> >

Pak Haji, Toilet, dan Korupsi

Sosial | 18 Februari 2020, 10:41 WIB
(Sumber: Istimewa)

Oleh Trias Kuncahyono

Ia biasa dipanggil “Pak Haji,” oleh kami teman-temannya sekantor. Sebab, ia memang seorang haji.

Kami mulai berkenalan sekitar tahu 1983-an, sejak sama-sama mengawali pekerjaan. Sama-sama dari daerah dan bekerja di ibu kota negara, yang bisa membuat orang tidak peduli orang lain.

Kami, sama-sama gagap hidup di kota besar. Makhlum, orang daerah. 

Dulu di kantor, kami sering mojok, ngobrol berdua, ngobrol tentang banyak hal, yang mungkin bagi teman-teman yang sudah lama di Jakarta, obrolan kami tidak bermutu. Tetapi, bagi kami sangat bermanfaat.

Obrolan yang menguatkan perjalanan hidup kami di Jakarta. Dan, pertemuan di pojok kantor itulah yang membuat hubungan kami begitu dekat. Kami bersahabat dekat.

Pak Haji, orang yang sangat sederhana, baik dari perilaku, tutur kata, maupun penampilannya. Tetapi dari kesederhanaannya itu memancar keluhuran budinya.

Tidak ada kata-kata yang bernada dengki dan iri, cemburu, sakit hati, dendam, dan juga bernada maupun bermakna meremehkan orang lain, keluar dari mulutnya atau dari bahasa tubuhnya.

Ia memiliki semangat compassion, bela rasa yang sangat tinggi. Semangat solider pada teman, pada orang yang tersisihkan, orang kecil. Itu bagian dari ibadah yang dijalankan Pak Haji.

Dalam bahasa Rabi’ah al-Adiwiyah (713/717-801), seorang perempuan sufi kelahiran Bashrah, Irak, orang beribadah tidak mengharapkan pahala surga ataupun karena takut siksa neraka.

Karena itu, Rabi’ah al-Adiwiyah mengritik serta mengoreksi orang-orang yang beribadah atas dasar raja’ (mengharap pahala) dan khauf (takut siksa neraka). Pak Haji, tidak demikian.

Baca Juga Tulisan Trias Kuncahyono di sini

Yang juga menarik, Pak Haji selalu punya pikiran-pikiran atau pendapat-pendapat yang tak terduga; kata orang, out of the box dan genuine, yang tidak dipikirkan orang lain.

Suatu hari, pada tahun 2000. Pak Haji mengatakan, “Mas saya membuat bisnis toilet.” Hah??

“Sebenarnya bukan bisnis murni,” katanya lagi. “Setiap hari, dalam perjalanan pergi dan pulang kantor, melewati jalan macet, dekat pintu tol.

Saya tahu, di tengah jalan yang macet itu banyak orang kebelet kencing atau  atau bahkan untuk kebutuhan lain. Toilet tidak ada.

Nah, itulah yang mendorong saya membuat toilet umum, kerja sama dengan penduduk kampung.

Laku, Mas. Tetapi, setelah setahun  lebih sedikit, ‘bisnis’ itu saya tinggalkan, dan saya serahkan pada pemilik tanah.” 

Itulah, Pak Haji. Mula-mula, hatinya tergerak oleh kepedulian untuk membantu orang lain; dan akhirnya setelah berjalan lancar kepeduliaan pada orang lain lah yang mendorongnya untuk meninggalkan “bisnis” itu lalu menyerahkan begitu saja kepada orang lain.

Membantu orang lain adalah motivasi utama Pak Haji. Bukan untuk mencari untung. Itulah compassion.

Cerita “bisnis” toilet Pak Haji itu mengingatkan akan kisah tentang Kaisar Roma Vespasianus Agustus atau Kaisar Vespasian, berkuasa antara tahun 69-79, yang juga berurusan dengan toilet.

Suatu hari, Titus, komandan tertinggi dalam Perang Yahudi, yang juga anak Vespasian memrotes kebijakannya memajaki urine, air kencing. 

Diprotes Titus,  Kaisar Vespasian, mengambil sekeping mata uang terbuat dari emas dan bertanya kepada Titus, “Sciscitans num odore offenderetur (apakah Titus merasa terganggu memegang mata uang emas itu karena baunya).”

Ketika Titus menjawab, “Tidak”, Vespasian mengatakan, “Atqui ex lotio est(tetapi ini berasal dari urine).”

Saat itulah, menurut Suetonius, seorang sejarahwan Romawi, muncul frasa pecunia non olet (uang tidak bau).

Penulis : Alexander-Wibisono

Sumber : Kompas TV


TERBARU