Kompas TV internasional kompas dunia

Tak Mau Terlibat Apartheid, Siswa Israel Cari Suaka ke Inggris

Kompas.tv - 17 September 2021, 18:08 WIB
tak-mau-terlibat-apartheid-siswa-israel-cari-suaka-ke-inggris
Tentara Israel menyerang warga Palestina yang akan berunjuk rasa mendukung Nabi Muhammad di Masjid Al-Aqsa, Jumat (18/6/2021). (Sumber: AP Photo/Mahmoud Illean)
Penulis : Edy A. Putra | Editor : Vyara Lestari

LONDON, KOMPAS.TV – Pengadilan Inggris dijadwalkan akan mendengarkan kesaksian seorang pemuda Israel yang mencari suaka karena khawatir wajib militer yang harus dijalaninya akan memaksanya melakukan kejahatan perang.

Pengacara dari siswa ilmu agama berusia 21 tahun itu mengatakan kliennya melarikan diri dari Israel pada 2017 setelah menerima undangan untuk melapor ke dinas militer.

Pengajuan suakanya ditolak Menteri Dalam Negeri Inggris Priti Patel pada Desember 2020. Saat ini, pemuda yang namanya dirahasiakan itu mengajukan banding. Sidang berikutnya akan digelar pada Senin (20/9/2021) di Manchester.

Warga Israel yang mencari suaka ke Inggris merupakan sesuatu yang langka. Apalagi dilakukan oleh seorang conscientious objector atau orang yang menolak melakukan sesuatu karena hati nurani.

Tim pengacara pemuda itu mengatakan kliennya khawatir akan dipaksa melakukan kejahatan apartheid, argumen yang belum pernah dipakai oleh pencari suaka yang berhubungan dengan Israel atau Palestina.

Baca Juga: Israel Penjarakan Ribuan Warga Palestina termasuk Anak-Anak, Sebagian Tanpa Proses Pengadilan

“Klien kami mencoba untuk membuktikan kasusnya dalam konteks Israel sebagai sebuah negara apartheid,” ujar Fahad Ansari, pengacara di Riverway Law, yang mewakili siswa tersebut.

“Sayangnya, dalam sidang banding suaka yang melibatkan warga Palestina, entah mereka berasal dari Tepi Barat atau Gaza, tidak pernah ada pembahasan soal isu besarnya yaitu sifat apartheid dari Israel, yang merupakan sumber utama penderitaan dan perginya warga Palestina dari tanah mereka,” imbuh Ansari seperti dikutip dari Middle East Eye.

Menurut Ilan Pappe, profesor di Universitas Exeter, Inggris, yang menulis sebuah laporan yang dipakai sebagai bukti dalam kasus ini, mahasiswa tersebut berpotensi diseret ke pengadilan di negaranya dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara karena menolak menjalani wajib militer (wamil).

Jika siswa tersebut bersedia menjalani wamil, kata Pappe, dia akan ditempatkan sebagai anggota Batalion Netzah Yehuda yang bertugas menjaga pos-pos pemeriksaan di wilayah pendudukan di Tepi Barat, Palestina.

 “Penuntut berpotensi menjadi bagian dari pendudukan Tepi Barat,” tulis Pappe dalam laporannya.

Baca Juga: PM Israel Tolak Pembentukan Negara Palestina, Dianggap Kesalahan Buruk

Pengacara hak asasi manusia Israel Michael Sfard mengatakan kepada Middle East Eye, banyak refusenik, nama yang digunakan untuk menyebut pemuda-pemudi Israel yang menolak wajib militer, mengatakan mereka tidak akan berpartisipasi dalam kejahatan-kejahatan di wilayah-wilayah Palestina yang berada di bawah pendudukan.

Mereka bahkan secara spesifik menyebut apartheid sebagai salah satu kejahatan di wilayah-wilayah pendudukan.

Ansari mengatakan selain wajib militer, kliennya juga khawatir akan mengalami persekusi saat kembali ke Israel.

Sebelum melarikan diri, siswa itu mengaku pernah berpartisipasi dalam unjuk rasa-unjuk rasa damai menentang Zionisme dan penerapan wajib militer bagi siswa-siswa ilmu agama. Dia mengaku mengalami kekerasan verbal dan fisik saat berada dalam tahanan kepolisian.

Yuval Avraham, penulis dan aktivis dari Yerusalem, memuji keberanian mahasiswa tersebut.

“Jika lebih banyak orang seperti dia yang menolak menjalani dinas di angkatan bersenjata Israel, gerakan kami yang menyerukan keadilan, kesetaraan, dan penghentian pendudukan militer yang kejam, akan lebih kuat,” ujarnya.

“Dalam pikiranku, sederhana saja. Jika kau antipendudukan, kau seharusnya tidak berdinas di angkatan bersenjata yang melakukannya (pendudukan),” sambungnya.

Baca Juga: Penangkapan Kembali Empat Tahanan yang Lolos dari Penjara Israel Dikecam Warga Palestina

 




Sumber : Middle East Eye


BERITA LAINNYA



Close Ads x