> >

Jenis Pelanggaran HAM Berat yang Bisa Jerat Irjen Ferdy Sambo dalam Kasus Pembunuhan Brigadir Yosua

Hukum | 15 Agustus 2022, 21:09 WIB
Ilustrasi. Irjen Ferdy Sambo. Pada Senin (15/8/2022), Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyebut ada beberapa kategori pelanggaran HAM berat yang berpotensi ditetapkan pada kasus pembunuhan Brigadir Yosua. (Sumber: Instagram divpropampolri)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat bisa ditetapkan sebagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Penetapan itu juga akan berpengaruh pada pemrosesan para tersangka, termasuk Irjen Ferdy Sambo.

Ketika berbicara dalam program “Sapa Indonesia Malam” KOMPAS TV, Senin (15/8/2022) petang, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyebut Komnas HAM bisa melakukan penetapan tersebut.

Walaupun berupa kejahatan terhadap individu, Usman menyatakan pembunuhan Brigadir Yosua bisa ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat.

Usman menyebut ada beberapa kategori pelanggaran HAM berat yang berpotensi ditetapkan pada kasus pembunuhan Brigadir Yosua.

“Pertama, pelanggaran HAM berat terhadap hak-hak tertentu seperti hak atas hidup, hak untuk tidak disiksa, atau hak untuk tidak dihilangkan secara paksa,” kata Usman.

“Jadi kalau kategori-kategori hak itu dilanggar, padahal hak-hak itu tidak boleh dikurangi dalam kondisi apa pun, itu disebut sebagai gross violation of human rights, pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia,” sambungnya.

Baca Juga: Amnesty: Kasus Pembunuhan Brigadir J Bisa Ditetapkan sebagai Pelanggaran HAM Berat

 

Usman menyebut kategori most serious crime atau kejahatan yang paling serius dapat ditetapkan pada kasus ini. Kategori itu termasuk pelanggaran HAM berat menurut Undang-Undang No. 26 tahun 2006 tentang Pengadilan HAM.

“Dalam konteks ini, UU kita mengenal dua bentuk: kejahatan kemanusiaan dan kejahatan genosida. Nah, tentu sulit membuktikan kasus ini sebagai genosida, tetapi mungkin saja bisa ditetapkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan seperti kasus Munir,” katanya.

Usman pun menyoroti keterkaitan kasus ini dengan pembunuhan Munir pada 2004 silam. Kasus Munir saat ini masih berstatus tindak pidana biasa. Padahal, kasus ini akan kedaluwarsa pada September mendatang.

Berbagai pihak terus mendorong Komnas HAM menetapkan kasus Munir sebagai pelanggaran HAM berat sebelum kedaluwarsa. Namun, Komnas HAM dinilai lambat memproses penetapan ini.

Sementara itu, mengenai instrumen hukum yang bisa dipakai untuk menetapkan kasus pembunuhan Brigadir Yosua menjadi pelanggaran HAM berat, Usman menyatakan bahwa ada dua UU yang bisa dipilih Komnas HAM.

“Yang paling mungkin adalah UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Pada pasal 104, dalam penjelasannya, pelanggaran HAM berat yang dimaksud dalam UU ini adalah pembunuhan di luar hukum atau extrajudicial killing atau pembunuhan sewenang-wenang alias arbitrary killing, atau tindakan pembunuhan seketika alias summary execution,” kata Usman.

“Kembali pada Komnas HAM, apakah Komnas HAM mau menggunakan UU ini, dan apakah bukti-bukti yang dikumpulkan Komnas HAM memang mau diarahkan ke sana (pelanggaran HAM berat),” pungkasnya.

Komnas HAM sendiri telah memeriksa tempat kejadian pembunuhan Brigadir Yosua di Duren Tiga, Jakarta Selatan pada Senin (15/8) hari ini.

Dua komisioner Komnas HAM, Choirul Anam dan Beka Ulung Hapsara tiba di rumah dinas Ferdy Sambo pada pukul 15.10 WIB.

"Kami dari Komnas HAM akan mengecek di TKP dan apa saja yang dicek, tentu saja terkait dengan data-data yang sudah kami peroleh dari soal balistik, soal autopsi jenazah (Brigadir Yosua), maupun juga dari konstruksi bangunan yang ada. Kami akan cek satu per satu berdasarkan keterangan dari ajudan, keterangan dari Sambo maupun bukti-bukti yang lain," kata Baeka Ulung Hapsara kepada wartawan, Senin (15/8) sore.

Baca Juga: Komnas HAM Sebut Temukan Indikasi Kuat Obstruction of Justice Usai Periksa TKP Tewasnya Brigadir J


 

Penulis : Ikhsan Abdul Hakim Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas TV


TERBARU