> >

Perempuan Lajang Tunisia Tuntut Hak untuk Bekukan Sel Telur, Picu Perdebatan Publik

Kompas dunia | 1 Maret 2022, 20:36 WIB
Di bawah undang-undang Tunisia yang berlaku, perempuan lajang tidak dapat membekukan sel telur mereka kecuali sedang menjalani perawatan medis yang dapat "memengaruhi kemampuan mereka untuk memiliki keturunan."  (Sumber: France24/Fethi Belaid)

TUNIS, KOMPAS.TV – Seorang biduan perempuan Tunisia mengumumkan, dia akan membekukan sel telurnya dengan harapan akan menjadi seorang ibu, dan hal itu langsung memicu perdebatan sengit tentang hak-hak reproduksi perempuan di Tunisia yang terletak di Afrika Utara itu, seperti laporan France24, Selasa (1/3/2022).

Sang penyanyi, Nermine Sfar, 31 tahun, mengimbau hampir satu juta pengikut Instagramnya untuk mendorong kaum perempuan lain yang sedang belajar dan mengejar karir untuk membekukan telur mereka dan mempertahankan "impian menjadi seorang ibu".

Di bawah hukum Tunisia, perempuan lajang hanya dapat membekukan sel telur karena alasan medis, atau sedang menjalani perawatan medis, seperti kemoterapi, "yang dapat memengaruhi kemampuan mereka untuk memiliki keturunan".

Teknik ini memungkinkan perempuan untuk mengekstrak sel telur, membekukan dan menyimpannya dengan aman dalam nitrogen cair, sehingga perempuan tersebut berpotensi hamil bertahun-tahun kemudian.

Di bawah undang-undang negara tahun 2001, sel telur disimpan selama lima tahun dan dapat diperbarui atas permintaan pasien.

Namun undang-undang Tunisia melarang perempuan lajang membekukan sel telur untuk menunda kehamilan karena alasan sosial atau karier.

Menurut tim Sfar, penyanyi tersebut tidak memenuhi kriteria hukum di Tunisia dan karena itu tidak dapat mengakses prosedur tersebut, bersama dengan banyak perempuan lajang lainnya di negara tersebut.

Postingan Sfar menghidupkan kembali diskursus publik tentang amandemen undang-undang tersebut, setelah pertanyaan tentang pembekuan sel telur perempuan menjadi tidak penting karena krisis ekonomi dan politik yang mendalam di Tunisia sejak pemberontakan tahun 2011.

Tetapi yang lain mengatakan sudah waktunya untuk mengubah undang-undang sehingga memungkinkan lebih banyak perempuan untuk mendapatkan keuntungan dari teknik tersebut, di negara yang sering dilihat sebagai pelopor hak-hak gender di dunia Arab itu.

"Di Tunisia, sayangnya ada otak dan hukum yang membeku," tulis seorang pengguna media sosial.

Baca Juga: Jual Empat Anaknya, Perempuan di Tunisia Dijerat dengan UU Perdagangan Manusia

Ahli biologi medis yang juga asisten profesor Khadija Kacem Berejeb di rumah sakit Aziza Othmana di Tunis dengan menggunakan mikroskop sedang mengerjakan oosit sebelum membekukannya, prosedur yang memicu perdebatan di negara Afrika Utara itu. (Sumber: France24/Fethi Belaid)

'Tidak ada logika'

Nayma Chermiti, seorang jurnalis televisi, mempertimbangkan untuk menjalani prosedur tersebut selama dua tahun, tetapi mengatakan hukum menghalanginya.

"Saya tidak melihat logika apa pun dalam undang-undang ini," kata wartawan berusia 40 tahun itu kepada AFP seperti dikutip France24.

"(Undang-undang) itu mengesampingkan perempuan lajang yang sehat, yang bekerja, dan atau yang mengalami kendala keuangan sehingga menunda untuk menikah atau memiliki anak."

Nayma juga mengkritik masyarakat sipil karena gagal mendorong parlemen untuk mengubah undang-undang pra-revolusi yang "tidak sesuai dengan evolusi perempuan dan tanggung jawab mereka".

Dokter Fethi Zhiwa, kepala klinik kesuburan di rumah sakit Aziza Othmana di Tunis mengatakan, perempuan lajang muda bertanya "hampir setiap hari" tentang pembekuan sel telur mereka.

"Ini melonjak dalam lima tahun terakhir karena evolusi sosial di Tunisia, di mana rata-rata usia pernikahan perempuan sekarang adalah 33 tahun," katanya.

Baca Juga: Hukum Egg Freezing atau Pembekuan Sel Telur dalam Islam

Pembekuan sel telur oleh perempuan lajang kembali menjadi perbincangan di Tunisia. Di bawah undang-undang Tunisia yang berlaku, perempuan lajang tidak dapat membekukan sel telur mereka kecuali sedang menjalani perawatan medis yang dapat "memengaruhi kemampuan mereka untuk memiliki keturunan." (Sumber: Healthline)

Itu menghadirkan "masalah nyata", tambah Dokter Fethi, "Ada perbedaan antara usia biologis yang mengendalikan usia reproduksi, dan usia sosial yang mengendalikan evolusi karier," katanya.

Dokter Fethi mengatakan sejak 2014 sekitar 80 persen dari hampir 1.000 perempuan yang membekukan sel telur mereka di pusat itu, masih lajang.

Dokter itu terlibat dalam penyusunan undang-undang pada tahun 2001, 15 tahun setelah kelahiran manusia pertama dari telur yang dibekukan.

Dia mengatakan, mengubah undang-undang itu sebenarnya sederhana, “Perlu ada kemauan politik, terutama karena tidak ada keberatan dari ulama,” katanya.

"Yang mereka pedulikan hanyalah memastikan tidak ada pertukaran atau sumbangan gamet (telur atau sperma)."

Baca Juga: Luna Maya Bekukan Sel Telur karena Alasan Kesehatan, Berapa Biayanya?

Pembekuan sel telur oleh perempuan lajang kembali menjadi perbincangan di Tunisia. Di bawah undang-undang Tunisia yang berlaku, perempuan lajang tidak dapat membekukan sel telur mereka kecuali sedang menjalani perawatan medis yang dapat "memengaruhi kemampuan mereka untuk memiliki keturunan."  (Sumber: kompas.com)

Masyarakat sipil 'terganggu'

Zhiwa mengatakan undang-undang itu adalah "korban dari keinginan untuk menjadi yang terdepan", karena ketika dirancang, undang-undang itu dipandang lebih unggul dari negara-negara tetangga.

Maroko menunggu hingga 2019 untuk mengadopsi undang-undang tentang reproduksi yang dibantu secara medis, dan hanya untuk pasangan yang sudah menikah.

Namun kerajaan mengizinkan perempuan lajang untuk membekukan sel telur mereka ketika mereka menderita kondisi seperti kanker, kata Jamal Fikri dari Moroccan College of Fertility.

Di Aljazair, hanya perempuan yang sudah menikah boleh memiliki akses ke layanan tersebut, sementara di Libya, dokter mengatakan perawatan kesuburan tidak ada sama sekali.

Untuk aktivis hak-hak perempuan Tunisia, Yosra Frawes, pengumuman Sfar "mendemokratisasi topik yang dulu jarang dibahas di Tunisia, karena masyarakat sipil terganggu oleh isu-isu lain".

"Berkat media sosial, perempuan memiliki lebih banyak kebebasan berbicara," kata Frawes, seraya menekankan, "Hal-hal yang dulunya tabu sekarang dibicarakan secara terbuka."

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Kompas TV/France24


TERBARU