Kompas TV internasional kompas dunia

Presiden AS Joe Biden Setujui Sanksi Terhadap Militer Myanmar dan Kepentingan Bisnis Mereka

Kompas.tv - 11 Februari 2021, 06:05 WIB
presiden-as-joe-biden-setujui-sanksi-terhadap-militer-myanmar-dan-kepentingan-bisnis-mereka
Presiden Joe Biden berbicara bersama Wakil Presiden Kamala Harris tentang tanggapan pemerintahannya terhadap kudeta di Myanmar di Auditorium Pengadilan Selatan di kompleks Gedung Putih, Rabu, 10 Februari 2021, di Washington. (Sumber: AP Photo/Patrick Semansky)
Penulis : Edwin Shri Bimo

WASHINGTON, KOMPAS.TV – Presiden Amerika Serikat Joe Biden hari Rabu, (10/02/2021) di Washington DC menyatakan sudah menyetujui perintah eksekutif untuk menerapkan sanksi baru kepada mereka yang bertanggung jawab atas kudeta militer di Myanmar, demikian dilansir Reuters, Kamis (11/02/2021)

Biden juga mengulangi tuntutannya agar para jenderal itu mengembalikan kekuasaan pemerintahan sipil dan membebaskan seluruh pemimpin sipil.

Dalam pernyataannya, Biden mengatakan perintahnya itu membuat jajarnanya bisa “menerapkan sanksi segera kepada pemimpin militer yang menyutradarai kudeta, kepentingan bisnis mereka, dan juga keluarga dekat mereka,”

Biden mengatakan pemerintahnya akan mengidentifikasi sasaran pertama mereka minggu ini dan akan mengambil langkah untuk mencegah para jenderal di Myanmar menarik 1 miliar dollar AS dana pemerintah Myanmar yang saat ini ada di Amerika Serikat.

Baca Juga: Pengunjuk Rasa Beragam Lapisan Sosial Myanmar Turun ke Jalan Besar-Besaran Abaikan Larangan Militer

“Kami akan memberlakukan kendali ekspor yang kuat. Kami juga membekukan asset AS yang menguntungkan pemerintahan Myanmar, sementara tetap menjaga dukungan kami bagi sektor yang dirasakan langsung oleh rakyat Myanmar seperti layanan kesehatan, masyarakat sipil, dan sektor lain,” kata Biden di Gedung Putih hari Rabu.

“Kami siap menerapkan sanksi tambahan, dan kami akan terus bekerja bersama mitra internasional kami untuk mendesak negara-negara lain bergabung bersama kami dalam ikhtiar ini,” tuturnya.

Kudeta 1 Februari yang menjungkalkan pemerintahan sipil yang dipimpin Aung San Suu Kyi itu terjadi hanya kurang dari dua minggu setelah Biden resmi menjadi presiden.

Kudeta di Myanmar ini menjadi krisis internasional Biden pertama,  dan menjadi ujian pertama upayanya untuk kembali menjadikan HAM sebagai titik pusat kebijakan luar negeri serta untuk kembali bekerja sama dengan sekutu-sekutu Amerika Serikat.

Baca Juga: Karena Kudeta, Selandia Baru Tangguhkan Kontak Politik dan Bantuan Militer Pada Myanmar

“Sekali lagi saya mendesak militer Burma untuk segera membebaskan pemimpin politik demokratis serta aktivis,” tuturnya seraya menegaskan,”militer harus melepaskan kekuasaan yang mereka ambil,”

Negara-negara Barat sudah mengecam kudeta itu, namun kalangan analis mengatakan, melihat nilai strategis negara itu, militer Myanmar tidak akan terlalu terisolasi seperti di masa lalu, dengan China, India, Jepang, dan negara-negara Asia Tenggara yang tampaknya tidak akan memotong hubungan.

Mantan Duta Besar AS untuk Myanmar, Derek Mitchel mengatakan, untuk memberi tanggapan yang kuat, sangat penting untuk melibatkan negara seperti Jepang, India, dan Singapura.

“Kuncinya adalah, ini tidak hanya tentang apa yang AS lakukan,” tutur Derek, “Ini tentang bagaimana kita bisa mengajak yang lain, sekutu yang mungkin punya pengaruh, daya tawar, atau setidaknya hubungan yang lebih baik dengan pemain-pemain kunci,”

Baca Juga: Generasi Milenial Turun Gunung Berunjuk Rasa Melawan Militer Myanmar, Simak Cara Mereka Melawan

Walau Biden tidak mengatakan secara rinci siapa yang akan ditargetkan dalam sanksi barunya, Washington kemungkinan akan menyasar pemimpin kudeta, Jenderal Min Aung Hlaing dan jenderal-jenderal top lain yang sebenarnya sudah berada di bawah sanksi AS tahun 2019 atas perbuatan mereka kepada etnis Rohingya.

Sanksi itu bisa juga menyasar Myanmar Economic Holdings Limited dan Myanmar Economic Corp, dua perusahaan milik militer yang memiliki investasi membentang dari sektor perbankan, batu mulia, tembaga, telekomunikasi, dan pakaian.



Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x