Kompas TV nasional kesehatan

Risiko Kematian akibat Kanker Tinggi, Kemenkes Dorong Masyarakat Deteksi Dini

Kompas.tv - 3 Februari 2023, 05:15 WIB
risiko-kematian-akibat-kanker-tinggi-kemenkes-dorong-masyarakat-deteksi-dini

Ilustrasi - Dalam upaya menekan risiko kematian akibat kanker, Kementerian Kesehatan mengingatkan pentingnya program deteksi dini. (Sumber: pixabay.com)

Penulis : Fransisca Natalia | Editor : Vyara Lestari

JAKARTA, KOMPAS.TV – Dalam upaya menekan risiko kematian akibat kanker, Kementerian Kesehatan mengingatkan pentingnya program deteksi dini.

Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu dalam hal ini menyampaikan, kanker payudara dan kanker serviks merupakan jenis kanker yang banyak terjadi di wilayah Indonesia.

“Pelaksanaan pemeriksaan berkala untuk mendeteksi kanker bisa menekan 30 sampai 40 persen risiko kematian akibat kanker, “ ujarnya dalam konferensi pers mengenai hari kanker sedunia 2023 secara daring, Kamis (2/2/2023).

Menurut data pemerintah, pada 2020 setidaknya ada 65.858 kasus kanker payudara dan 36.633 kasus kanker serviks.

Untuk mendeteksi dini kanker payudara, Maxi menjelaskan, pemerintah mengampanyekan pelaksanaan pemeriksaan rutin secara mandiri menggunakan metode periksa payudara sendiri atau Sadari setiap bulan.

Sadari dilakukan dengan meraba dan melihat perubahan spesifik pada bagian payudara, seperti adanya benjolan, penebalan kulit, perubahan ukuran payudara, hingga pembengkakan lengan atas.

Baca Juga: Ibu dari Satu Keluarga yang Tewas di Kalideres Ternyata Sempat Konsumsi Obat Kanker Payudara

Di samping itu, kanker payudara dapat dideteksi dini dengan menjalani pemeriksaan menggunakan alat ultrasonografi (USG) minimal satu tahun sekali atau menjalani pemeriksaan mamografi, pemeriksaan radiologi untuk melihat adanya kelainan yang mengarah pada kanker pada area payudara.

Layanan pemeriksaan USG sudah tersedia di puskesmas, sedangkan layanan mamografi bisa diakses di rumah sakit. Upaya deteksi dini kanker ini sangat penting mengingat penanganan penyakit dengan risiko kematian tinggi tersebut membutuhkan biaya besar.

Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu (Sumber: Youtube Kementerian Kesehatan)

Biaya penanganan kanker

Data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tahun 2020 menunjukkan bahwa penanganan pasien dengan penyakit kanker menghabiskan biaya hingga Rp3,5 triliun.

"Selain masalah biaya, kanker juga jadi masalah pada dampak sosial. Banyak pasien menjual hartanya untuk menanggung biaya," ungkap Maxi.

Adapun untuk menekan kematian akibat kanker, Kementerian Kesehatan menjalankan program deteksi dini kanker serviks menggunakan metode inspeksi visual asam asetat atau IVA pada perempuan berusia 30 sampai 50 tahun atau perempuan yang sudah pernah melakukan hubungan seksual.

Pemeriksaan menggunakan metode IVA dapat dilakukan setahun sekali untuk melihat kemungkinan ada tanda-tanda kanker pada leher rahim atau serviks.

Selain itu, Pap Smear atau pemeriksaan pap bisa dilakukan untuk mendeteksi kanker serviks sejak dini. Tes Pap Smear bisa dilakukan tiga tahun sekali hingga usia 65 tahun.

Kementerian Kesehatan tahun ini menguji penerapan metode deteksi kanker serviks melalui pemeriksaan HPV DNA, yakni prosedur untuk mendeteksi infeksi human papilloma virus atau HPV.

"Metode terbaru ini bisa menggunakan PCR yang kami miliki. Bulan ini kami uji coba di DKI Jakarta," kata Maxi.

Deteksi lambat bisa berakibat fatal

Sementara itu, ahli bedah onkologi Rumah Sakit Kanker Dharmais Rian Fabian Sofyan turut menegaskan, lambatnya pendeteksian terjadi saat rentang waktu sebelum masuk rumah sakit.

Jika dalam 12 bulan tanpa penanganan, status kanker payudara dapat berubah menjadi ganas. Kanker akan mulai menyebar pada bagian lain tubuh pasien hingga tak jarang membuat peluang hidup mereka semakin turun.

Penyebab lambatnya penanganan pasien kanker dipengaruhi sejumlah faktor. Menurut Rian, pasien, dokter, dan sistem bisa menjadi faktornya.

Pasien biasanya takut untuk memeriksakan kondisi kesehatan, bisa karena ketidakmampuan ekonomi, kurang pemahaman terkait kanker payudara, dan pengaruh lingkungan sosial.

Dokter umum juga bisa jadi kurang mendapatkan pendidikan tentang kanker sehingga rekomendasi penanganan lamban.

Sementara, sistem alur rujukan terbilang panjang, mulai dari fasilitas kesehatan (faskes) primer, lalu ke faskes tingkat dua, selanjutnya baru bisa menuju faskes tingkat tiga.

Alur rujukan yang panjang ini memperlambat pola penanganan pasien.


 

 

 



Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x