Kompas TV internasional krisis rusia ukraina

Mengupas Standar Ganda Barat di Tengah Perang Rusia-Ukraina

Kompas.tv - 18 Maret 2022, 20:22 WIB
mengupas-standar-ganda-barat-di-tengah-perang-rusia-ukraina
Dewan Keamanan PBB mendengarkan komentar selama pertemuan di markas besar PBB, Jumat, 11 Maret 2022. Permintaan Rusia untuk digelarnya pertemuan Dewan Keamanan diajukan menyusul penolakan AS atas tuduhan Rusia bahwa Ukraina mengoperasikan laboratorium kimia dan biologi dengan dukungan AS. (Sumber: UNTV via AP)
Penulis : Edy A. Putra | Editor : Hariyanto Kurniawan

JAKARTA, KOMPAS.TV – Sudah 23 hari sejak Rusia melancarkan invasi ke Ukraina. Dalam kurun waktu itu, PBB memperkirakan ratusan orang telah tewas, ribuan terluka, dan jutaan orang mengungsi. Perang sanksi pun meletus antara Rusia dan negara-negara lainnya.

Namun, yang sering terlewat dari perhatian banyak orang di tengah kecamuk perang adalah standar ganda yang diterapkan baik pemerintah-pemerintah negara, organisasi-organisasi hingga perusahaan internasional.

Berikut beberapa standar ganda yang mengemuka dan semakin jelas terlihat di tengah berkobarnya perang Rusia-Ukraina.

Pelanggaran terhadap Piagam PBB

Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk PBB Linda Thomas-Greenfield menyebut invasi Rusia ke Ukraina yang dimulai pada 24 Februari 2022, melanggar hukum internasional dan Piagam PBB.

“Rusia memilih untuk melanggar kedaulatan Ukraina, untuk melanggar hukum internasional, melanggar Piagam PBB,” kata Thomas-Greenfield dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB yang membahas tentang Ukraina pada 25 Februari 2022.

Sehari sebelumnya, Presiden AS Joe Biden menyebut serangan ke Ukraina bukan soal ancaman keamanan terhadap Rusia.

“Ini selalu tentang agresi. Tentang keinginan Putin akan imperium – dengan cara apa pun yang diperlukan,” kata Biden di Washington.

Baca Juga: Invasi Rusia ke Ukraina Disebut Langgar Piagam PBB, Bagaimana dengan Invasi AS ke Irak pada 2003?

Kecaman AS terhadap invasi Rusia tersebut seolah omong kosong belaka jika mengingat invasi AS ke Irak pada 2003 silam.

Pada 20 Maret 2003, Presiden AS George W Bush mengumumkan dimulainya operasi militer pimpinan AS ke Irak. Washington menuding pemerintahan Irak di bawah Presiden Saddam Hussein, menyimpan senjata pemusnah massal.

Bush kemudian menggunakan alasan itu untuk mengobarkan perang di Irak. Padahal, inspeksi PBB tidak menemukan senjata yang dimaksud.

Pada 15 September 2004, Kofi Annan yang saat itu menjabat sebagai sekretaris jenderal PBB dalam wawancara dengan BBC mengatakan, invasi AS ke Irak pada 2003 adalah ilegal dan melanggar Piagam PBB.

“Saya telah mengindikasikan bahwa ini tidak sesuai dengan Piagam PBB dari sudut pandang kami, dan dari sudut pandang piagam tersebut, ini ilegal,” kata Annan seperti dikutip Al Jazeera.

Mundur ke belakang, pada 8 November 2002, Dewan Keamanan PBB mengadopsi Resolusi 1441 yang memberikan Irak “sebuah kesempatan terakhir untuk mematuhi kewajiban-kewajiban pelucutan senjata.”

Resolusi tersebut tidak memberikan izin penggunaan kekuatan terhadap Irak.

Annan berpendapat seharusnya Dewan Keamanan PBB-lah yang mengambil tindakan sesuai dengan resolusi-resolusi PBB untuk menekan Saddam Hussein agar meninggalkan upayanya untuk membuat senjata pemusnah massal.

Dia menambahkan, keputusan AS untuk tetap menjalankan misi menginvasi Irak, bersama pasukan Inggris, “tidak sesuai dengan Dewan Keamanan, dan dengan Piagam PBB.”

Baca Juga: Rasisme Media Barat dalam Peliputan Invasi Rusia ke Ukraina

Penerapan Sanksi

AS, Uni Eropa bersama banyak negara lainnya, organisasi-organisasi internasional serta perusahaan-perusahaan internasional seakan berlomba menjatuhkan sanksi kepada Rusia setelah Presiden Vladimir Putin mengumumkan “operasi militer” ke Ukraina pada 24 Februari lalu.

Tanpa perlu waktu lama, di hari yang sama dengan pengumuman “operasi militer” Putin, Presiden AS Joe Biden mengumumkan sanksi ekonomi kepada Rusia.

Pada 27 Februari 2022, Uni Eropa mengumumkan menutup wilayah udaranya untuk maskapai Rusia, mendanai pasokan senjata ke Ukraina, dan melarang beberapa media pro-Kremlin beroperasi di Uni Eropa.

Pada 3 Maret 2022, Biden kembali mengumumkan sanksi yang membidik pengusaha-pengusaha kaya Rusia yang diduga memiliki hubungan dengan Putin.

Pada 12 Maret 2022, Komisi Eropa mengumumkan sanksi gelombang keempat bagi Rusia. Sanksi-sanksi itu antara lain berupa penghentian perdagangan dan perlakuan ekonomi istimewa, pelarangan ekspor barang mewah Uni Eropa ke Rusia, serta pelarangan impor besi dan baja dari Rusia.

Pada 15 Maret 2022, Inggris mengumumkan akan menaikkan bea impor terhadap produk-produk Rusia antara lain vodka, ikan putih, besi, hingga biji gandum.

Baca Juga: Ledakan Terjadi di Dekat Bandara Lviv Ukraina, Serangan Rusia Kian Dekati Wilayah NATO

Sanksi-sanksi tersebut hanya sebagian dari sekian banyak sanksi yang dijatuhkan kepada Rusia secara bertubi-tubi.

Menariknya, AS dan Uni Eropa justru menolak seruan boikot, divestasi, dan sanksi terhadap Israel yang telah disuarakan oleh gerakan Boycott, Divestment, and Sanctions (BDS) yang digulirkan warga Palestina selama bertahun-tahun.

BDS yang dimulai pada 2005, bertujuan untuk menekan Israel agar menghentikan penindasan terhadap warga Palestina dan mematuhi hukum internasional lewat pemboikotan, divestasi, dan penerapan sanksi.

Pada 15 September 2016, Uni Eropa melalui kepala urusan kebijakan luar negerinya, Federica Mogherini, menolak BDS.

“UE (Uni Eropa) menolak upaya-upaya kampanye BDS untuk mengisolasi Israel dan menentang boikot apa pun terhadap Israel,” bunyi pernyataan Mogherini untuk menanggapi sebuah pertanyaan di Parlemen Eropa pada 15 September 2016.

Kemudian pada 20 Juli 2021, giliran Departemen Luar Negeri AS menyatakan menolak gerakan BDS.

“Kami dengan tegas menolak gerakan BDS yang secara tidak adil menyasar Israel,” kata juru bicara Deplu AS Ned Price.

Sebelumnya pada 23 Juli 2019, mayoritas anggota Kongres AS mendukung resolusi yang mengecam gerakan BDS karena dianggap “mempromosikan prinsip-prinsip rasa bersalah kolektif, hukuman massal, dan pengisolasian kelompok.”

Sejauh ini sebanyak 35 negara bagian AS telah mengadopsi undang-undang, resolusi, dan perintah eksekutif yang membatasi atau melarang boikot apa pun terhadap Israel.

Baca Juga: Misi Rahasia Kelompok Ibu-Ibu di Ukraina, Selamatkan Ratusan Anak yang Sembunyi dari Serangan Rusia

Di samping pemerintah-pemerintah negara, perusahaan-perusahaan internasional pun ikut mengisolasi Rusia. Sebagian menyatakan menghentikan operasi mereka di Rusia menyusul invasi ke Ukraina.

Airbnb, perusahaan penyewaan rumah yang berpusat di AS, merupakan salah satu dari sejumlah perusahaan internasional yang mengumumkan penghentian operasi mereka di Rusia.

Pada 4 Maret 2022, Airbnb mengumumkan penangguhan seluruh operasinya di Rusia dan Belarusia, negara tetangga Ukraina yang mendukung invasi Rusia.

Ironisnya, Airbnb tetap mempromosikan properti-properti sewaan di permukiman-permukiman ilegal yang dibangun Israel di wilayah Palestina. Tanpa memedulikan seruan-seruan yang digaungkan aktivis-aktivis Palestina dan organisasi-organisasi HAM.

“Secara memalukan, Airbnb terus mempromosikan dan mengambil untung dari situasi yang menjadi akar permasalahan dari pelanggaran HAM sistematis yang dialami jutaan warga Palestina setiap hari,” kata Saleh Higazi, deputi direktur regional Timur Tengah dan Afrika Utara Amnesty International.

Airbnb masuk dalam daftar 112 perusahaan yang menurut Kantor HAM PBB turut terlibat dalam pelanggaran HAM warga Palestina karena beroperasi di permukiman-permukiman ilegal di wilayah Palestina yang diduduki Israel.

Sebagian besar dari 112 perusahaan tersebut berkedudukan di Israel, dan 18 berada di enam negara lainnya.

Selain Airbnb, perusahaan internasional lainnya yang juga masuk daftar tersebut antara lain Expedia, TripAdvisor, dan Booking.com.

Baca Juga: Putin Tangkap Pejabat Militer Rusia, Diduga Jadi Kambing Hitam Kesulitan Kalahkan Ukraina

Hak untuk Melawan Pendudukan

Gedung Putih dengan tegas menyatakan mendukung hak-hak rakyat Ukraina untuk melawan serangan dan pendudukan militer Rusia.

“Kami tentu saja mendukung hak-hak rakyat Ukraina untuk melawan balik,” kata Sekretaris Pers Gedung Putih Jen Psaki saat ditanya tentang dukungan AS terhadap hak rakyat Ukraina untuk melawan pendudukan, 7 Maret 2022.

“Saat mereka dengan berani bertarung dan kami berdiri bersama mereka dan mendukung mereka,” imbuhnya.

Akan tetapi dalam masalah Palestina-Israel, pemerintah AS justru menjadi pendukung bagi pendudukan militer Israel atas Palestina.

Dukungan itu salah satunya berbentuk bantuan militer. Pada 2020, pemerintah AS memberi bantuan kepada Israel senilai USD3,8 miliar, bagian dari komitmen tahunan jangka panjang yang dibuat di zaman pemerintahan Presiden Barack Obama pada 2016.

Menurut BBC, hampir seluruh dari bantuan tersebut digunakan untuk militer.

Kesepakatan yang ditandatangani Obama pada 2016 itu mengatur tentang pemberian bantuan militer untuk Israel sebesar total USD38 miliar dalam kurun 2017-2028.

Baca Juga: Termasuk Inggris dan AS, 6 Negara Ini Tuduh Rusia Lakukan Kejahatan Perang, Sebut Ada Bukti Nyata

Politik dalam Olahraga

Rusia memulai invasi ke Ukraina pada 24 Februari 2022. Hanya berselang empat hari, FIFA dan UEFA langsung mengeluarkan tim nasional Rusia dari perebutan tiket Piala Dunia 2022.

Tidak hanya tim nasional Rusia, seluruh klub negara itu yang tampil di kompetisi Eropa juga terkena imbas.

“FIFA dan UEFA hari ini telah memutuskan bersama bahwa seluruh tim Rusia, baik tim perwakilan nasional ataupun tim klub, akan ditangguhkan dari partisipasi dalam kompetisi FIFA dan UEFA hingga pemberitahuan lebih lanjut,” kata FIFA dan UEFA dalam sebuah pernyataan.

Posisi FIFA tersebut berbeda dengan posisi yang diambilnya pada Oktober 2017 setelah pihak Palestina meminta agar enam klub Israel yang berada di permukiman-permukiman ilegal di wilayah Palestina yang diduduki Israel, dipindahkan atau dilarang ikut kompetisi yang diakui FIFA.

Menanggapi permintaan Palestina, FIFA dalam pernyataannya mengatakan, pihaknya “harus tetap netral dalam hal masalah-masalah politik.”

FIFA menyebut, situasi yang terjadi tidak ada hubungannya dengan sepak bola, dan ditandai dengan “kompleksitas dan sensitivitas luar biasa” yang tidak dapat diubah oleh organisasi-organisasi non-pemerintah seperti FIFA.

“Karena itu, Dewan FIFA telah memutuskan menghindari penerapan sanksi apa pun atau tindakan-tindakan lainnya terhadap federasi sepak bola Israel.”

Human Rights Watch mengatakan, permukiman-permukiman Israel di wilayah Palestina melanggar hukum humaniter internasional.

Konvensi Jenewa Keempat melarang pihak yang menduduki suatu wilayah (occupying power) memindahkan populasi sipilnya ke wilayah yang didudukinya.

“Dengan mengizinkan IFA (Asosiasi Sepak Bola Israel) menggelar pertandingan di wilayah permukiman (ilegal), FIFA terlibat dalam aktivitas bisnis yang mendukung permukiman Israel, berlawanan dengan komitmen-komitmen hak asasi manusia yang ditegaskannya baru-baru ini,” bunyi pernyataan Human Rights Watch pada 25 September 2016.

Baca Juga: Warga Keluar Hidup-Hidup dari Gedung Teater Mariupol yang Dibom, Rusia Dituding Lakukan Genosida

 




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x