> >

Mengulik Sikap Keras ASEAN Depak Pemimpin Junta Militer Myanmar dari KTT

Kompas dunia | 19 Oktober 2021, 14:51 WIB
Panglima Tertinggi Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing memimpin parade tentara pada Hari Angkatan Bersenjata di Naypyitaw, Myanmar, Sabtu, 27 Maret 2021. (Sumber: AP Photo)

YANGON, KOMPAS.TV - Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Singapura mendorong sikap lebih keras terhadap pemimpin junta Myanmar Min Aung Hlaing pada pertemuan "menegangkan" yang memutuskan untuk mengecualikan pemimpin junta militer itu dari KTT regional bulan ini. Demikian diungkapkan empat sumber yang mengetahui pembicaraan tersebut seperti dilansir Straits Times, Selasa, (19/10/2021).

Para menteri luar negeri ASEAN terbelah antara berpegang teguh pada tradisi non-intervensi, dan kebutuhan ASEAN untuk mempertahankan kredibilitas dengan memberikan sanksi kepada pemimpin kudeta, yang memimpin tindakan keras berdarah terhadap perbedaan pendapat sejak merebut kekuasaan dari pemerintah sipil Myanmar pada 1 Februari, kata sumber tersebut.

Akhirnya ketua ASEAN saat ini, Brunei Darussalam, dengan dukungan mayoritas, memilih untuk mencegah Min Aung Hlaing menghadiri KTT virtual para pemimpin ASEAN yang digelar pada 26-28 Oktober. Sebaliknya memutuskan untuk mengundang "perwakilan non-politik" dari Myanmar.

Keputusan itu melanggar kebijakan keterlibatan atau engagement dan non-intervensi ASEAN selama puluhan tahun dalam urusan dalam negeri negara-negara anggota.

"Suasana dalam pertemuan tidak pernah lebih tegang (dari pertemuan menlu ASEAN tersebut)," kata salah satu sumber.

"Jika Anda bertanya kepada saya apakah ASEAN akan melakukan hal seperti ini setahun yang lalu, saya akan mengatakan itu tidak akan pernah terjadi," kata seorang diplomat. "ASEAN sedang berubah."

Baca Juga: Myanmar Nyatakan Tetap Berkomitmen Pada Peta Jalan ASEAN, Namun Ada yang Tidak Bisa Dinegosiasikan

Menteri luar negeri Indonesia Retno Marsudi usai bertemu menlu Malaysia Senin, (18/10/2021) mengatakan ASEAN ingin memberi ruang bagi Myanmar untuk memulihkan demokrasinya, terkait alasan tidak mengundang pemimpin junta Myanmar dalam KTT ASEAN mendatang.

Keputusan untuk tidak mengikutsertakan pemimpin junta Myanmar dalam KTT ASEAN pada 26-28 Oktober 2021, kata Retno, juga didasarkan pada penghormatan terhadap prinsip non-intervensi dan prinsip lain dalam Piagam ASEAN seperti demokrasi, pemerintahan yang baik, penghormatan HAM, dan pemerintahan yang konstitusional.

“Guna memberikan ruang bagi Myanmar untuk mengembalikan demokrasi melalui proses politik yang inklusif, maka untuk KTT ASEAN mendatang, hanya akan mengundang wakil (Myanmar) pada level non-politis,” ujar Retno ketika menyampaikan pernyataan pers bersama dengan Menlu Malaysia Saifuddin Abdullah secara virtual pada Senin.

Padahal pada April lalu, pemimpin junta Min Aung Hlaing turut menyepakati Konsensus Lima Poin yang berisi panduan untuk membantu penyelesaian krisis politik yang dipicu kudeta militer terhadap pemerintahan terpilih Myanmar.

“Tidak terdapat perkembangan signifikan dalam implementasi Five-Point Consensus. Upaya kita sebagai satu keluarga (ASEAN) tidak mendapatkan respon yang baik dari militer Myanmar,” tutur Retno.

Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan mengatakan di Twitter, hasil pertemuan itu adalah "keputusan yang sulit tetapi perlu untuk menegakkan kredibilitas Asean".

Menteri Luar Negeri Filipina Teodoro Locsin mengatakan sebelum pertemuan bahwa blok tersebut tidak dapat lagi mengambil sikap netral terhadap Myanmar, jika mengalah, "kredibilitas kami sebagai organisasi regional yang nyata menghilang... Kami hanyalah sekelompok orang yang selalu setuju satu sama lain pada hal-hal yang tidak berharga".

Baca Juga: Junta Militer Myanmar Janjikan Pembebasan Lebih dari 5.000 Tahanan Pengunjuk Rasa Penentang Kudeta

Para keluarga dari pengunjuk rasa yang menunggu kerabat mereka setelah dibebaskan dari tahanan oleh junta Myanmar. (Sumber: AFP)

Tekanan internasional meningkat terhadap ASEAN untuk mengambil garis lebih keras terhadap kegagalan Myanmar menindaklanjuti kesepakatan mengakhiri kekerasan, memungkinkan akses kemanusiaan dan memulai dialog dengan lawan-lawan junta militer.

Sejak menggulingkan pemerintah Aung San Suu Kyi, junta militer Myanmar membunuh lebih dari 1.000 orang dan menangkap ribuan orang dalam upaya untuk menghancurkan perlawanan, kata kelompok pemantau Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik.

Dalam pidato yang disiarkan televisi pada Senin (18/10/2021), Jenderal Min Aung Hlaing membuat pernyataan pertamanya sejak penghinaan itu. 

Jenderal Min Aung Hlaing membela tindakan militer tersebut, dengan mengatakan  pihaknya berusaha memulihkan ketertiban dan ASEAN harus memperhatikan kekerasan yang dilakukan oleh lawan-lawannya, ujardia sebelum mengumumkan amnesti bagi ribuan tahanan politik.

Selama beberapa dekade, militer Myanmar menjadi masalah pelik ASEAN, karena junta sebelumnya juga dikecam karena brutal menghancurkan gerakan pro-demokrasi.

Keputusan hari Jumat itu diambil setelah gagalnya upaya diplomasi berbulan-bulan terkait rencana kunjungan utusan khusus ASEAN Erywan Yusof ke Myanmar yang dalam agendanya termasuk menemui pemimpin terguling, Aung San Suu Kyi. 

Junta militer menolak permintaan tersebut dengan alasan Suu Kyi sedang menghadapi tuduhan kriminal, selain itu kunjungan tersebut akan melanggar undang-undang kerahasiaan negara.

Baca Juga: Pemimpin Junta Militer Myanmar Marah Tak Diundang dalam KTT ASEAN, Tegaskan Keberatannya

Unjuk rasa di Myanmar bulan Mei 2021, menggemakan ajakan Revolusi Musim Semi di negara itu (Sumber: KACHINWAVES/AFP via France 24)

Indonesia, Malaysia dan Singapura pertama kali melontarkan gagasan untuk mengesampingkan pemimpin junta pada pertemuan menteri luar negeri ASEAN bulan ini, kata diplomat regional itu, sebagai taktik untuk mendapatkan akses ke Suu Kyi, yang ditahan di lokasi yang tidak diketahui.

Dua sumber mengatakan ada kekhawatiran bahwa kehadiran Jenderal Min Aung Hlaing akan menghalangi para pemimpin global lainnya untuk menghadiri KTT Asia Timur yang lebih besar, yang diadakan beberapa hari setelah KTT ASEAN.

Pekan lalu, Sekjen PBB Antonio Guterres menunda pertemuan online dengan para menteri luar negeri ASEAN untuk menghindari berada di ruang online yang sama dengan perwakilan militer Myanmar.

“Ancaman untuk melepaskan diri tidak dibuat secara eksplisit, tetapi ada kecemasan di pihak negara-negara anggota bahwa hal itu akan mulai mempengaruhi kredibilitas ASEAN dalam arti yang lebih luas,” kata Aaron Connelly, seorang peneliti Asia Tenggara di Institut Internasional untuk Studi Strategis.

Para pemimpin regional pada hari Jumat membahas permintaan untuk menghadiri pertemuan puncak dari pemerintah sipil paralel Myanmar, Pemerintah Persatuan Nasional, lawan dari junta militer, yang menurut dua orang sumber telah melakukan pembicaraan diam-diam di antaranya dilaporkan dengan Indonesia dan beberapa negara lain, tetapi terhenti.

Pemilihan "perwakilan non-politik" sekarang jatuh ke junta, yang kemungkinan akan memilih seseorang yang dianggap relatif netral tetapi terikat dengan rezim, kata tiga orang sumber yang tidak bersedia disebutkan namanya.

Namun keputusan untuk mengesampingkan Jenderal Min Aung Hlaing merupakan "sanksi paling berat yang pernah diberikan oleh organisasi tersebut kepada negara anggota ASEAN," kata Connelly.

Orang-orang di seluruh wilayah telah "kehilangan kepercayaan dan harapan pada mekanisme ASEAN untuk melindungi anggota komunitasnya sendiri," kata Fuadi Pitsuwan, seorang peneliti di Sekolah Kebijakan Publik Universitas Chiang Mai.

Mungkin sudah waktunya untuk "mengevaluasi kembali" prinsip non-interferensi, tambah Fuadi. "Mari kita lihat apakah ini akan memulai putaran lain dari musyawarah eksistensial ini dan apakah itu akan berakhir secara berbeda."

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Kompas TV/Straits Times


TERBARU