Kompas TV kolom opini

Perempuan, Senjata Siluman - Terorisme (2)

Kompas.tv - 28 Oktober 2022, 20:49 WIB
perempuan-senjata-siluman-terorisme-2
Ilustrasi aksi terorisme (Sumber: tribunnews)

Penulis: Trias Kuncahyono 

ADA asumsi umum bahwa terorisme adalah dunia kaum laki-laki. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh sedikitnya perempuan teroris; juga karena aksi ini membutuhkan keberanian luar biasa serta merupakan tindakan kasar dan sungguh-sungguh membuang nilai-nilai kemanusiaan.

Akan tetapi, realitasnya menurut sejarah, perempuan ambil bagian dalam pemberontakan bersenjata, revolusi, dan perang. 

Perempuan memainkan peran dominan di Russian Narodnaya Volya  (Kehendak Rakyat Rusia), sebuah organisasi revolusioner abad ke-19, yang berpandangan aktivitas teroris sebagai jalan paling baik untuk memaksa reformasi politik dan menyingkirkan otokrasi tsar. 

Perempuan juga bergabung dengan Tentara Rakyat Irlandia (IRA), organisasi Baader-Meinhof di Jerman, Red Brigades di Italia, Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina. Laporan penelitian European Parliamentary Research Service (2018), juga menegaskan hal itu. 

Secara historis, perempuan telah aktif dalam organisasi kekerasan politik di berbagai wilayah di seluruh dunia. Mereka tidak hanya sebagai pelengkap dan pendukung, tetapi juga sebagai pemimpin dalam organisasi, rekrutmen dan penggalangan dana dan dalam peran operasional langsung. 

Kata Cyndi Banks (2019), profesor kriminologi dari Northern Arizona University, perempuan selalu menjadi bagian dari gerakan teroris baik sebagai pendukung maupun pelaku. 

Misalnya, dalam Religious Wave (Gelombang Agama) -meminjam istilah yang digunakan David Rapoport (2004)- perempuan mengisi berbagai peran mulai dari staf pendukung hingga pelaku nyata aksi teror di Pakistan, India, Sri Lanka, Chechnya, Afghanistan, Palestina, Suriah, Irak, Yaman, dan Kenya. 

Rapaport membagi gelombang aksi teroris menjadi: dari 1880-an hingga 1920'an disebut Anarchist Wave (Gelombang Anarkis), dari 1920-an sampai 1960-an sebagai Anti-Colonial Wave (Gelombang Anti-Kolonial), dari 1960-1979 dinamakan New Left Wave (Gelombang Kiri Baru), dan dari 1979 -selanjutnya disebut Religious Wave (Gelombang Agama). 

Keterlibatan perempuan itu, kata Mia Bloom (2017), akademisi, pengarang Kanada dan profesor komunikasi dari Georgia State University, didorong oleh perubahan etos dan taktik terorisme. 

Baca Juga: Perempuan Berpistol Terobos Istana Merdeka Siti Elina Mengaku Dapat Wangsit dan Mimpi Masuk Neraka

Organisasi terorisme ingin bahwa aksi mereka menimbulkan lebih banyak korban.
Maka, dikembangkan teknologi dan taktik baru untuk mewujudkan keinginan itu. 

Keinginan tersebut diwujudkan dengan: pengenalan terorisme bunuh diri dan merekrut kaum perempuan. Kedua fenomena paralel tersebut diwujudkan di Lebanon pada 1980-an selama pendudukan Israel. 

Perempuan pengebom bunuh diri pertama, kata Mia Bloom (2017), adalah seorang gadis Lebanon berusia 17 tahun: Sana'a Mehaydali tahun 1985.

Ia "menjalankan misi" Partai Nasional Sosialis Suriah (SSNP/PPS), sebuah organisasi sekular pro-Lebanon Suriah. 

Sana'a "ditugaskan" meledakkan diri di dekat konvoi tentara Israel di Lebanon. 
Aksi Sana'a menewaskan lima tentara Israel. 

Dari Lebanon, serangan bunuh diri oleh perempuan meluas ke Sri Lanka, Turki, Chechnya, Israel, Irak, dan termasuk ke Indonesia (dilakukan oleh Puji -bersama suami dan kedua anaknya- pada 17 Mei 2018, di Surabaya). 

Sekadar gambaran, antara tahun 1985 - 2006 saja, terjadi 220 serangan bom bunuh diri oleh perempuan (sekitar 15 persen dari total serangan bom bunuh diri). 

Orang-orang menghadiri pemakaman para petani yang dibantai oleh tersangka militan Boko Haram di Zaabarmar, Nigeria, Minggu, 29 November 2020. (Sumber: AP/Jossy Ola via Kompas.com)

Sejarah panjang 

Sebenarnya, kata Mia Bloom (2017) dan Lora Vonderhaar (2021), keterlibatan langsung perempuan dalam terorisme, memiliki sejarah panjang, lebih dari 100 tahun. 

Selama 50 tahun terakhir, perempuan berpartisipasi dalam kelompok teroris di semua tingkatan, mulai dari penggalangan dana, perekrutan, hingga menjadi pelaku bom bunuh diri.

Perempuan yang dicatat sebagai teroris pertama adalah Vera Zasulich (1878). Zasulich, anggota kelompok anarkis Russia Narodnaya Volya. Ia diadili atas percobaan pembunuhan Gubernur Trepov di St Petersburg. Tetapi, tidak terbukti. 

Sekitar 30 persen anggota organisasi teroris adalah perempuan dan sepertiga pengebom bunuh diri adalah perempuan. Tetapi, di Negeria sekitar 53 persen anggota kelompok Boko Haram adalah perempuan. Boko Haram menjadi terkenal pada April 2014 ketika menculik 270 siswi di Chibok. 

Di Jerman Barat pada akhir 1960-an dan sepanjang 1970-an, muncul nama Ulrike Meinhof, seorang wartawan berhaluan kiri, yang ikut mendirikan -bahkan disebut ideolog- geng Baader-Meinhof (Faksi Tentara Merah). 

Fraksi ini adalah sebuah organisasi pro-sosialis yang menggunakan kekerasan untuk mendukung gerakan pembebasan dunia. 

Menurut Deutsche Welle (1977), di Jerman Barat juga ada organisasi gerilya urban feminis kiri radikal (1974-1995) yakni Rote Zora (Zora Merah). 

Mereka ini disebut bertanggung jawab atas 45 kasus pembakaran dan pengeboman dari tahun 1977 hingga 1988 (Deutsche Welle, 2007). 

Baca Juga: Suami Penerobos Istana Negara Dibaiat NII, Densus 88: Coba Lebarkan Sayap ke Luar Pulau Jawa

Kelompok ini memrotes undang-undang aborsi Jerman; mengebom toko-toko seks, perusahaan multinasional; dan menentang rekayasa genetika pornografi, dan objektifikasi perempuan. 

Di Spanyol malah, sejak ETA didirikan tahun 1959, perempuan sudah terlibat.  ETA, Euskadi Ta Askatasuna (Negara Basque dan Kebebasan) adalah organisasi teroris separatis dan nasionalis Basque bersenjata. "Negara" Basque terletak di Spanyol utara dan Perancis barat daya. 

Sebanyak 17 persen anggota ETA adalah perempuan. Bahkan, koran The Telegraph (21 Oktober 2009) memberitakan ETA dipimpin seorang perempuan, Iratxe Sorzabal Diaz. 

Tahun 1980-an, Hezbollah (di Lebanon) dan Macan Tamil (di Sri Lanka) mulai merekrut, mempersenjatai, dan menjadikan para perempuan sebagai pengebom bunuh diri. 

Pada Januari 2002, Wafa Idris menjadi perempuan pertama Palestina yang menjadi pengebom bunuh diri. Perempuan berusia 27 tahun itu, mengikatkan bahan peledak seberat 10 kilogram. Lalu, meledakkan diri di tengah kepadatan jalan di Jerusalem. Dua orang Israel, tewas. 

Aksi bunuh diri Wafa Idris itu diikuti sembilan perempuan pengebom bunuh di Palestina. Mereka semua tewas. Sementara lusinan lainnya gagal menjadi pengebom bunuh diri. Tindakan nekat Wafa Idris itu mengejutkan banyak pihak. 

Ini adalah fenomena sosial yang membuat Israel dan Barat, tak bisa paham. Mereka mengartikan aksi bom bunuh diri perempuan itu sebagai pertanda akan meningkatnya konflik. 

Setelah aksi perempuan Palestina, Wafa Idris, Hamas tak mau kalah. Pada 2004, menurut The Guardian 26 Januari 2004, Hamas menugaskan seorang ibu muda menjadi pengebom bunuh diri. 

Reem el Riyashi (22), nama ibu muda itu, meledakkan diri di perbatasan Gaza. Aksinya menewaskan dirinya, empat orang Israel. Ia meninggalkan dua anak yang baru berusia tiga tahun dan 18 bulan. 

Setelah Reem el Riyashi meledakkan diri, pemimpin spiritual Hamas saat itu, Sheikh Ahmad Yassin, mengatakan Riyashi telah membuka pintu bagi lebih banyak perempuan untuk menjadi pengebom bunuh diri melawan Israel. Ia bahkan mendesak agar makin banyak perempuan menjadi relawan. 

Barangkali, di Palestina yang paling kondang adalah Leila Khaled. Dokter lulusan Universitas Amerika di Beirut ini menjadi perempuan pertama Palestina yang membajak pesawat. 

Anggota Barisan Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP) ini, pada 29 Agustus 1969 membajak pesawat Boeing 737 milik Trans World Airlines yang tengah terbang dari Roma menuju Athena. 

Lalu, 6 September 1970, ia membajak pesawat milik Israel, El Al Nahas yang terbang dari Amsterdam ke New York. Kisahnya difilmkan oleh sutradara asal Swedia, Lina Makboul, dengan judul Leila Khaled the Hijacker (2005). 

Keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme juga terjadi di Peru (bergabung dengan Sendero Luminoso atau Shining Path yakni kelompok gerilyawan komunis yang mengikuti ideologi Marxisme- Leninisme-Maoisme didirikan tahun 1970), di Irlandia Utara, di Turki (tergabung dengan Partai Pekerja Kurdistan), di Filipina (dalam kelompok Abu Sayyaf), dan di Columbia (Pasukan Bersenjata Revolusioner Columbia/FARC). 

Baca Juga: Densus 88 Tegaskan Suami Siti Elina Tak Terkait Kasus Penerobosan Istana: Istrinya Bergerak Sendiri

Di Chechnya muncul kelompok yang disebut Black Widows. KataTony Halpin, dalam tulisannya di Times, sebutan Black Widows diambil dari pakaian yang mereka gunakan, gaun panjang warna hitam yang menutup seluruh tubuh. 

Biasanya di balik pakaian hitam itu diikatkan bahan peledak dan pecahan peluru meriam. Sasaran aksi mereka adalah orang-orang Rusia. 

Namun, tidak semua yang disebut "Janda-janda Hitam" adalah mereka yang kehilangan suami, ada pula yang kehilangan saudara lelaki atau keluarga dekat. 

Salah satu aksi mereka adalah menyerang teater Moscow Dubrovka (2002) dan penyanderaan 700 orang yang tengah menonton pertunjukan di teater itu. Sebanyak 19 dari 41 penyandera adalah "Janda-janda Hitam" ini. 

Seorang perempuan menerobos penjagaan Istana Kepresidenan Jakarta pada Selasa (25/10/2022) pagi. (Sumber: Istimewa)

Senjata siluman 

Sejarah kelompok-kelompok ini adalah bukti bahwa perempuan telah menjadi peserta aktif dalam banyak gelombang terorisme di seluruh dunia. 
Mereka ada yang bertindak sendiri, lone wolf, ada pula yang menjadi bagian dari organisasi atau kelompok teroris. 

Sejak itu, perempuan menjadi senjata siluman yang ideal bagi kelompok teroris. 
Mereka cenderung tidak dicurigai atau digeledah oleh petugas keamanan. 

Di Irak dan di Afganistan, misalnya, mereka digunakan untuk menyerang jantung pasukan koalisi pimpinan AS. Taktik menjadi senjata siluman sangat efektif. Dan, mampu menarik perhatian media, perhatian dunia. 

Yang dilakukan Kanapathipillai Manjula Devi di Colombo, Sri Lanka, 25 April 2006, salah satu contohnya. 

Baca Juga: Periksa Siti Elina, Densus 88: Penerobos Istana Terpapar Radikalisme, Terhubung dengan HTI dan NII

Ia berhasil berkali-kali mengunjungi klinik bersalin di rumah sakit militer dengan mengaku sebagai istri tentara. Akhirnya meledakkan diri klinik itu.

Pada akhirnya, dengan menjadi pengebom bunuh diri, bagi mereka tidak berlaku lagi teori bahwa perempuan memilih mekanisme damai untuk resolusi konflik, beda dengan laki-laki yang cenderung memilih jalan kekerasan. 

Sebab, perempuan secara inheren lebih cenderung ke arah moderasi, kompromi, dan toleran (Bersambung.... )



Sumber : Kompas TV, Kompas.com


BERITA LAINNYA



Close Ads x