Kompas TV nasional hukum

Desak KPK Segera Tetapkan Tersangka, MAKI Kirim Salinan Sertifikat HGB Lahan di Munjul

Kompas.tv - 19 Maret 2021, 17:40 WIB
desak-kpk-segera-tetapkan-tersangka-maki-kirim-salinan-sertifikat-hgb-lahan-di-munjul
Koordinator MAKI Boyamin Saiman. (Sumber: KompasTV)
Penulis : Ninuk Cucu Suwanti | Editor : Eddward S Kennedy

JAKARTA, KOMPAS.TV- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta segera mengumumkan tersangka dugaan korupsi pengadaan lahan di Munjul, Pondok Rangon, Cipayung, Jakarta Timur.

Tak hanya itu, KPK juga diminta segera melakukan penahanan para tersangka perkara korupsi pengadaan lahan secepatnya.

Hal tersebut disampaikan Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) Boyamin Saiman melalui pesan tertulis, Jumat (19/3/2021).

“Kami meminta segera diumumkan tersangka dan dilakukan penahanan terhadap para tersangka,” katanya.

Boyamin lebih lanjut menuturkan, MAKI telah menyerahkan salinan sertifikat Hak Guna Bangunan lahan di Munjul, Cipayung, Jakarta Timur.

Pernyerahan salinan itu, kata Boyamin, dilakukan melalui pesan singkat pada aplikasi Whatsapp Pengaduan KPK.

“Hari ini Jumat, tanggal 19 Maret 2021, MAKI telah menyerahkan surat beserta lampirannya kepada KPK via sarana online, aku WA Pengaduan KPK,” ujarnya.

Baca Juga: Pemprov DKI Jakarta Siap Dipanggil KPK Soal Perkara Pengadaan Lahan Rumah DP 0 Rupiah

Boyamin mengungkapkan lahan tersebut terdiri dari Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 97, 98, dan 99 yang diterbitkan oleh Kantor BPN Jakarta Timur pada tanggal 31 Juli 2001.

Sertifikat HGB tersebut, berlaku hingga 31 Juli 2021 atas nama pemilik Yayasan Kongregasi Suster-Suster Carolus Borromeus dengan luas keseluruhan sekitar 4 hektar.

“Berdasar data tersebut terdapat hal-hal yang memperkuat telah terjadinya dugaan korupsi pembayaran pembelian lahan oleh PD Sarana Jaya kepada sebuah perusahaan yang mengaku memiliki lahan tersebut,” ujar Boyamin.

Dalam penjelasannya, Boyamin mengutarakan setidaknya ada 4 hal yang memperkuat adanya praktik korupsi dalam pengadaan lahan di Munjul, Cipayung, Jakarta Timur.

Pertama, lahan yang dimiliki yayasan tidak bisa dijual kepada perusahaan bisnis swasta atau hanya bisa dialihkan kepada Yayasan lain untuk digunakan tujuan fungsi sosial.

Hal ini, kata Boyamin, berdasar ketentuan Pasal 37 Ayat (1) huruf B Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004 tentang Yayasan.

Baca Juga: Soal Perkara Korupsi Pengadaan Lahan, Wagub DKI Sebut KPK Tidak Perlu Panggil Anies Baswedan

“Semestinya sejak awal PD Sarana Jaya mengetahui tidak bisa membeli lahan tersebut karena lahan dimiliki oleh sebuah yayasan yang kemudian dijual kepada perusahaan swasta yang mana dilarang oleh UU Yayasan,” kata Boyamin.

“Sehingga dengan melakukan pembayaran kepada sebuah perusahaan swasta sekitar Rp 200 miliar adalah sebuah bentuk pembayaran yang tidak diperolehnya sebuah lahan yang clear and clean serta berpotensi kerugian total lost,” tambahnya.

Kemudian kedua, lanjut Boyamin, soal HGB yang sudah dibayarkan PD Sarana Jaya. Padahal, HBG lahan tersebut berakhir Juli 2021.

“Pembayaran sebelum HGB diperpanjang adalah bentuk pembayaran yang sia-sia dan berpotensi tidak akan memperoleh lahan tersebut,” ujarnya.

Ketiga, lanjut Boyamin, sebelum terbit HGB tahun 2001, lahan tersebut berstatus Hak Pakai yang dimaknai lahan milik pemerintah. Sehingga ketika lahan tersebut terlantar karena tidak didirikan bangunan, maka berpotensi HGB dicabut.

“Atau setidaknya perpanjangannya akan ditolak sehingga pembayaran oleh PD Sarana Jaya adalah sesuatu hal ceroboh dan uang terbuang percuma,” jelasnya.

Terakhir, sambung Boyamin, rencana penjualan lahan oleh pemegang HGB kepada perusahaan swasta yang kemudian dijual kepada PD Sarana Jaya patut diduga telah melanggar UU Yayasan. Sehingga HGB tersebut dapat dicabut oleh pemerintah karena tidak sesuai peruntukannya.

“Pembayaran PD Sarana Jaya kepada sebuah perusahaan swasta patut diduga turut serta korupsi yang merugikan negara,” kata Boyamin.




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x