Kompas TV nasional sapa indonesia

YLKI Khawatir Standardisasi Kelas BPJS Kesehatan akan Diintervensi Penyedia Asuransi Komersial

Kompas.tv - 11 Juni 2022, 11:08 WIB
ylki-khawatir-standardisasi-kelas-bpjs-kesehatan-akan-diintervensi-penyedia-asuransi-komersial
YLKI mengkhawatirkan standardisasi kelas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan akan dimanfaatkan oleh penyedia asuransi kesehatan komersial. (Sumber: Tangkapan layar Kompas TV)
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana | Editor : Edy A. Putra

“Sehingga sangat berat jika dipaksakan penerapan nonkelas, sehingga kita minta itu ditunda atau dibatalkan. Minimal ditunda dulu lah,” harapnya.

Tulus menjelaskan bahwa yang sangat dibutuhkan konsumen adalah adanya standardisasi pelayanan di masing-masing kelas, baik itu kelas I, II, maupun kelas III di rumah sakit.

Selain itu, sambungnya, bagaimana menurunkan jumlah keluhan terhadap pelayanan BPJS Kesehatan dan mitra rumah sakit terkait dengan lamanya antrean, baik di rumah sakit maupun saat tindakan medis besar, tidak disuruh beli obat lagi, dan hal lain.

“Itu yang terpenting, adalah untuk meningkatkan indeks pelayanan BPJS Kesehatan menjadi semakin baik atau prima. Saat ini yang dibutuhkan oleh masyarakat bukan adanya nonkelas tadi,” kata Tulus.

Jika wacana itu benar-benar diterapkan saat ini, menurutnya, rumah sakit harus merombak infrastruktur yang ada di dalamnya, baik itu ruangannya, kamar mandinya, dan segala hal lain.

“Termasuk indikator-indikator yang diterapkan, ada 12 indikator.”

“Misalnya penyekat ruangan yang berupa gorden harus diubah, karena menurut indikator nonkelas, gorden harus menempel ke dindng plafon,” tambahnya.

Padahal, kata dia, saat ini semua rumah sakit menggunakan gorden yang tidak menempel ke plafon.

“Saya juga (merasa) aneh kalau menempel ke plafon, kan menghalangi udara yang masuk, cahaya yang masuk, atau menghalangi AC masuk dan segala macam. Sehingga sirkulasi udara dan cahaya sangat terbatas,” papar Tulus.

Sebelumnya, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti dalam acara yang sama menjelaskan tentang wacana iuran bulanan BPJS Kesehatan akan disesuaikan dengan gaji peserta penerima upah, yaitu sebesar lima persen.

Iuran bulanan BPJS Kesehatan sebesar lima persen dari gaji peserta tersebut, kata Ali, satu persen diambil dari upah peserta dan empat persen sisanya dibayarkan oleh pemberi kerja atau perusahaan.

“Satu persen diambilkan dari gaji atau upah, empat persen dibayarkan oleh pemberi kerja. Jadi total lima persen,” urainya.

“Jadi seharusnya semakin tinggi gaji atau upah, itu semakin besar. Tetapi di Indonesia ini diberi maksimum Rp12 juta. Sehingga mereka yang bergaji 100 juta dengan yang gaji 10 juta itu hampir sama,” urainya.

Baca Juga: YLKI Soroti Wacana Penghapusan Kelas BPJS Kesehatan: Yang Dibutuhkan adalah Standardisasi Pelayanan

Ia menambahkan, jika tidak ingin ada kegaduhan, sebaiknya memang diubah menjadi maksimal Rp12 juta, kemudian disesuaikan yang lebih bagus.

“Sehingga ada cross subsidy (subsidi silang, red), ada gotong royong, konsep asuransi kesehatan sosial.”

“Harusnya yang gajinya tinggi iurannya lebih banyak, tetapi tidak sekarang ya. Sekarang ini hampir sama,” tegasnya.



Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x