Kompas TV nasional pro kontra

Disrupsi Teknologi dan Rendahnya Literasi Digital Mengancam Kualitas Jurnalisme, Benarkah?

Kompas.tv - 5 Mei 2021, 14:43 WIB
disrupsi-teknologi-dan-rendahnya-literasi-digital-mengancam-kualitas-jurnalisme-benarkah
Ilustrasi jurnalisme (Sumber: Getty Images/iStockphoto)
Penulis : Fransisca Natalia | Editor : Eddward S Kennedy

JAKARTA, KOMPAS.TV – Disrupsi teknologi dan kebebasan pers saat ini menjadi dilema dalam tuntutan menghadirkan jurnalisme yang berkualitas.

Hal tersebut dibahas dalam diskusi bertajuk ”Tantangan Jurnalisme di tengah Disrupsi 4.0 dan Kemunduran Demokrasi” yang diselenggarakan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial atau LP3ES, Senin (3/5/2021).

Melansir dari laman Kompas.id, Selasa (4/5/2021), diskusi memperingati Hari Kebebasan Pers Internasional tersebut menghadirkan pembicara Pemimpin Redaksi Harian Kompas, Sutta Dharmasaputra, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Wahyu Dhyatmika, Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES, Wijayanto, pengajar Ilmu Komuniasi Universitas Diponegoro Semarang, Nurul Hafsi, serta Pengajar Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Herlambang P Wiratraman.

Wijayanto mengibaratkan informasi adalah oksigen di negara demokasi yang menjadi barang publik. Jika kualitas informasi yang diberikan untuk publik tidak berkualitas, bisa berdampak pada kualitas demokrasi.

Baca Juga: Era Disrupsi dan Perubahan Sangat Cepat, Jokowi Minta HMI Tidak Terpaku pada Kebesaran Masa Lalu

Sayangnya, di era disrupsi teknologi, informasi di internet justru dimanipulasi oleh opini-opini publik yang dilakukan pasukan siber yang disebutnya sebagai tentara bayaran. Mereka melakukan manipulasi opini publik secara sistematis sehingga sesuatu yang sebenarnya tidak ada akhirnya dianggap publik ada.

Lebih lanjut, ia menyebutkan salah satu contoh, kasus pemberitaan mengenai revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tiba-tiba muncul tsunami percakapan di media sosial.

Dalam waktu satu minggu muncul topik-topik dan kata-kata terpopuler di media sosial yang isinya mendukung revisi UU KPK, seperti #KPKTaliban. Padahal, saat itu, desakan publik agar pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat tidak melakukan revisi sangat kuat.

“Hal-hal yang terpopuler di media sosial itu kemudian diamplifikasi oleh media-media arus utama sehingga berita mengenai hal itu sangat banyak,” tuturnya.

Berkaca dari peristiwa semacam itu, Wijayanto mengatakan, media mungkin tidak berhasil membuat publik memercayai sesuatu, tetapi selalu berhasil membuat publik memikirkan suatu isu.

Ketika narasi yang dimanipulasi oleh media-media arus utama itu masuk dalam ruang diskusi publik, maka akan menjadi wacana yang dianggap benar oleh masyarakat.

“Akhirnya di survei Litbang Kompas, sebanyak 44,9 persen responden setuju terhadap revisi UU KPK,” imbuh Wijayanto.

Rendahnya Literasi

Sejalan dengan pemikiran tersebut, menurut Sutta, jurnalisme berkualitas memang menjadi elemen penting untuk menyebarkan informasi menjadi jernih dengan merekam fakta sebaik-baiknya.

Namun, di era sekarang, hal tersebut tidak mudah dilakukan oleh jurnalis karena melimpahnya informasi di media sosial dan mesin-mesin aggregator atau pembaca umpan raksasa.

Hal itu diperparah dengan tingkat literasi digital masyarakat Indonesia yang masih rendah.

Meskipun kecepatan internet masih cenderung lamban, literasi digital masyarakat di negara pengguna media sosial terbesar ketiga di dunia ini masih rendah.

Bahkan, Indonesia berada di negara-negara yang tingkat kepedulian terhadap berita bohongnya rendah.

“Bisa dibayangkan, informasi yang melimpah yang seharusnya bisa mencerahkan jika tidak dikelola dengan baik bisa menyesatkan karena diterima mentah-mentah tanpa membedakan mana informasi yang benar dan salah,” tutur Sutta.

Ia menyebutkan contoh kasus yang terjadi yaitu, liputan investigasi tentang masker palsu yang dilakukan oleh Kompas bisa kalah dengan meme-meme dalam mendapatkan perhatian publik.

Padahal, liputan itu dilakukan dengan melibatkan lembaga-lembaga lain dan menghabiskan biaya yang cukup mahal.

Hal itu menunjukkan bagaimana jurnalisme berkualitas bisa tertinggal dalam menarik perhatian publik akibat media-media di Indonesia tertinggal dalam penggunaan teknologi.

Selain itu, publik cenderung belum bisa membedakan informasi-informasi berkualitas yang perlu dikonsumsi.

Baca Juga: Pembinaan Manajemen Konflik dan Jurnalisme Damai

 




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x