya A-B.

A-B kalau dihitung jangka panjang, yang diuntungkan kelompok A, manfaatnya, ini. Bapak mau apa X-Z, A-B. Bapak mau apa. Let him choose. Tapi Anda sebagai menteri, beri Presiden alternatif, yang kau anggap sebaik-baiknya bagi kepentingan Presiden demi kemajuan bangsa.

Kalau bukan yes man, bukan berarti menentang. Jadi selalu melindungi Presiden dengan logika. Apa yang terbaik untuk negara itu yang kita ajukan ke Presiden, tapi kadang-kadang juga bisa berbeda pendapat.

Pernah suatu ketika, Pak Harto tidak setuju devaluasi. Maka Pak Widjojo mengajukan, dengan devaluasi konsekuensinya X-Y-Z, tanpa devaluasi konsekuensinya A-B-C.

Beliau lihat kok jadi tambah buruk tanpa devaluasi. Akhirnya, Presiden menyetujui devaluasi. Jadi, tiap pemimpin memiliki logika atau conscious, makanya kita beri rasionalitas kepada pemimpin.

Jangan apa-apa yes, yes, Anda adalah pembantu, dan pembantu bukan yes man.

Bagaimana di tahun 2024 nanti, Indonesia bisa bebas dari cukong demokrasi?

Ibu bicara partai politik, nah partai politik, calon-calon presiden dipilih macam-macam pemilu, dicalonkan partai politik. Maka lahir sistem politik di Tanah Air kita, yang kita kenal dengan demokrasi, tetapi Mahfud (Menkopolhukam Mahfud MD)  ahli ilmu negara, mengatakan realitas demokrasi kita ada cukong demokrasi.

Jadi, apa yang terjadi di lapangan jika saya misalkan berada di partai? Di lapangan berlaku cukong demokrasi, maka saya sebagai pemimpin partai tentu akan menyesuaikan diri, karena realitanya begitu.

Jadi, inti masalahnya adalah cukong demokrasi. Mengapa ada cukong demokrasi? Karena ada cukongnya. Mengapa ada cukongnya?  Karena market pasar memungkinkan tumbuhnya cukong.

Prof, kan Cukong identik dengan dagang, kalau partai politik di mana dagangnya?

Kenapa beliau merasa perlu dengan pedagang, kenapa tidak dengan X-Y-Z itu. Karena pedagang itu besar kekuasaannya. Karena pedagang itu memiliki dana untuk membantu di dalam pemilihan, pilkada dan macam-macam.

Maka demokrasi Indonesia,  satu  kata Mahfud, cukong Demokrasi.  Kedua kata para ahli, demokrasi captured, tersandera, oleh orang yang memiliki uang. Jadi sebagai doktor, analisis sistem ekonomi kita tergantung pada siapa yang menguasai pasar.

Siapa yang menguasai pasar, yaitu yang memiliki dana dan modal besar. Mengapa ia bisa mempunyai dana besar, modal besar? Lalu kita ambil jarak, apa sistem ekonomi di dunia ini?

Kita mengenal Uni Sovyet, rencana ekonomi terpusat, tanpa pasar. Putin bilang A, semua bilang A. Tapi di ujung lainnya, ada ekonomi pasar bebas. Amerika dan macam-macam.

Indonesia berkata, kita menolak ekonomi terpusat dan ekonomi liberal, seperti yang diucapkan Bung Karno.

Kita mau, kata beliau, ekonomi terpimpin. Apa itu ekonomi terpimpin? Ini yang lama saya berpikir, bagaimana menerjemahkan ekonomi terpimpin yang bukan pasar bebas, dan bukan ekonomi pusat.

Maka timbul satu gagasan, faktor kuncinya adalah bagaimana pasar kita. Siapa pemain dalam pasar tersebut. Bagaimana pasar itu menghasilkan tokoh-tokoh yang menguasai pasar.

Jika pasar tersebut benar-benar bebas. Maka lahirlah Donald Trump, orang-orang yang punya kekuatan.

Jadi pasar itu yang penting. Usahakan pasar tidak didominasi satu-dua perusahaan atau market share. Di BPS, ada publikasi market share industri rokok dikuasai oleh X-Y-Z da informasi itu.

Yang kedua, kita punya pengawas dari Komite Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), A dan B kita kawinkan.

Usahakan supaya pasar ekonomi Indonesia tak dikuasai oleh orang yang dominan menguasai pasar, lalu market share diatur supaya kompetisi berjalan, supaya tidak lahir monopoli, tidak lahir cukong.

Jadi source dari lahirnya cukong yang kita serang, dan sumber dari cukong itu adalah struktur pasar.

Struktur pasar juga diperluas, berarti konsentrasi market share jangan hanya berada di satu, dua atau tiga tangan.

Siapa yang seharusnya mengawasi? Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Tembak langsung sumber masalahnya.

Mahfud bilang cukong itu demokrasi. Baiklah, jika semua ingin demokrasi ayo cari tahu, supaya jangan ada cukong. Dari mana cukong lahir? Pasar. Bagaimana mengatur pasar? Komisi Pangawas Persaingan Usaha.

Konsep ini perlu disepakati pak Jokowi dan pemerintahan, bahwa kita ingin memberi isi pada ekonomi Pancasila.

Bung Karno bilang, tidak ada ekonomi kapitalis dan ekonomi terpusat, di tengah-tengah. Kita harus cari tengah-tengah itu.

Mereka yang mengkritik apa yang terjadi sekarang ini,  ada yang mengatakan kita berada dalam sistem oligarki?

Ya, dengan jalan yang saya usulkan dan adanya market share yang tersebar, tidak akan terjadi oligarki.

Sekarang menurut Prof apa itu yang sedang terjadi?

Jalan keluar dari kritik terhadap cukong demokrasi, jalan keluar dari oligarki itu ada. Market share, KPPU, ayo bekerja bersama menciptakan ini, pemerintah dan masyarakat sipil.

Jika melihat profiling kabinet dan parlemen itu banyak diisi para pengusaha. Menurut Anda  ini sesuatu yang baik karena kita akan punya orientasi pada ekonomi, pada bisnis, atau sesuatu yang sesungguhnya mencemaskan karena ada konflik kepentingan?

Ibu menyebut ada bussinesman. Interest bussinesman, bukan makro interest, tetapi mikro interest bussines.

Maka begitu ada mikro bussinesman, maka makro interest terkorbankan. Kalau kita di pemerintah, Anda berjuang bukan untuk mikro interest tetapi untuk makro. Anda menjadi Menteri Republik Indonesia, bukan menteri di perusahaan.

Sebagai Menteri, Anda harus menghargai bangsa. Apa itu bangsa, Mukadimah Undang-Undang Dasar kita menyebut, maka dibentuk negara, (1) melindungi, (2) mensejahterakan, (3) mencerdaskan, (4) tertib dunia, (5) keadilan sosial,

Itu Raison d’Etre, sebab lahirnya negara dan pemerintah, kita pegang itu.  

Meski masih lama, 2024 itu sudah banyak orang curi start. Menurut Anda  karena Pak Jokowi ini sudah periode terakhir, sosok pemimpin seperti apa yang kita butuhkan?

Jangan hanya sosok yang peduli lingkungan saja. Untuk memilih pemimpin di DPR, partai, orientasi berpikir harus berubah. Dalam berubah itu bukan demi kepentingan pribadi.

Bung Karno sendiri mengatakan kita mendirikan Indonesia karena tak ingin mengikuti ekonomi liberalisme, kita menolak ekonomi terpusat. Kita memilih ekonomi jalan tengah.

Tugas kita menjabarkan apa ekonomi jalan tengah. Maka saya usul, cukong demokrasi ini loh. Kedua, kunci resource development ini loh, ketiga kalau sudah mau bergerak, oke, tapi jangan seluruh anggaran karena banyaknya ketidakpastian, kesehatan Covid, ekonomi dunia, macam-macam.

Kita tidak tahu apa akan ada varian baru. Saya itu, kalau melihat Pak Jokowi itu saya pikir alangkah sulitnya menjadi pemimpin menghadapi ketidakpastian begitu besar.

Pada  2023-2024,  Anda ingin melihat debat politik ,  kampanye politik,  dan figure-figur seperti apa?

Jadi bahasa para politisi masa depan lain dengan yang sekarang. Dampak dari masa depan bukan kita yang menjadi politisi sekarang, tapi generasi berikutnya yang sekarang anak-anak, yang tak bisa bersuara, namun mereka yang mendapat akibatnya.

Kita adalah orang tua, kita punya anak-anak. Kan kita paham, kita sebagai orang tua kan tidak bekerja untuk diri sendiri tetapi juga untuk anak-anak, cucu, macam-macam.

Maka pemikiran sebagai pemimpin bangsa, pemimpin DPR, pemimpin apalah, politik, jangan berpikir kepentingan generasi tua sekarang, tetapi masa depan.

Karena masa depan itu lain, dibandingkan hari ini. Dunia itu berubah. Artifial Inteligence dan Industry 4.5, merubah permainan ekonomi.

Ekonomi Keynes, ekonomi Adam Smith, tidak lagi cocok. Karena ada pasar bebas, ekonomi Keynes dan Adam Smith sudah tidak valid.

Jadi sesuaikan diri dengan tantangan baru dan di belakang kepala selalu melihat ke depan, dan 100 tahun merdeka kita harus lepas landas.

Prof Emil Salim, dengan seluruh pembangunan infrastruktur selama tujuh tahun Pemerintahan Jokowi ke arah mana sebetulnya pertumbuhan ekonomi Indonesia ini bergerak?

Kebutuhan infrastruktur oleh Bank Dunia memang Indonesia perlu mengejar ketertinggalan. Kita di bawah Vietnam, dan itu penting.

Tapi infrastruktur itu bukan hanya jalan, kita itu negara kepulauan. Dari Sabang ke Merauke, seperti dari London ke Teheran, dan laut.  Tentu infrastruktur penting. Kalau jalan, pulau yang ada aktivitas, ada penduduk yang penting.

Laut gimana? Angkutan laut. Saya pernah jadi Menteri Perhubungan. Dan di dalam laut itu, Kargo ke timur banyak. Tapi return ke barat tidak ada.

Jadi pengusaha bilang, mereka untung bawa kargo ke timut, tapi dari timur ke barat rugi.

Oleh karena itu dibikin kapal perintis. Jadi infrastruktur tidak hanya jalan untuk Tanah Air kepulauan. Laut tentu ada tol laut maka lebih besar, yang kedua adalah listrik.

Jika pergi ke Indonesia Timur begitu setelah jam 6 semua tutup. Tidak ada listrik. Pergi ke Indonesia Timur pasti baru paham, bahwa persebaran listrik itu belum merata.

Baca Juga: Pemkab Bantul: Guru yang Positif Covid-19 dan Masih Nekat Mengajar Bakal Kena Sanksi

Padahal ada matahari, maka harus PLTU. Kenapa tak gunakan tenaga matahari di Maluku Utara, Papua Barat dan di macam-macam. Itu infrastruktur.

Infrastruktur bukan hanya jalan, tetapi juga listrik, air minum dan lain sebagainuya.

Dan yang maha penting, manusia. Human resources.

Ada pembangunan, kan Presiden Jokowi benar-benar berorientasi pada pembangunan timur.  Ada Trans Papua, ada begitu banyak pembangunan-pembangunan di timur Indonesia?

Trans Papua dari sudut lingkungan menimbulkan pertanyaan, karena membuka areal-areal, yang bagi penduduk lokal sangat penting untuk dijaga.

Contohnya, penduduk lokal hidup dari pohon-pohon sagu, papeda, ditebang untuk tanam padi.

Sagu adalah karbohidrat, padi adalah karbohidrat. Substitusi karbohidrat A ke B. Tapi konsumennya lain.

Ini penduduk lokal, ini penduduk pendatang. Jadi orang berpikir ini pembangunan untuk siapa.

Saya setuju dengan infrastruktur, tetapi tanya dulu, lihat dulu, infrastruktur mana yang lebih penting.

Kalau kita di Papua, untuk mengambil gaji guru, guru itu jalan kaki untuk pergi ke Kabupaten mengambil upahnya dan kembali ke daerahnya.

Tetapi itu urusannya daerah. Kenapa tidak dengan daerah, kita dorong ke atas pembangunan di Papua, bukan ke bawah.

Infrastruktutr saya setuju. Intinya adalah, pertama bagaimana membangun infrastuktur, kedua  untuk siapa, ketiga  apa sesuai dengan daya dukung lingkungan, karena ingat pembangunan ekonomi, sosial, lingkungan.

Jadi jangan hanya meningkatkan PDB (Product Domestic Bruto), tetapi jika PDB naik, lingkungan babak belur, sosial tidak diangkat, bukan pembangunan itu.

Banyak orang memuji Presiden Jokowi dengan infrastrukturnya. Tadi  Anda memberikan catatan kritis tentang  pembangunan infrastruktur.  Yang paling baru adalah kereta api cepat Jakarta-Bandung. Ada catatan mengenai ini Prof?

Mengenai kereta api cepat, saya cemas dengan cara keputusan diambil oleh Menteri BUMN, bukan ahli PJKA (sekarang PT KAI, red). Tapi beliau membawahi PJKA, jadi diperintah ya jalan.

Kereta api masuk PJKA yang ada ahli-ahlinya. Salah satu ahli yang berhasil mengembangkan PJKA adalah Menteri Perhubungan.

Kenapa tidak berkonsultasi, antara Menteri BUMN yang tak mengerti kereta api dengan Menteri Perhubungan yang merupakan Dirut Kereta Api? Saya kaget betul ketika saya cek ke Menteri Perhubungan.

Menteri perhubungan periode pertama Pak Jokowi, Ignasius Jonan.

Beliau mengundang mantan menteri-menteri perhubungan, tukar pikiran.

Saya tanya, kenapa begitu. Beliau ternyata tak dikonsultasikan oleh Menteri BUMN.

Saat itu ibu Rini Soemarno (Menteri BUMN)...

Jadi, bagaimana pengambilan keputusan itu. Bagaimana wewenang dipakai membangun sesuatu yang tak dikuasai. Sedangkan ada Menteri Perhubungan yang paham mengenai itu.

Untuk Jakarta-Surabaya, ada pembicaraan dengan Jepang untuk kereta api cepat jarak jauh.

Jika ada untuk jarak jauh, untuk apa jarak dekat.

Poin saya adalah Menteri BUMN memang betul punya wewenang, tetapi please jangan wewenang demi mengganggu rasionalitas dari sistem kereta api.

Bagaimana kalau pembangunan infrasturktur itu, yang seperti kita katakan kereta api cepat Jakarta-Bandung, itu bagian keinginan dari Presiden karena memiliki multi-player effect? 

Pak Presiden harus logis, saya bisa mengerti keinginan setinggi langit tapi tetap harus logis.

Tapi kewajiban kita sebagai pembantu Presiden melindungi Presiden dari keputusan yang keliru.

Jadi jika ini tidak visible harus berani katakan, “Bapak Presiden ini tidak visible”, begitu?

Jadi, pertanyaan pertama, mengapa Menteri Perhubungan tidak terlibat, pertanyaan kedua, mengapa Menteri BUMN tidak paham memutuskan sesuatu yang tidak ia kuasai, pertanyaan ketiga, pembiayaan adalah kredit.

Bicara kredit kita masuk ke dampak finansial yang dampak ekonominya dipikul oleh ibu Menteri Keuangan.

Jadi, ini Menteri BUMN mengambil keputusan dampaknya pada Menteri Keuangan melalui kredit, dampaknya ke Menteri Perhubungan, dan mereka tidak tahu.

Yang ketiga, Bappenas juga tidak tahu. Dengan demikian memang ini keinginan Presiden, tapi tugas kita sebagai pembantu Presiden melindungi Presiden, bukan kita berlindung di bawah bahwa itu keinginan Presiden.

Presiden itu manusia, apa beliau memiliki informasi yang lengkap? Keputusan akhir adalah fungsi dari pekerjaan staf yang lengkap.

Ada staf yang lengkap maka akan menjadi sebuah keputusan yang baik. Sering sekali dibilang Presiden maunya begitu, apa Presiden tak tahu apa implikasinya.

Jadi Anda  sering gusar jika ada menteri yang bilang ini maunya Presiden?

Gemes saya, sebagai pembantu Presiden engkau menjerumuskan Presiden. Apa itu yang engkau kehendaki, apa itu agenda di kepalamu?  Saya tidak suka itu, saya lebih suka jujur.

Bapak, saya sebagai bekas Menteri Perhubungan merasa ini tidak akan bekerja, lebih-lebih lagi dengan kredit luar negeri di dalam keadaan Covid, yang ibu Sri Mulyani pusing memikirkan financing-nya.

Dan sekarang (Kereta Api Cepat) akan dibiayai APBN ?

APBN bagaimana? Orang bilang APBN. APBN itu kan uang pajak, uang negara. Nomor satu untuk Covid, yang kedua rehabilitasi ekonomi. Rakyat banyak yang pengangguran akibat Covid.

Prof, apakah visi Presiden untuk pemerataan pembangunan tidak tepat untuk pemindahan Ibu Kota Negara Baru?

Obyektif ya, saya baca laporan ketua Bappenas. Ada Putrajaya pinda dari Kuala Lumpur di Malaysia. Ada Brasilia pindah, ada Canberra juga pindah. Kenapa tidak. Kenapa Indonesia tidak?

Terus saya tanya, apakah pindahnya Putrajaya menyumbang pembangunan lebih tinggi ketimbang di Kuala Lumpur? Apakah pembangunan Brasilia mendorong pembangunan Brasil? Apakah pembangunan Canberra mendorong pembangunan Australia?

Obyektif, jangan kita memiliki argumen tanpa data statistik.

Tapi argumennya juga Jakarta sudah kepenuhan Prof?

Sekarang persoalan Jakarta lain. Persoalan Jakarta karena akan menghadapi naiknya permukaan laut.

Sehingga, tanah Jawa utara sendimennya mulai tenggelam. Maka, pulau jawa mulai tenggelam. Laut Jawa naik, makanya terjadi banjir Rob, bukan hanya Jakarta tetapi seluruh Jawa bagian utara.

Ini masalah tersendiri, ini perlu uang. Jangan keluar dari sini karena masalah ini. Ada masalah ini kita tangani.

Bukan menjawabnya dengan pindah Ibu Kota?

Jadi perbaiki Jakarta, atasi ancaman permukaan laut dengan membangun waduk lepas pantai.

Kalau kembali ke pemindahan Ibu Kota Negara, kenapa Anda  kurang setuju?

Kita dalam krisis Covid, post-Covid. Uang itu berharga, dalam kondisi ekonomi yang tak menentu. Kita tidak tahu apa ada gelombang ketiga dari Covid dan sebagainya.

Jadi, ketidakpastian kesehatan Covid, ketidakpastian ekonomi global besar. Jika Anda Menteri Keuangan menghadapi ketidakpastian itu apa pola pikir Anda?

Menciptakan reserve, untuk mengatasi gelombang-gelombang yang kita tidak tahu dating atau tidak. Maka uang ini terbatas, karena Covid ekonomi tidak naik.

Bagaimana jika uang itu tak membebani APBN, tapi dari investasi? Misalnya kemarin di Dubai, Presiden mengatakan secara khusus mengenai pemindahan Ibu Kota Negara, dan menarik para investor Uni Emirat Arab untuk berinvestasi di Kalimantan Timur?

Tidak ada negara yang memberi sesuatu gratis di dunia. Apa terms-nya? Apa syaratnya? Tahukah kita.

Bisakah kita ilmuwan, kritis melihat kaki kita di tanah. Negara mana di dunia yang rela, ikhlas, rela kasih uang tanpa ada imbalan. Apa syaratnya? Itu tidak tahu.

Tapi setiap Menteri Keuangan, setiap ekonom kenal dengan opportunity cost. Artinya uang saya ini buat beli rokok, tidak bisa untuk beli telur. Jadi mengorbankan telur buat beli rokok. Membangun A, mengorbankan X.

Apakah itu X, Covid, rehabilitasi ekonomi dan pembangunan pemuda.

Indonesia pada 2045, bukan generasi sekarang, tetapi generasi yang lahir setelah tahun 2000. Itu anak-anak sekarang.

Jadi Prof,  jika Saya ingin dapat klarifikasi dari Anda sekarang, soal pemindahan Ibu Kota Negara itu,  Prof tidak setuju karena timing-nya atau  tidak setuju sama sekali?

Saya mengerti, psikologis saya paham. Ada hal-hal yang mendorong Jokowi melakukan itu. Jika begitu, bagaimana jika definisi Ibu Kota Negara kita ubah.

Bukan seperti yang disebut dalam Undang-Undang. Istana, DPR, Pemerintahan, Departemen, Markas ABRI, semua pegawai negeri pindah di sana, dan beroperasi dalam 4 tahun ini, sah jadi Ibu Kota Negara.

Bukan main, besar ini. Bisa tidak kita ubah definisi Ibu Kota Negara yang manageable dari sudut keuangan, tetapi jangan paksakan Menteri Keuangan yang masih menghadapi ketidakpastian yang begitu besar.

Yang kedua, menghadapi generasi muda yang sekarang mengalami education loss. Tetapi, jika education loss menerus, kita akan mengalami generation loss.

Dan dampaknya 2045, saya mungkin sudah tidak ada. Tetapi generasi yang akan memimpin bangsa ketinggalan dalam pendidikan.

Indonesia 2045, 100 tahun, sekali dalam hidup suatu bangsa harus lepas landas.

Di dalam ekonomi ada tahapan, tahapan poor country ke middle income country. Middle income country ada low dan high, dari midle income country ke high income county.

Tahun 1986, Indonesia keluar dari low income country, menjadi low middle income.

Ada swasembada pangan, pendidikan maju, KB dan sebagainya. Dari 1986, ke sekarang terus ke 2045, harus naik ke high middle income dan ke low high income.

Jadi pembangunan lebih kompleks, di dunia yang lebih kompetitif.

Ekonomi tidak bisa lepas dari perkembangan dunia, jika kita masih berada di posisi middle income low maka akan sulit.

Jadi banyak sekali yang perlu saya meminta bapak-bapak kita untuk mencegah generation lost. Maka persoalan lingkungan, saya lihat dari kacamata ini, dunia 2045 adalah dunia ekonomi sosial lingkungan yang harus maju.

Lingkungan perubahan iklim, lingkungan muka laut naik. Bukan Amerika, Eropa, China yang rugi.

Yang rugi jika perubahan iklim dan lingkungan muka laut naik, adalah Indonesia sebagai negara kepulauan.

Yang saya mohon perhatian kepada bapak pemimpin, generasi muda yang paling berkepentingan pada 2045.

Jadi, jika Indonesia sekarang memutuskan bahwa net zero emission dari green house gas untuk mengendalikan cuaca, Indonesia mungkin pada 2050 atau 2060, yang menjadi korban yang berpikir memutuskan itu, tetapi generasi muda yang menjadi pemimpin.

Pembangunan itu bukan untuk hari ini, bukan untuk prestasi kabinet ini, tetapi masa depan bangsa.

Saya tidak menentang Pemerintahan Jokowi, tetapi masa depan menghendaki pembangunan berkelanjutan ekonomi, sosial dan lingkungan.

Terakhir Prof Emil, apa imajinasi Anda soal lepas landas di 2045 di Indonesia?

Indonesia diberkahi Tuhan, Tropical Rain Forrest yang kaya. Lautan Hindia, Pasifik, bertebaran ikan-ikan. Kaya laut kita. Kenapa nelayan kita miskin? Kenapa benur harus diekspor ke Vietnam?

Kemampuan bangsa harus kita bangun, memanfaatkan kekayaan alam yang paling kaya di dunia ini.

Mengapa petani kita miskin? Mengapa nelayan kita miskin? Di tengah-tengah kekayaan alam.

Mengapa konglomerat yang besar justru mereka yang merusak lingkungan. Jadi ada kontradisksi dalam hal ini.

Saya melihat bisa diperbaiki Tanah Air ini, sehingga nelayan menjadi makmur, rakyat kita makmur, dengan value added, nilai tambah, sumber daya alam dan otak.

Kecerdasan otak dan pendidikan generasi muda digabungkan untuk naikkan, sehingga 2045, kekayaan alam kita jadikan senjata untuk menaikkan kesejahteraan bangsa dengan ilmu kita, bangsa sendiri.

Saya selalu terpesona dengan ucapan Bung Karno, bahwa kita tak boleh menjadi negara kuli.

Maka kuli itu adalah orang yang kurang terpelajar, mari bangsa Indonesia jangan menjadi bangsa di antara 64 terendah, naikkan, sehingga gengsi bangsa, kehormatan bangsa setingkat dengan mereka yang maju.

Dalam kaitan itu, kekayaan alam jangan dirusak. Kita bangun baru dengan lingkungan, masyarakat dan ekonomi.




Sumber : ROSI Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x