Kompas TV nasional politik

Pemerintah Siap Hadapi Uji Materi UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi

Kompas.tv - 6 Oktober 2020, 17:27 WIB
pemerintah-siap-hadapi-uji-materi-uu-cipta-kerja-di-mahkamah-konstitusi
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (23/5/2019). (Sumber: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Pemerintah sangat mengerti Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (UU Cipta Kerja) tidak akan memuaskan semua pihak. Oleh karena itu, pemerintah siap jika terdapat pihak yang akan mengajukan uji materi UU Cipta Kerja.

"Jadi sekarang ruang yang dibuka pemerintah untuk kritik Undang-Undang Cipta kerja hanya lewat judicial review (uji materi)," kata Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Donny Gahral Adiansyah, kepada Kompas TV, Selasa (6/10/2020).

Judicial review atau uji materi UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi, menurut Donny, merupakan jalur konstitusional satu-satunya yang bisa diambil pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan UU Cipta Kerja.

Pemerintah akan siap untuk menghadapi para penggugat dalam uji materi UU Cipta Kerja.

"Jalur konstitusional satu satunya adalah judicial review dan pemerintah sudah bersiap untuk menghadapi itu bila ada yang ingin mengajukan ke Mahkamah Konstitusi nanti," tutur Donny dalam pernyataan virtualnya.

Namun sebelum melakukan uji materi UU Cipta Kerja, kata Donny, perlu diluruskan terkait isu poin-poin UU Cipta Kerja yang tidak memuaskan tersebut. Seperti tidak memihak guru, menghilangkan cuti, hingga menghilangkan upah minimum.

"Perlu ada kesepahaman antara pemerintah dan serikat pekerja supaya kita ke depan bisa bergerak bareng-bareng," ucapnya.

Sebelumnya, DPR juga mengaku memaklumi adanya penolakan terhadap Omnibus Law UU Cipta Kerja. DPR pun mempersilakan pihak-pihak yang tidak puas untuk mengajukan uji materi UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi (MK).

Hal itu diungkapkan oleh Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin di Kompleks DPR, Jakarta, Selasa (6/10/2020).

Baca Juga: Surat Terbuka Menaker Soal UU Cipta Kerja, Iqbal: Sudahlah Jangan Bangun Kebohongan Lagi

Pasal-Pasal Kontroversial UU Cipta Kerja

DPR bersama pemerintah mengesahkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang pada Senin, (5/10/2020) kemarin.

Diketahui, UU Cipta Kerja terdiri atas 15 bab dan 174 pasal. Di dalamnya, mengatur mengenai ketenagakerjaan hingga lingkungan hidup.

Beberapa pasal dalam Undang-undang Cipta Kerja Bab IV tentang Ketenagakerjaan dinilai bermasalah dan kontroversial. Itu di antaranya sebagai berikut:

Pasal 59

UU Cipta Kerja menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.

Pasal 59 ayat (4) UU Cipta Kerja menyebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 79

Hak pekerja mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan dipangkas.

Pasal 79 ayat (2) huruf (b) mengatur, pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan.

Selain itu, Pasal 79 juga menghapus kewajiban perusahaan memberikan istirahat panjang dua bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun berturut-turut dan berlaku tiap kelipatan masa kerja enam tahun.

Pasal 79 ayat (3) hanya mengatur pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus.

Pasal 79 Ayat (4) menyatakan, pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Kemudian, Pasal 79 ayat (5) menyebutkan, perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 88

UU Cipta Kerja mengubah kebijakan terkait pengupahan pekerja.

Pasal 88 Ayat (3) yang tercantum pada dalam Bab Ketenagakerjaan hanya menyebut tujuh kebijakan pengupahan yang sebelumnya ada 11 dalam UU Ketenagakerjaan.

Tujuh kebijakan itu, yakni upah minimum; struktur dan skala upah; upah kerja lembur; upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu; bentuk dan cara pembayaran upah; hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.

Beberapa kebijakan terkait pengupahan yang dihilangkan melalui UU Cipta Kerja tersebut, antara lain upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, upah untuk pembayaran pesangon, serta upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

Pasal 88 Ayat (4) kemudian menyatakan, "Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur dengan Peraturan Pemerintah".

Baca Juga: Begini Perhitungan Uang Pesangon PHK dalam UU Cipta Kerja

Pasal-Pasal UU Ketenagakerjaan yang Dihapus

Aturan mengenai sanksi bagi pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai ketentuan dihapus lewat UU Cipta Kerja.

Pasal 91 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kemudian Pasal 91 ayat (2) menyatakan, dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain tercantum pada Pasal 91, aturan soal larangan membayarkan besaran upah di bawah ketentuan juga dijelaskan pada Pasal 90 UU Ketenagakerjaan.

Namun, dalam UU Cipta Kerja, ketentuan dua pasal di UU Ketenagakerjaan itu dihapuskan seluruhnya.

Selain itu, UU Cipta Kerja menghapus hak pekerja/buruh mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK) jika merasa dirugikan oleh perusahaan.

Pasal 169 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan, pekerja/buruh dapat mengajukan PHK kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika perusahaan, di antaranya menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam.

Pengajuan PHK juga bisa dilakukan jika perusahaan tidak membayar upah tepat waktu selama tiga bulan berturut-turut atau lebih.

Ketentuan itu diikuti ayat (2) yang menyatakan pekerja akan mendapatkan uang pesangon dua kali, uang penghargaan masa kerja satu kali, dan uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156.

Namun, Pasal 169 ayat (3) menyebutkan, jika perusahaan tidak terbukti melakukan perbuatan seperti yang diadukan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, hak tersebut tidak akan didapatkan pekerja.

Pasal 169 ini seluruhnya dihapus dalam UU Cipta Kerja.



Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x