Kompas TV nasional sosok

Hari Pahlawan 10 November: Usmar Ismail, Gelar Pahlawan dari Jejak Seni Film

Kompas.tv - 4 November 2021, 11:28 WIB
hari-pahlawan-10-november-usmar-ismail-gelar-pahlawan-dari-jejak-seni-film
Sutradara Usmar Ismail akan mendapatkan gelar pahlawan (Sumber: istimewa-)
Penulis : Iman Firdaus

JAKARTA, KOMPAS.TV- Usmar Ismail akan dianugerahi gelar pahlawan oleh pemerintah pada  10 November, bertepatan dengan Hari Pahlawan di Istana Bogor, Jawa Barat . Yang menarik, Usmar berlatar belakang sutradara film.  

Nama Usmar sudah disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD secara resmi, akhir Oktober silam. 

Selain Usmar Ismail, akan ada tiga tokoh lain yang diberi gelar pahlawan nasional, yakni Tombolatutu dari Sulawesi Tengah, Sultan Aji Muhammad Idris dari Kalimantan Timur, dan Raden Ayra Wangsakara dari Banten.

Mengapa sang sutradara ini layak mendapatkan gelar pahlawan? 

Usmar Ismail dikenal sebagai pelopor perfilman serta pelopor drama modern di Indonesia. Lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, pada 20 Maret 1921.

Kariernya di dunia perfilman dimulai saat asisten sutradara untuk film “Gadis Desa” (1949). Pada saat itu, ia diajak Andjar Asmara untuk bergabung bersama perusahaan film milik Belanda, South Pacific Corporation, setelah ia keluar dari tahanan atas tuduhan melakukan subversi oleh Belanda saat menjalankan profesi sebagai wartawan di Kantor Berita Antara.

Baca Juga: Robert Downey Jr Gabung Cillian Murphy Bintangi Film Baru Christopher Nolan

Masih di tahun yang sama, yakni 1949, ia dipercaya untuk menyutradarai film “Harta Karun”, disusul oleh film “Tjitra” berdasarkan naskah drama yang ditulisnya di zaman Jepang.

Namun, film-film tersebut tidak membuahkan kepuasan bagi dirinya sehingga ia mendirikan perusahaan sendiri Perfini pada 30 Maret 1950 bersama beberapa kawannya dengan menggunakan uang pesangon yang ia kantongi. 

Pada hari yang sama, ia akhirnya melakukan syuting pertama “Darah dan Doa” atau kerap disebut “Long March Siliwangi” yang berlokasi di Purwakarta dan Subang.

Nah, pengambilan gambar film  “Darah dan Doa” disebut-sebut sebagai kelahiran film nasional pertama Indonesia. Dalam produksi film ini, Usmar menggaet pemain yang sama sekali tidak memiliki pengalaman di seni peran. Aktor seperti Del Yuzar, Awaluddin Djamin, Aedy Moward, Farida, bukanlah aktor profesional.

Film tersebut merupakan film pertama tentang manusia Indonesia dalam revolusi. Berkisah tentang karakter Kapten Sudarto dalam perjalanan panjang Divisi Siliwangi dari Yogyakarta kembali menuju daerah Jawa Barat pada 1948 atau setelah persetujuan Renville.

Baca Juga: Kisah di Balik Last Night in Soho: Terpengaruh Film Roman Polanski hingga Andil Quentin Tarantino

“Darah dan Doa” sempat menuai perdebatan, terutama dari perwira angkatan darat, karena film tersebut dianggap tidak menggambarkan keperwiraan dan melukiskan kelemahan seorang anggota tentara.

Meski demikian, Usmar mengatakan bahwa tokoh Sudarto dalam “Darah dan Doa” bukanlah pahlawan dalam artian umum. Ia ingin menggambarkan seorang tentara yang terlibat dan terseret oleh arus revolusi dengan bingkai sisi manusiawi.

“Saya tertarik kepada kisah Sudarto karena menceritakan secara jujur kisah manusia Indonesia dengan tidak jatuh menjadi film propaganda yang murah,” tulis Usmar dalam karangan berjudul “Film Saya yang Pertama”, dikutip dari Rosihan Anwar dalam buku “Sejarah kecil ‘petite histoire’ Indonesia; Volume 2”.

Setelah “Darah dan Doa”, ia segera memulai produksi keduanya dengan masih mengangkat tema perjuangan zaman revolusi, yakni “Enam Djam di Djogja” (1951).

Tahun-tahun setelahnya, Usmar juga membuat film “Lewat Tengah Malam” (1954) bersama Persari pimpinan Djamaluddin Malik. Melalui Perfini, ia memproduksi “Pedjuang” (1959) yang memenangkan penghargaan aktor terbaik di ajang Festival Film di Moskwa (1961).

Sederet film yang diproduksi Usmar antara lain "Dosa Tak Berampun" (1951), "Terimalah Laguku" (1952), "Kafedo" (1953), "Krisis" (1953), "Tamu Agung" (1955), "Tiga Dara" (1956), dan sebagainya.

Film terakhirnya adalah Ananda (1970), setelahnya pada 2 Januari 1971 Usmar wafat dalam usia hampir genap lima puluh tahun.

Kiprah Usmar di dunia film di awal kemerdekaan, menjadi tonggak perfilman oleh manusia Indonesia. Yang sebelumnya banyak dikuasai orang asing. Bukan hanya itu, film-film Usmar juga banyak menggambarkan problematika manusia Indonesia dalam menghadapi zamannya.




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x