Kompas TV nasional berita utama

ICW Sebut Jokowi Otoritas Tunggal yang Bisa Akhiri Polemik TWK KPK, Ini 20 Alasannya

Kompas.tv - 27 September 2021, 16:31 WIB
icw-sebut-jokowi-otoritas-tunggal-yang-bisa-akhiri-polemik-twk-kpk-ini-20-alasannya
Presiden Jokowi memberikan pernyataannya untuk Global Health Summit, Jumat (21/5/2021). (Sumber: Tangkapan Layar Youtube Setpres)
Penulis : Ninuk Cucu Suwanti | Editor : Iman Firdaus

 

JAKARTA, KOMPAS.TV- Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai Presiden Joko Widodo menjadi otoritas tunggal yang dapat mengakhiri polemik Tes Wawasan Kebangsaan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Harus disadari, pemberantasan korupsi memasuki masa kelam dengan dipecat paksanya 56 pegawai KPK oleh pimpinan.

Demikian Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya kepada KOMPAS TV, Senin (27/9/2021).

“Padahal, empat putusan, yakni: Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Ombdusman RI, dan Komnas HAM, telah mengonfirmasi bahwa TWK dipenuhi dengan berbagai permasalahan, diantaranya, maladministrasi dan pelanggaran hak asasi manusia,” kata Kurnia.

“Sedangkan dua lembaga kekuasaan kehakiman sudah menegaskan bahwa alih status kepegawaian KPK tidak dibenarkan jika melanggar hak-hak kepegawaian. Bahkan, secara langsung, putusan MA menyebutkan bahwa tindak lanjut asesmen pegawai KPK diserahkan kepada pemerintah.”

ICW pun membeberkan setidaknya ada 20 alasan mengapa Presiden Joko Widodo harus bersikap terkait polemik di tubuh KPK. Pertama, Presiden sepatutnya konsisten dengan pernyataannya bahwa TWK KPK tidak bisa dijadikan dasar untuk memberhentikan pegawai.

Baca Juga: Jokowi Seolah Tak Mau Tahu Nasib Pegawai KPK Korban TWK, BEM SI: Ini Urusan Negara, Soal Rakyat

Kedua, Presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam birokrasi yang sepatutnya mengambil alih kewenangan SekJen KPK untuk mengangkat 56 pegawai, karena TWK terbukti maladministrasi dan melanggar HAM.

Ketiga, Presiden selaku pihak eksekutif merupakan atasan KPK berdasarkan putusan MK dan perubahan UU 30/2002.

“Maka dari itu, segala persoalan yang berkaitan dengan ranah administrasi mewajibkan Presiden untuk bertindak,” ujar Kurnia.

Selanjutnya keempat, Presiden sebagai Kepala Pemerintahan harus bertanggung jawab atas kondisi pemberantasan korupsi kian mengkhawatirkan.

“Faktanya, peringkat maupun skor Indonesia anjlok. Untuk peringkat, turun dari 85 menjadi 102,” kata Kurnia.

Baca Juga: Presiden Jokowi Tak Gubris Ultimatum Mahasiswa, BEM SI Demo KPK Hari Ini

Kelima, rekomendasi putusan MA terkait uji materi PerKom 1/2021 disebutkan bahwa tindak lanjut dari hasil asesmen TWK menjadi kewenangan pemerintah.

Keenam, Presiden Jokowi mempunyai kewajiban untuk menunaikan Janji Politik Nawacita 2014

“Jelas sekali disebutkan pada poin 4 Nawacita bahwa Joko Widodo berjanji akan menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya,” ujar Kurnia.

“Maka dari itu, jika Presiden tidak bersikap untuk mengatasi gelombang pelemahan KPK, maka Ia telah mengingkari janjinya sendiri.”

Alasan ketujuh Presiden harus bersikap soal polemik TWK pegawai KPK adalah adanya rekomendasi Komnas HAM.

Kedelapan, yakni tindak lanjut putusan MK Nomor 70/PUU-XVII/2019.

Kesembilan pembangkangan yang dilakukan oleh Pimpinan KPK.

“Jika Presiden tidak segera bersikap, maka marwah Presiden telah runtuh karena instruksinya diabaikan begitu saja oleh Pimpinan KPK,” ucap Kurnia.

Baca Juga: Penetapan Azis sebagai Tersangka Dinilai Bagian Strategi KPK Redam Isu Pemecatan Pegawai Korban TWK

Pentingnya Presiden bersikap, kata Kurnia, juga didasari dengan alasan kesepuluh yakni untuk tujuan menghentikan kontroversi Pimpinan KPK.

Kesebelas,  melaksanakan komitmen politik tahun 2019 untuk memberantas korupsi.

“Presiden harus mengeluarkan sikap atas polemik pemecatan 56 pegawai KPK,” tegas Kurnia.

Kemudian alasan keduabelas adalah, menaati rekomendasi Ombdusman RI.

Ketigabelas,  meneruskan preseden dari Presiden sebelumnya atas polemik KPK. Termasuk, alasan keempatbelas soal kewajiban Presiden harus menjalankan amanat konstitusi.

“KPK sedang digempur dengan berbagai agenda pelemahan, satu diantaranya pemecatan 56 pegawai. Untuk itu, sebagaimana sumpah jabatannya, Presiden harus melaksanakan amanat konstitusi tersebut,” kata Kurnia.

Alasan kelimabelas, lanjut Kurnia, Presiden harus memenuhi hak asasi manusia dari setiap warga negara.

“Maka dari itu, Presiden punya kewajiban untuk melindungi mereka dari pemberhentian sepihak oleh Pimpinan KPK,” ujar Kurnia.

Baca Juga: Faldo Maldini Sebut Mahasiswa yang Unjuk Rasa Tidak Sayang Tenaga Kesehatan dan Keluarga

Lalu, ICW pada alasan keenambelas,  mengingatkan Presiden Jokowi untuk harus menghindari perbuatan tercela selama memimpin.

Selanjutnya alasan ketujuhbelas, Presiden wajib menjalankan amanat reformasi, yaitu memastikan penyelenggaraan negara bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

“Dengan adanya pelemahan melalui pemecatan 56 pegawai KPK, maka amanat reformasi itu akan semakin sulit untuk dijalankan. Maka dari itu, Presiden harus konsisten untuk berpegang teguh pada amanat reformasi,” ucap Kurnia.

Lalu, alasan kedelapanbelas, yaitu presiden harus mendengarkan suara masyarakat dan berbagai elemen organisasi. Misalnya, puluhan guru besar antikorupsi, mahasiswa, organisasi keagamaan, dan jaringan masyarakat sipil.

Selanjutnya kesembilanbelas, Presiden harus memastikan proses penegakan hukum berjalan dengan baik di KPK. Terakhir, alasan keduapuluh Presiden harus mengakhiri kekisruhan antara KPK dan lembaga negara lain.

“Ketidakpatuhan lembaga penegak hukum terhadap koreksi dari lembaga lain mesti dievaluasi oleh Presiden. Hal-hal semacam ini ke depan tidak bisa dibiarkan,” katanya.

“Untuk itu, Presiden harus mengoreksi keputusan Pimpinan KPK yang sampai saat ini mendiamkan temuan Ombudsman dan Komnas HAM.”



Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x