Kompas TV nasional berita kompas tv

Kisah Lengkap Pembobolan BNI Rp1,7 Triliun oleh Maria Pauline Lumowa, Uang Mengalir ke-10 Perusahaan

Kompas.tv - 11 Juli 2020, 05:00 WIB
kisah-lengkap-pembobolan-bni-rp1-7-triliun-oleh-maria-pauline-lumowa-uang-mengalir-ke-10-perusahaan
Tersangka pembobolan BNI senilai Rp 1,7 triliun, Maria Pauline Lumowa, ditangkap di Serbia setelah 17 tahun buron, Rabu (8/7/2020). (Sumber: Kemenkumham for KOMPAS TV)
Penulis : Tito Dirhantoro

JAKARTA, KOMPAS TV - Maria Pauline Lumowa, tersangka kasus pembobolan bank BNI senilai Rp 1,7 triliun berhasil ditangkap setelah 17 tahun lamanya buron atau melarikan diri. 

Maria kini harus mengakhiri pelariannya setelah dicokok pulang ke Tanah Air oleh Kementerian Hukum dan HAM lewat jalur ekstradisi dari Serbia pada Kamis (9/7).

Wanita kelahiran Paleloan, Sulawesi Utara, 27 Juli 1958 itu merupakan salah satu tersangka pembobolan dana Bank BNI cabang Kebayoran Baru dengan modus pengajuan Letter of Credit (L/C) fiktif.

Jika membuka jejak kasus pembobolan Bank BNI Rp 1,7 triliun ini oleh Maria Pauline Lumowa dan kawan-kawannya, tampak sejak awal pengucuran fasilitas letter of credit alias L/C senilai US$ 157,4 juta dan 56,1 juta euro ini penuh kejanggalan.

Bukan cuma proses pengajuan yang menerabas prosedur normal. Penelitian terhadap berkas-berkas pengajuan L/C  Rp 1,7 triliun oleh Maria Pauline banyak bolongnya.

Hasil tim audit BNI yang bekerja sejak awal Agustus 2003 saat itu membuktikan kejanggalan tersebut.

Misalnya, bank penerbit L/C-Dubai Bank Kenya Ltd, Rosbank Switzerland SA, Middle East Bank Kenya, The Wall Street Banking Corp.-bukan termasuk bank koresponden BNI.

Tapi, BNI saat itu terkesan mengabaikannya karena tidak memverifikasi keabsahan dokumen pengapalan atau bill of loading (B/L). 

Contohnya, jumlah barang pengiriman pasir kuarsa dan minyak residu yang tidak wajar. Dalam sebuah formulir tertulis, bobot seberat 1,5 juta metrik ton pasir, tapi yang diangkut cuma dengan satu kapal.

Pelabuhan yang dituju pun tak disebutkan pasti, alamat tujuan pengiriman barang juga tak jelas. Yang diketahui cuma B/L dikeluarkan oleh PT Celebes Jaya Lines.

Uniknya, L/C yang jatuh tempo dilunasi dengan uang yang didebet atau ditransfer dari rekening nasabah. 

Padahal, seharusnya Bank BNI menagih ke bank penerbit L/C dan transfer dilakukan bank tersebut. BNI tampaknya menganggap wajar hal itu.

Bank BNI tak pernah mengajukan keberatan atas pembayaran ini. Lebih aneh lagi, ada beberapa wesel ekspor berjangka yang belum jatuh tempo malah sudah dimintakan perpanjangan sampai enam bulan.

Keterlibatan Orang Dalam

Kalau tidak dimuluskan oleh orang dalam BNI sendiri, hampir tak mungkin segala keanehan itu bisa berlangsung dari Desember 2002 sampai Juli 2003.

Seiring waktu, kejanggalan baru diketahui oleh bagian treasury BNI pada Juni 2003. Itu setelah ditemukan peningkatan angka kewajiban dalam mata uang euro di atas tingkat rata-rata. Mendapat laporan itu, tim audit BNI segera diturunkan.

Hasilnya, ditemukan kejanggalan seperti diterangkan di atas. Temuan tim audit tersebut lantas bocor ke publik yang kemudian menjadi skandal pembobolan Bank BNI sebesar Rp 1,7 triliun dengan L/C fiktif.

Dugaan L/C fiktif ini oleh BNI kemudian dilaporkan ke Mabes Polri, namun Maria Pauline Lumowa sudah lebih dulu terbang ke Singapura pada September 2003, sebulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh tim khusus yang dibentuk Mabes Polri.

Banyak pertanyaan yang mengganjal atas pembobolan Rp 1,7 triliun lewat L/C fiktif yang dilakukan oleh Maria Pauline cs itu. Salah satunya, kenapa duit sebesar itu mudah keluar hanya dengan L/C tak jelas.

Hasil Tim Audit BNI kala itu juga menemukan fakta yang membuat publik saat itu terhenyak. Duit itu ternyata bukan diperuntukkan perdagangan pasir dan minyak. 

Malah, 10 perusahaan yang terlibat dalam pembobolan Bank BNI senilai Rp 1,7 triliun itu mentransfer dana ke beberapa rekening.

Salah satunya ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk membayar aset PPAK. Dana juga lari ke PT Bukaka Marga Utama untuk membeli konsesi proyek jalan tol Ciawi-Sukabumi. Ironisnya, US$ 50,9 juta (Rp 433 miliar) di antaranya dipakai melunasi L/C ke BNI.

Salah satu langkah yang diusahakan saat itu untuk mengurangi risiko kerugian itu adalah memblokir rekening beberapa perusahaan dan perorangan yang diduga kecipratan aliran duit L/C itu.

Pihak BNI juga berusaha mendekati Maria Pauline Lumowa alis Eri dan Adrian Waworuntu sebagai penjamin duit untuk tetap mengembalikan sisa uang yang paling akhir jatuh tempo April 2004 lalu. 

Polisi saat itu berhasil menyita uang tunai US$ 238.000 dari tangan Edi Susanto, salah satu tersangka yang ditahan.

Beberapa perusahaan terkait kasus pembobolan dana Rp 1,7 triliun itu juga ditelisik. Lalu muncul nama perusahaan PT Gramarindo Mega Indonesia dan anak perusahaannya Triranu Caraka Pasifik. 

Pengelola Gramarindo antara lain Ollah Abdullah Agam, sedangkan Direktur Utama Triranu Caraka Pasifik adalah Jeffrey Baso.

Kasus itu juga  menyeret PT Brokolin Internasional. Bankir veteran Dicky Iskandar Dinata adalah Pimpinan Eksekutif Brokolin Internasional  juga menerima aliran dana dari Gramarindo.

Dicky dibekuk polisi pada Mei 2005. Dia dituduh melakukan pencucian uang dari hasil pembobolan BNI Cabang Kebayoran Baru melalui L/C fiktif itu.

Menariknya, tiga orang pemilik saham Brokolin juga pemilik Gramarindo, perusahaan yang disebut-sebut memperoleh dana Rp 1,7 triliun. Mereka adalah Pauline Maria Lumowa, Adrian Waworuntu, dan Jeffry Baso.

Dalam sidang kasus ini, Dicky mengaku tak mengetahui aliran dana dari L/C fiktif itu mengalir ke rekening perusahaannya. 

Bekas Wakil Dirut Bank Duta dan juga bekas narapidana kasus valuta asing--skandal Bank Duta mengaku diperdaya oleh pemegang saham PT Brocolin Internasional, yakni Maria Pauline Lumowa, Adrian Waworuntu, Jeffrey Baso. 

Mereka memasukkan dana yang dinyatakan berasal dari pencairan LC fiktif sebagai setoran modal pemegang saham perusahaan.

Atas kasus ini, pada 22 Februari 2005 silam Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan mengganjar mantan Dirut PT Brocolin International Dicky Iskandar Dinata dengan vonis 20 tahun penjara dan kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 800 miliar.

Dicky terbukti melakukan korupsi pada pembobolan dana Bank BNI. Pada 28 November 2015, Dicky meninggal di Rumahsakit Pertamina. Tak jelas, apakah negara sudah menagih kewajiban Dicky atas vonis pengadilan untuk pembayaran Rp 800 miliar atas L/C fiktif itu ke Dicky.

Menyeret Berbagai Pihak 

Catatan KONTAN, dari kasus tersebut, Adrian Herling Waworuntu menjadi koruptor di Indonesia yang dijatuhi hukuman paling lama yaitu penjara seumur hidup atas kasus pembobolan BNI lewat L/C fiktif sebesar Rp 1,7 triliun ini.

Dengan hukuman ini, Adrian harus mendekam di balik jeruji besi sampai meningal dunia. Pria kelahiran Tomohon, Sulawesi Utara, pada 26 Juni 1951 itu membobol BNI cabang Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada awal 2003 dengan bendera PT Sarana Bintan Jaya.

Adapun tersangka pembobolan Bank BNI melalui L/C fiktif lainnya Jeffrey Baso. Ia divonis 7 tahun penjara dengan denda Rp 200 juta.

Kasus pembobolan BNI juga turut menyeret mantan Direktur Kriminal Khusus Mabes Polri Brigadir Jenderal Samuel Ismoko. Ismoko telah dibebaskan dari tahanan pada Kamis, 8 Februari 2007.

Pembebasan Ismoko sesuai dengan keputusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang mengurangi hukuman Ismoko dari 18 bulan menjadi 13 bulan atau berkurang lima bulan.

Ismoko dihukum 18 bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada September 2003. Ketika itu dia dinyatakan terbukti melanggar pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena menerima uang Rp 250 juta dari Bank BNI.

Komjen Pol Suyitno Landung (2006) divonis 1 tahun 6 bulan penjara terkait kasus pembobolan Bank BNI. Menjadi tersangka pada 3 Juni 2005, Suyitno juga dinonaktifkan dari jabatan sebagai Kabareskrim dan hanya menyandang status Perwira Tinggi (Pati) Mabes Polri.

Selain Ismoko dan Suyitno Landung, kasus pembobolan BNI Rp 1,7 triliun itu juga menyeret Kepala Unit Tiga Serse Ekonomi Mabes Polri Komisaris Besar Polisi Irman Santoso.  Dalam kasus ini, Irman dijatuhi hukuman dua tahun delapan bulan penjara serta denda Rp 150 juta

Selain mereka, adik Marie Pauline Lumowa, yakni  Adrian Pendelaki Lumowa yang merupakan Dirut PT Magnetik Usaha Indonesia divonis 15 tahun penjara.

Lantas, ada Wayan Saputra Merupakan mantan Kepala Divisi Internasional BNI, telah divonis 5 tahun penjara. Aan Suryana yang merupakan Quality Assurance Divisi Kepatuhan Bank BNI Kantor Besar juga mendapatkan vonis 5 tahun penjara.

Sementara Edy Santoso Mantan Kepala Customer Service Luar Negeri BNI Kebayoran mendapatkan vonis penjara seumur hidup. Dan, Ollah Abdullah Agam, mantan Direktur PT Gramarindo Mega Indonesia, dengan vonis 15 tahun penjara.

Adapun Titik Pristiwati, mantan Dirut PT Bhinnekatama divonis 8 tahun penjara. Ada juga nama Richard Kountol, mantan Dirut PT Metranta, yang menerima vonis selama 8 tahun penjara. Lalu ada Aprilla Widhata Mantan Dirut PT Pantripros yang mendapatkan vonis 15 tahun penjara.

Dari  11 orang yang terlibat dalam kasus pembobolan BNI Rp 1,7 triliun, hanya Maria Pauline yang sukses melarikan diri, sebulan sebelum penetapan tersangka.  

Namun, kini, Maria Pauline Lumowa harus mengakhiri pelarian setelah 17 tahun menjadi buronan.

Jika melihat jejaknya, tahun 2009 tim khusus Mabes Polri mendapati keberadaan Maria Pauline Lumowa ada di Belanda. Maria juga sering bolak-balik Belanda-Singapura. 

Namun, upaya  menangkap Maria gagal karena statusnya yang juga tercatat berkewarganegaraan Belanda. Pemerintah Belanda saat itu menolak permintaan ekstradisi.

Perburuan terhadap Maria tak berhenti. Babak baru perburuan terjadi ketika Maria ditangkap oleh NCB Interpol Serbia di Bandara Internasional Nikola Tesla, Serbia, 16 Juli 2019. Penangkapan Maria berdasarkan red notice Interpol yang diterbitkan pada 22 Desember 2003.

Maria Pauline Lumowa memang harus mengakhiri pelariannya dan kembali ke Indonesia dan mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Tapi yang juga penting adalah menagih kembali kewajiban yang harus para koruptor itu kembalikan untuk mengurangi kerugian.

 

Artikel ini sebelumnya tela tayang di Kontan.co.id dengan judul Kronologi lengkap kasus Maria Pauline Lumowa, pembobol BNI Rp 1,7 triliun.



Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x