Kompas TV nasional sapa indonesia

YLKI Khawatir Standardisasi Kelas BPJS Kesehatan akan Diintervensi Penyedia Asuransi Komersial

Kompas.tv - 11 Juni 2022, 11:08 WIB
ylki-khawatir-standardisasi-kelas-bpjs-kesehatan-akan-diintervensi-penyedia-asuransi-komersial
YLKI mengkhawatirkan standardisasi kelas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan akan dimanfaatkan oleh penyedia asuransi kesehatan komersial. (Sumber: Tangkapan layar Kompas TV)
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana | Editor : Edy A. Putra

JAKARTA, KOMPAS.TV  - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengkhawatirkan standardisasi kelas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan akan dimanfaatkan oleh penyedia asuransi kesehatan komersial.

Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, pihaknya mengkhawatirkan sejumlah hal berkaitan dengan wacana standardisasi kelas tersebut.

Salah satunya, kekhawatiran soal adanya semacam formulasi untuk memancing asuransi komersial.

“Misalnya Pak Ghufron sebagai direktur utama nggak mau di kelas standard, nanti bisa naik kelas tapi harus tambah biaya dan kemudian di-cover oleh asuransi komersial,” jelas Tulus dalam dialog Sapa Indonesia Akhir Pekan Kompas TV, Sabtu (11/6/2022).

“Sehingga ini ada tengara kayak diintervensi oleh industri asuransi komersial untuk menerapkan asuransi nonkelas ini.”

Kekhawatiran lain adalah akan merugikan konsumen, BPJS Kesehatan sebagai operator, serta rumah sakit.

Baca Juga: Dirut BPJS Kesehatan: Harusnya Makin Tinggi Gaji, Iuran Juga Makin Besar, Maksimal Rp12 Juta

Tulus mengaku telah melihat pelayanan rumah sakit nonkelas di RSUD Tangerang.

“Jadi di situ tidak ada kelas I, kelas II, dan Kelas III. Ketika saya tanya pendapatannya berapa untuk biaya operasional, ternyata kebijakan nonkelas yang diterapkan di RSUD Tangerang hanya mampu mendapatkan revenue sekitar 38 persen saja dari pasien, dan 62 persennya ditanggung Pemda setempat,” tuturnya.

Jika hal ini diterapkan, lanjut dia, berpotensi merugikan semua pihak karena belum adanya kesiapan.

Tulus mengatakan, di Eropa, memang ada penerapan nonkelas. Tapi, lanjut dia, rumah sakit, sumber daya manusia dan sumber daya lainnya di Eropa sudah siap.

Sehingga saat diterapkan standardisasi nonkelas, tidak ada masalah.

Baca Juga: Dari Sampah Bisa Menabung, Bayar BPJS Hingga Pajak Kendaraan

“Kalau di kita kan dari sisi infrastruktur, faskes yang satu, rumah sakit satu dengan yang lain itu posisinya njomplang (tidak seimbang).”

“Sehingga sangat berat jika dipaksakan penerapan nonkelas, sehingga kita minta itu ditunda atau dibatalkan. Minimal ditunda dulu lah,” harapnya.

Tulus menjelaskan bahwa yang sangat dibutuhkan konsumen adalah adanya standardisasi pelayanan di masing-masing kelas, baik itu kelas I, II, maupun kelas III di rumah sakit.

Selain itu, sambungnya, bagaimana menurunkan jumlah keluhan terhadap pelayanan BPJS Kesehatan dan mitra rumah sakit terkait dengan lamanya antrean, baik di rumah sakit maupun saat tindakan medis besar, tidak disuruh beli obat lagi, dan hal lain.

“Itu yang terpenting, adalah untuk meningkatkan indeks pelayanan BPJS Kesehatan menjadi semakin baik atau prima. Saat ini yang dibutuhkan oleh masyarakat bukan adanya nonkelas tadi,” kata Tulus.

Jika wacana itu benar-benar diterapkan saat ini, menurutnya, rumah sakit harus merombak infrastruktur yang ada di dalamnya, baik itu ruangannya, kamar mandinya, dan segala hal lain.

“Termasuk indikator-indikator yang diterapkan, ada 12 indikator.”

“Misalnya penyekat ruangan yang berupa gorden harus diubah, karena menurut indikator nonkelas, gorden harus menempel ke dindng plafon,” tambahnya.

Padahal, kata dia, saat ini semua rumah sakit menggunakan gorden yang tidak menempel ke plafon.

“Saya juga (merasa) aneh kalau menempel ke plafon, kan menghalangi udara yang masuk, cahaya yang masuk, atau menghalangi AC masuk dan segala macam. Sehingga sirkulasi udara dan cahaya sangat terbatas,” papar Tulus.

Sebelumnya, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti dalam acara yang sama menjelaskan tentang wacana iuran bulanan BPJS Kesehatan akan disesuaikan dengan gaji peserta penerima upah, yaitu sebesar lima persen.

Iuran bulanan BPJS Kesehatan sebesar lima persen dari gaji peserta tersebut, kata Ali, satu persen diambil dari upah peserta dan empat persen sisanya dibayarkan oleh pemberi kerja atau perusahaan.

“Satu persen diambilkan dari gaji atau upah, empat persen dibayarkan oleh pemberi kerja. Jadi total lima persen,” urainya.

“Jadi seharusnya semakin tinggi gaji atau upah, itu semakin besar. Tetapi di Indonesia ini diberi maksimum Rp12 juta. Sehingga mereka yang bergaji 100 juta dengan yang gaji 10 juta itu hampir sama,” urainya.

Baca Juga: YLKI Soroti Wacana Penghapusan Kelas BPJS Kesehatan: Yang Dibutuhkan adalah Standardisasi Pelayanan

Ia menambahkan, jika tidak ingin ada kegaduhan, sebaiknya memang diubah menjadi maksimal Rp12 juta, kemudian disesuaikan yang lebih bagus.

“Sehingga ada cross subsidy (subsidi silang, red), ada gotong royong, konsep asuransi kesehatan sosial.”

“Harusnya yang gajinya tinggi iurannya lebih banyak, tetapi tidak sekarang ya. Sekarang ini hampir sama,” tegasnya.



Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x