> >

Marak Pembajakan Akun Medsos, Siapa yang Meretas Demokrasi Kita?

Catatan jurnalis | 30 Agustus 2020, 08:00 WIB
Ilustrasi peretasan oleh hacker. (Sumber: Pixabay)

Oleh: Mustakim

Berbagai peretasan akun media sosial terjadi. Korbannya beragam, mulai dari aktivis hingga jurnalis dari lembaga hingga media massa. 

Awalnya Pandu Riono. Akun Twitter epidemiolog asal Universitas Indonesia (UI) ini diretas. Muncul postingan ‘aneh-aneh’ di akun media sosial pakar kesehatan masyarakat yang kritis terhadap penanganan Covid-19 ini.

Kuat dugaan, peretasan ini terkait cuitan Pandu perihal obat Covid-19 temuan Universitas Airlangga, BIN dan TNI AD. Pasalnya, sebelum akunnya dibajak, Pandu menulis cuitan yang mengkritik klaim temuan obat Covid-19 tersebut.

Baca Juga: Hacker China Ternyata Berusaha Retas Jaringan Komputer Vatikan

Kasus serupa juga dialami sejumlah media. Laman berita nasional pada Tempo.co diretas. Tirto.id juga mengalami hal yang sama.

Sejumlah berita di portal ini tiba-tiba tak bisa diakses. Bahkan ada beberapa artikel yang diubah tanpa sepengetahuan dan seizin redaksi.

Sebelum peretasan terjadi, Koran Tempo dan Tempo.co rajin menulis dan mengkritik soal penggunaan influencer untuk kampanye Omnibus Law. Sementara, sebagian artikel yang diretas pada laman Tirto.id adalah pemberitaan mengenai obat Covid-19 temuan Unair, BIN dan TNI.

Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) juga mengalami hal yang sama. Situs lembaga yang concern pada isu pelayanan kesehatan di Indonesia ini dibajak sehingga banyak dokumen yang diterbitkan hilang. Sebelumnya, lembaga ini aktif mengkritis penanganan Covid-19 di Tanah Air.

Baca Juga: 1.300 Akun Lembaga Pemerintah Di-Hack, Pelaku Minta Uang Tebusan Jutaan Rupiah

Bak Cendawan di Musim Hujan

Kasus yang menimpa Pandu, Tempo.co, Tirto.id, dan CISDI bukan yang pertama. Sebelumnya, serangan digital juga marak terjadi. Korbannya beragam. Tak hanya media massa dan lembaga, akun media sosial milik aktivis yang kritis juga dibajak.

Ravio Patra misalnya. WhatsApp aktivis yang secara terbuka mengkritik kekurangan transparansi data tentang pasien Covid-19 ini diretas. Akun media sosial Ketua Aliansi Jurnalis Independen Kota Bandar Lampung, Hendry Sihaloho, juga sempat diretas.

Hal itu terjadi saat ia mendampingi panitia diskusi Unit Kegiatan Mahasiswa Teknokra Universitas Lampung atau Unila yang mendapatkan teror karena hendak menggelar diskusi soal Papua.

SAFEnet mencatat, ada sekitar 36 kasus teror digital yang terjadi sepanjang September 2019 hingga Agustus 2020. Serangan digital ini menyasar media massa, pakar, akademisi, jurnalis, hingga aktivis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah.

Baca Juga: Demokrasi Diretas? Tren Politik atau Residu Demokrasi ?- SATU MEJA THE FORUM (Bag 4)

SAFEnet menyatakan serangan digital tersebut terarah dan sistematis. Artinya ada upaya terus menerus untuk menyusup dan menginfiltrasi perangkan dan infrastruktur jaringan dari individu, kelompok, organisasi dan komunitas tertentu.

Ancaman digital yang terarah dan sistematis ini bukan seperti spam atau penipuan finansial biasa yang mungkin ditemui secara acak di Internet. Sebaliknya, ancaman digital tenis ini berfokus pada target tertentu, yakni kelompok berisiko seperti jurnalis, akademisi, aktivis mahasiswa, pembela HAM, pejuang masyarakat adat, aktivis lingkungan juga aktivis anti korupsi.

Meretas Demokrasi

Maraknya kasus peretasan ini sangat memprihatinkan. Sebab aksi ‘represi kebebasan berekpresi’ ini terjadi di era reformasi, era di mana demokrasi seharusnya dijunjung tinggi. Aksi peretasan ini tak bisa dianggap main-main dan disikapi setengah hati.

Serangan siber yang menimpa pakar, akademisi, aktivis, media massa dan jurnalis ini mengancam nasib demokrasi. Pasalnya, hal ini melanggar kebebasan berekspresi, hak berpendapat dan bisa dianggap sebagai bentuk pembungkaman terhadap kritik.

Padahal, kritik dan kebebasan berekspresi adalah unsur penting dalam demokrasi. Kritik merupakan implementasi adanya pengawasan terhadap kekuasaan. Kritik juga menjadi penanda partisipasi publik dalam proses pengambilan kebijakan.

Baca Juga: Deklarasi Desa Sadar Demokrasi

Jadi, kritik adalah sebuah keniscayaan bagi negara yang menganut sistem demokrasi. Karena sistem ini menjanjikan kesehatan berpikir, kesehatan berperilaku sosial maupun berpolitik.

Sayangnya, kasus-kasus tersebut sejauh ini tidak pernah diusut tuntas guna menemukan siapa pelakunya. Padahal aksi serangan siber ini melanggar kebebasan berpendapat, kebebasan pers, kebebasan akademik, dan kebebasan ekspresi yang pada akhirnya akan mengebiri demokrasi.

Untuk itu, pemerintah dan aparat penegak hukum harus serius mengusut kasus ini secara transparan dan akuntabel. Semua pelaku peretasan harus ditangkap, diproses dengan adil dan dihukum sesuai undang-undang.

Baca Juga: Peretasan Ujian Bagi Demokrasi ? - SATU MEJA THE FORUM (Bag 2)

Pasalnya, aksi peretasan ini tak hanya mengancam keberlangsungan demokrasi, tetapi juga melanggar hak asasi manusia (HAM). Negara harus menjamin bahwa hak kebebasan berpendapat, berekspresi dan menyampaikan informasi dilindungi. Demi menjaga demokrasi yang sudah disepakati menjadi sistem politik di negeri ini. 

#MediaSosial #Hacker #Demokrasi

Penulis : Desy-Hartini

Sumber : Kompas TV


TERBARU