Kompas TV nasional peristiwa

Anak-Anak Rentan Jadi Pelaku Kekerasan Seksual, Ini Penyebabnya Kata KPAI

Kompas.tv - 26 November 2021, 11:08 WIB
anak-anak-rentan-jadi-pelaku-kekerasan-seksual-ini-penyebabnya-kata-kpai
Ilustrasi. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan persoalan hulu yang compang-camping menjadi penyebab terjadinya darurat kekerasan seksual terhadap anak. (Sumber: Davies Surya/BBC)
Penulis : Nurul Fitriana | Editor : Edy A. Putra

JAKARTA, KOMPAS.TV - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan persoalan hulu yang compang-camping menjadi penyebab terjadinya darurat kekerasan seksual terhadap anak.

Bahkan tidak sedikit pelaku kekerasan seksual adalah anak-anak berusia di bawah 12 tahun.

Pernyataan itu disampaikan Komisioner KPAI Ai Maryati dalam program dialog Sapa Indonesia Pagi KOMPAS TV, Jumat (26/11/2021).

"Problem hulunya compang-camping karena anak tidak menerima pengasuhan karena tidak menerima edukasi atau korban penelantaran," kata Ai.

Artinya, kata Ai, ketika anak menjadi pelaku atau biasa disebut anak berkonflik dengan hukum, tidak semerta-merta dilihat dari satu dimensi.

Baca Juga: Proses Legislasi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual Dinilai dalam Ancaman

Melainkan, jelas Ai, perlu ditelisik lebih lanjut, salah satunya soal tidak terpenuhinya ruang bagi anak-anak untuk memiliki kesadaran penuh agar tidak melakukan perbuatan tersebut.

"Kita harus lihat tidak sampainya ruang lingkup pemenuhan yang memberikan kesadaran penuh kepada seorang anak untuk terhindar dari persoalan itu," jelasnya.

Lebih lanjut, Ai menyebut bahwa anak-anak yang dinyatakan berkonflik dengan hukum atau menjadi pelaku dalam kasus kekerasan seksual adalah faktor hilir.

Artinya, bisa saja pelaku tersebut dulunya merupakan korban yang mencoba mereplikasi satu bentuk perbuatan.

Sehingga, pihak yang menangani kasus, kata Ai, perlu memiliki kemampuan untuk menemukan faktor penyebab seorang anak melakukan perbuatan tersebut.

"Sebetulnya anak berkonflik dengan hukum itu adalah faktor hilir, lagi-lagi kita harus membuka situasi yang sebenar-benarnya terjadi adalah faktor-faktor yang mengondisikan mereka sampai melakukan hal itu," imbuhnya.

Dalam paparannya yang dipantau secara daring, Ai menyatakan anak-anak yang kemudian berkonflik dengan hukum sebelumnya cenderung mereplikasi beragam hal yang telah dikonsumsi.

Adapun hal tersebut dipengaruhi dari cara pandang anak-anak dalam melihat fenomena, kemudian cara pandang dalam melihat tayangan, asupan tayangan, hingga pengalaman langsung yang pernah dilihatnya.

Perbedaan cara pandang yang harusnya terkelola baik di hulu, kata Ai, ternyata masih compang-camping.

Akibatnya, sambung Ai, anak-anak justru cenderung mengalami pancaroba emosi hingga menyebabkan tidak mampu menilai baik dan buruk. Bahkan yang terjadi, anak-anak justru penasaran dan melakukan perbuatan melanggar hukum.

Baca Juga: Komnas Perempuan Rekomendasikan Universitas Bentuk Satgas Pemberantas Kekerasan Seksual

"Sehingga yaitu, pancaroba emosi, internal dan external pressure (tekanan dari dalam dan luar). Dia kemudian melakukan, bukan lagi berpikir boleh enggak, bagus tidak, pantas tidak," kata komisioner KPAI tersebut.

"Situasi inilah yang kemudian harus kita hadapi sehingga hilirnya anak-anak melakukan, pihak korban melakukan, bahkan yang menyaksikan, penasaran melakukan," sambungnya.

Oleh karena itu, KPAI menekankan pentingnya penerapan secara komprehensif UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.

Sehingga anak berkonflik hukum itu perlu memiliki kekhususan dalam aturan perundang-undangan. Yang tidak kalah penting, adanya perlindungan budaya atau culture protection.

"Bagaimana kemudian gelombang replikasi kondisi buruk ini harusnya dicegah betul-betul dari hulunya," pungkasnya.

Sebelumnya, Kepolisian Resor Kota (Polresta) Malang Kota menangkap sepuluh terduga pelaku kekerasan terhadap seorang anak panti asuhan di wilayah Kota Malang, Jawa Timur.

Kapolresta Malang Kota AKBP Budi Hermanto mengatakan bahwa seluruh terduga pelaku penganiayaan termasuk satu terduga pelaku persetubuhan, masih berstatus anak-anak.

"Lebih kurang 10 orang yang diduga melakukan tindakan kekerasan ataupun persetubuhan," kata Budi, Selasa (23/11) malam dikutip dari Antara.

Korban dan terduga pelaku, kata dia, masih berstatus anak-anak sehingga penanganannya akan bekerja sama dengan psikolog, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak dan Balai Pemasyarakatan (Bapas).

"Dalam hal ini, kami menyampaikan bahwa korban dan para pelaku statusnya masih anak-anak," katanya.

Baca Juga: Tujuh Pelaku Jadi Tersangka Penganiayaan dan Pemerkosaan Pada Anak di Malang




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x