> >

Kisah di Balik Hubungan Harmonis Timnas Aljazair dengan Palestina

Kompas sport | 21 Desember 2021, 18:59 WIB
Pemain Timnas Aljazair merayakan kelolosan ke babak final Piala Arab 2021 dengan mengibarkan bendera Palestina. (Sumber: twiter.comshejae3a)

DOHA, KOMPAS.TV - Momen unik dan menyentuh tercipta dalam laga perempat final Piala Arab 2021 di Stadion Al Bayt, Sabtu (18/12/2021).

Kampiun Piala Arab 2021, Tim Nasional (Timnas) Aljazair mengibarkan bendera Palestina sebagai bentuk selebrasi dan solidaritas.

Dalam laga tersebut, Aljazair sukses menekuk Tunisia dengan skor 2-0 lewat gol-gol Amir Sayoud (99'), serta Yacine Brahimi pada menit 120+5.

Usai peluit panjang tanda akhir pertandingan berbunyi, para pemain Aljazair langsung berlarian ke tengah lapangan dengan membawa bendera Palestina. 

Ini bukan kejadian pertama. Pada babak perempat final kontra Maroko, para pemain Aljazair juga melakukan hal serupa. Pun dalam laga semifinal melawan tuan rumah Qatar.

Baca Juga: Hari Ini 34 Tahun Lalu, Palestina Mulai Intifadah Pertama ke Israel

Tidak hanya para pemain, suporter Timnas Aljazair juga mengibarkan bendera Palestina dari tribun. 

Pemain bertahan Aljazair, Houcine Benayada yang sempat membelit tubuhnya dengan bendera Palestina usai laga perempat final kontra Maroko, mengaku memang berjuang atas nama dua bendera (Aljazair dan Palestina). 

"Kami tidak bermain di Piala Arab 2021 untuk sebuah bonus, kami bermain untuk dua bendera ini," ungkap Benayada, dikutip dari Aljazeera. 

Sementara itu, usai laga final berakhir, pelatih Aljazair Amjid Bougherra mendedikasikan kemenangan timnya untuk Palestina, khususnya warga Gaza. 

Tetapi, dari mana datangnya dukungan terbuka nan emosional Aljazair ini? 

Menurut jurnalis olahraga dan anggota direksi klub Palestina, Al-Hilal, Tagreed Al-Amour, solidaritas Aljazair untuk Palestina sudah hal lazim, baik dari kalangan pemerintahan ataupun publik, terlebih di ranah sepak bola.

Hal tersebut sangat kontra dengan mayoritas negara Arab lain yang lebih memilih diam dan melakukan normalisasi hubungan dengan Israel.

Sebagai gantinya, bendera Aljazair sering terlihat di beberapa tempat di Palestina macam kota Gaza, Jerusalem, toko-toko di Ramallah, hingga saat aksi protes terhadap pendudukan Israel atas Tepi Barat. 

Baca Juga: Macron Kutuk Pembantaian Warga Aljazair di Paris 1961, Presiden Prancis Pertama yang Mengakuinya

“Dukungan Aljazair dalam sepak bola untuk Palestina selalu menarik perhatian pada perlunya dukungan Arab yang berkelanjutan untuk hak menentukan nasib sendiri bagi Palestina dan untuk mengakhiri pendudukan Israel,” al-Amour menjelaskan.

“Mereka yang memahkotai kemenangan mereka dengan bendera Palestina dan keffiyeh [kain penutup kepala tradisional Arab] melakukannya untuk mengirim pesan satu darah, simbol persatuan Arab, dan penolakan terhadap kolonialisme dan normalisasi.”

Kolonialisme, Benang Merah Solidaritas

Seperti halnya Palestina, Aljazair sempat merasakan 132 tahun dijajah oleh Prancis. 

Perang kemerdekaan Aljazair tahun 1954-62 sangat memengaruhi kebjakan luar negeri negara tersebut dan bentuk dukungannya terhadap pembebasan negara-negara terjajah di seluruh dunia. 

Palestina sendiri mendirikan Palestinian Liberation Organization (PLO) sesaat usai Aljazair merdeka. 

Tahun demi tahun berlalu, tepatnya pada 1988, Aljazair dan PLO bertemu untuk mendeklarasikan negara Palestina.

"Kecintaan dan solidaritas Aljazair untuk Palestina sendiri muncul atas pengalaman memahami kehancuran yang diakibatkan penjajah," sebut jurnalis olahraga Aljazair, Maher Mezahi, dikutip dari Aljazeera. 

"Ada kesamaan sentimen membenci sistem (kolonial) itu," tambah Maher. 

Impak pembentukan negara Palestina sangat besar bagi rakyat Aljazair, terutama anak-anak muda masa kini yang mencintai sepak bola. 

Pada tahun 2019, ada gerakan protes pelengseran Presiden Aljazair Abdelaziz Bouteflika. Gerakan protes ini disebut oleh komentator beIN Sport, Hafid Derradji, dimulai dari para suporter sepak bola di stadion-stadion. 

Menurut Tagreed Al-Amour, stadion-stadion sepak bola di Aljazair memiliki fungsi lain, sebagai tempat untuk mengukur kesadaran massa terhadap masalah sosial dan politik.  

Baca Juga: Kalahkan Beitar Jerusalem yang Anti-Palestina, Klub Sepak Bola Ini Dilarang Main di Markasnya

“Stadion sepak bola telah menjadi salah satu alat paling menonjol untuk menyuarakan dukungan, advokasi, atau meningkatkan kesadaran terhadap beberapa masalah politik dan sosial, melalui nyanyian, poster, atau lagu,” jelasnya.

“Stadion juga merupakan alat untuk mengukur kesadaran massa populer.”

Lewat stadion-stadion tersebut, muncullah salah satu chant suporter yang paling populer di Aljazair, 'Falasteen Chouhada' yang bisa diartikan 'Palestina, (tanah) para martir'. 

Usai perang kemerdekaan, Aljazair juga dijuluki sebagai 'Negara Sejuta Martir'.

Profesor Ilmu Politik Universita Oran, Youcef Fates, mengungkapkan 'Falasteen Chouhada' lahir dari kisah pembunuhan 500 rakyat Aljazair –yang mayoritas adalah anak-anak muda dan suporter sepak bola – oleh pemerintah pada kericuhan 1988. 

Versi lain 'Falasteen Chouhada' menurut Mahir Mezahi, juga menjadi tanda Intifada pertama. 

"Nyanyian itu adalah pokok lain dari tim nasional Aljazair. Tim nasional Aljazair telah menjadi semacam kendaraan untuk advokasi perjuangan Palestina di seluruh Aljazair," jelas Mezahi. 

Puncaknya, Timnas Aljazair dan Palestina melangsungkan pertandingan persahabatan pada 2016 silam, yang dihadiri 70.000 penonton. 

Dalam laga bersejarah tersebut, Palestina menang dengan skor 1-0. Tetapi, saat Timnas Palestina mencetak skor, puluhan ribu penonton tersebut riuh dalam suka cita. 

Dan tak lupa, mereka menyanyikan 'Falasteen Chouhada'. 

 

Penulis : Gilang Romadhan Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : aljazeera.com


TERBARU