> >

4 Catatan Asosiasi LBH APIK soal Rekomendasi Komnas HAM di Kasus Pembunuhan Brigadir J

Hukum | 11 September 2022, 06:50 WIB
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik (kiri) menyerahkan laporan kasus pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, secara simbolis ke Kepala Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum) Polri, Komjen Pol Agung Budi Maryoto, Kamis (1/9/2022). (Sumber: KOMPAS TV)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Asosiasi Lembaga Bantuan Hukum Apik Indonesia menilai hasil investigasi dan rekomendasi Komas HAM terkait pelanggaran HAM berat di kasus Brigadir J tidak diungkap secara menyeluruh.

Ketua Pengurus Asosiasi LBH APIK Indonesia Nursyahbani Katjasungkana menjelaskan ada empat catatan penting dalam rekomendasi Komnas HAM.

Pertama, Komnas HAM tidak memberikan rekomendasi terkait perlakuan aparat terhadap keluarga almarhum Brigadir J, sejak pertama kali kasus ini diumumkan hingga perkembangan saat ini. 

Baca Juga: Ada 3 Substansi dari Rekomendasi Komnas HAM Soal Kasus Pembunuhan Yosua, Apa Saja?

Seperti saat penyerahan jenazah almarhum, permintaan keluarga terkait kematian Brigadir J, tidak dilibatkannya keluarga saat proses rekonstruksi hingga akses perkembangan informasi kepada keluarga. 

"Kasus penghilangan dan perampasan nyawa seseorang adalah pelanggaran berat atas hak paling hakiki yakni hak hidup. Karena itu pemantauan haruslah dilakukan di setiap tahapan proses pidana untuk memperoleh kebenaran materiel," ujar Nursyahbani dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas TV, Sabtu (10/9/2022).

Catatan kedua yang perlu mendapat perhatian adalah rekomendasi Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk menindaklanjuti indikasi kekerasan seksual yang dialami oleh Putri Candrawathi (PC).

Menurutnya, rekomendasi tersebut dapat membuka secara terang terkait kebenaran dugaan pelecehan yang dilakukan korban terhadap PC.

Baca Juga: Kamaruddin Duga Komnas HAM Sudah Dibayar Untuk Bahas Soal Pelecehan Seksual

Asosiasi LBH APIK Indonesia mengingatkan dalam banyak kasus, pembuktian kekerasan seksual sering sulit dilakukan. 

Untuk itu dibutuhkan kecermatan dalam menganalisa mengenai relasi kuasa dan interseksionalitas, serta bukti-bukti lain sesuai prinsip yang diatur dalam hukum acara pidana.

Kasus kekerasan seksual memang dapat terjadi pada siapa saja, dan dapat dilakukan siapa pun. Namun analisis relasi kuasa antara pelaku kekerasan dengan perempuan korban yang biasanya digunakan dalam kasus perkosaan atau kekerasan seksual lainnya, tidak serta merta dapat diterapkan begitu saja dalam kasus PC.

Penulis : Johannes Mangihot Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas TV


TERBARU