> >

Pertanyaan Tersisa, Kecelakaan Handi-Salsa dan Oknum TNI

Aiman | 17 Januari 2022, 10:51 WIB
Handi-Salsa, sejoli korban tabrak lari oleh anggota TNI di Nagreg.

Kecelakaan yang menewaskan dua remaja, Handi Saputra dan teman perempuannya, Salsabila, tengah menunggu persidangan. Seolah tampak seperti kecelakaan biasa, namun ada pertanyaan tersisa di dalamnya. AIMAN menelusuri titik demi titik di tempat kejadian perkara.

Kecelakaan ini bermula pada 8 Desember 2021 lalu. Kala itu Handi tengah membonceng Salsa menggunakan sepeda motor. Beberapa puluh meter dari rumah Salsabila setelah menjemput perempuan berusia 14 tahun ini, Handi dengan membonceng Salsa, mengendarai motor, menyeberang jalan utama Nagreg, Kabupaten Bandung Jawa Barat, dan Brak.. keduanya tertabrak sebuah mobil minibus, jenis Isuzu Panther berwarna abu-abu matte alias warna abu-abu buram.

Keterangan urutan peristiwa saya peroleh dari hasil penyelidikan Polisi Militer TNI AD termasuk rencana berkas tuntutan yang disiapkan oleh Oditurat Militer Tinggi-II Jakarta.

Sejurus kemudian, tiga orang lelaki turun dari mobil. Menggunakan pakaian sipil. Mereka kemudian membawa kedua korban kecelakaan ini, Salsabila belakangan diketahui sudah tewas di tempat. Sementara Handi masih hidup. Berdasarkan keterangan saksi mata, ia masih bisa bersuara pelan, melirih meminta tolong!

Handi dan Salsa sempat dinyatakan hilang, bahkan perkiraan diculik orang jahat pun, mencuat selama 7 hari. 

Jajaran TNI bergerak cepat menyelidiki kasus ini setelah menerima laporan awal dari Kepolisian. Dari hasil penyelidikan disimpulkan bahwa ada dugaan 3 oknum anggota TNI yang menjadi aktor utama kasus ini. 

Ketiganya adalah Kolonel Priyanto, Kopral Dua Ahmad, dan Kopral Dua Dwi. Kedua Kopral ini adalah bekas prajurit yang pernah bertugas bersama dengan Kolonel Priyanto. 

Saat ini Kolonel Priyanto bertugas sebagai Kasie Intel Korem Gorontalo, Kodam Merdeka. Sementara Kopda Ahmad bertugas di Kodim Demak, Kodam Diponegoro, serta Kopda Dwi bertugas di Kodim Gunung Kidul, Kodam Diponegoro. 

Singkat cerita kedua jenazah akhirnya ditemukan di Sungai Serayu di Banyumas pada jasad Handi, dan Sungai Serayu di Cilacap, pada jasad Salsa. Keduanya berjarak lebih dari 10 kilometer. 

Keduanya dibuang di jembatan di atas sungai yang bermuara ke Sungai terbesar dan terpanjang di Banyumas, Sungai Serayu.  

Titik kecelakaan dengan titik di mana kedua jasad dibuang oleh ketiga orang yang belakangan diketahui sebagai 3 oknum anggota TNI, berjarak lebih dari 200 kilometer, dengan waktu 5 jam perjalanan menggunakan mobil.

Ancaman hukuman seumur hidup pun dilayangkan. Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa sendiri yang menjelaskan kepada wartawan. 

"Kita lakukan penuntutan maksimal seumur hidup, walaupun sebetulnya Pasal 340 (KUHP) ini memungkinkan hukuman mati tapi kita ingin seumur hidup saja," kata Jenderal Andika di Kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Jakarta, Selasa (28/12/2021).

Ada 3 hukuman maksimal dari delik Pembunuhan berencana, masing-masing penjara 20 tahun, penjara seumur hidup, hingga hukuman paling berat, yakni hukuman mati.

Adapun bunyi Pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi:

"Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain, dihukum karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun".

Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, memastikan bahwa hukuman tersebut masuk dalam penuntutan terhadap ketiga prajurit tersebut.

Hasil penyelidikan dan penyidikan dari Polisi Militer telah rampung dilakukan, dan dalam pekan ini rencananya akan segera dilimpahkan ke Pengadilan. Meski ada sejumlah pertanyaan tersisa!

Menyeruak Kejanggalan dari Kasus Ini…

Setidaknya ada tiga kejanggalan yang menyeruak. Saya tertarik untuk terjun ke setiap titik tempat kejadian perkara, dan menelusuri kejadiannya!

Kejanggalan pertama adalah, ketiga oknum TNI ini, bertugas di tiga daerah yang berbeda. Kolonel Priyanto di Gorontalo, Kopda Ahmad di  Demak, Jawa Tengah, sementara Kopda Dwi di Gunung Kidul, Yogyakarta. Bagaimana mereka bisa berada di tempat yang sama, apakah atas seizin atasan atau ada hal lainnya?

Fakta kedua, bagaimana mungkin seorang perwira menengah senior berpangkat Kolonel, mengambil jalan pintas dengan dugaan memberi perintah kepada bawahannya untuk membuang jasad korban kecelakaan.

Padahal bisa diantar ke rumah sakit atau fasilitas kesehatan terdekat, seperti Puskesmas atau klinik rawat inap. Ada puluhan yang tersedia di sepanjang perjalanan dari Bandung, Jawa Barat menuju Banyumas, Jawa Tengah.

Melewati 6 Kabupaten, Bandung, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Cilacap, dan Banyumas, Jawa Tengah. 

Kejanggalan ketiga, sang Kolonel sesungguhnya tidak bersalah karena ia bukan yang mengendarai mobil. Yang bertanggung jawab atas kendaraan adalah sang pengemudi. 

Dan sang pengemudi pun bahkan bisa bebas dari segala perkara, karena bisa jadi kecelakaan merupakan kesalahan pemotor, atau kecelakaan yang diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Tapi janggalnya, Sang Kolonel menempuh jalan lain!

Ada Kesalahan Lain yang Hendak Ditutupi Sang Kolonel?

Atas pertanyaan-pertanyaan ini, saya tanyakan langsung kepada Kepala Oditurat Militer Tinggi-II, Brigadir Jenderal (TNI) Edy Imran. Oditurat Militer Tinggi, jika dilingkup penegakan hukum sipil, adalah Kejaksaan Tinggi. Oditurat Militer Tinggi, adalah institusi penegak hukum militer yang melakukan penuntutan kasus hukum pada oknum TNI berpangkat Mayor ke atas.

"Motifnya sejauh ini, karena panik, sehingga Kolonel P, memerintahkan kedua bawahannya untuk membuang kedua korban!" kata Brigjen Edy.

"Saya kemudian bertanya, jika panik, apakah mungkin bisa bertahan hingga 5 jam dengan mengendarai mobil lebih dari 200 kilometer, dan melewati banyak sekali fasilitas kesehatan di 6 kabupaten. Apakah mungkin ada kesalahan lain yang hendak ditutupi oleh tersangka sang Kolonel dari perjalanannya ini?" tanya saya yang lengkapnya akan tayang di Program AIMAN, KompasTV, yang kini tayang setiap Senin pukul 20.30 WIB.

"Sejauh ini, kami tidak menemukan adanya motif lain, (selain membuang mayat karena panik), tetapi jika ada kemungkinan lain yang terungkap dipersidangan, kami terbuka!" jawab Brigjen Edy.

Sidang sendiri akan dilangsungkan dengan terbuka dan bebas untuk diliput wartawan. Selain itu keluarga para korban, atas kebijakan Panglima TNI akan dihadirkan di persidangan, agar sekaligus bisa menjadi persidangan yang transparan bagi publik.

Apresiasi tinggi untuk kecepatan respons jajaran TNI atas kasus yang melibatkan anggotanya. Meski terbersit harapan untuk bisa menjawab seluruh pertanyaan kejanggalan dari hasil sidang pengadilan yang akan segera digelar. 

 

Saya Aiman Witjaksono...

 

Salam!

Penulis : Desy-Afrianti

Sumber : Kompas TV


TERBARU