Kompas TV internasional kompas dunia

Pemerintahan AS di Bawah Joe Biden Dipandang Akan Lebih Keras Terhadap China

Kompas.tv - 13 November 2020, 18:21 WIB
pemerintahan-as-di-bawah-joe-biden-dipandang-akan-lebih-keras-terhadap-china
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Wang Wenbin. (Sumber: AP Photo)
Penulis : Haryo Jati

BEIJING, KOMPAS TV – Pemerintah China hari Jumat (13/11/2020) mengucapkan selamat kepada Joe Biden yang terpilih sebagai presiden Amerika Serikat  yang baru.

Namun, pengamat memandang pemerintahan Joe Biden justru akan lebih parah menekan China di bidang alih teknologi dan perdagangan.

”Kami menghormati pilihan rakyat Amerika Serikat,” tutur juru bicara kementerian luar negeri China Wang Wenbin,”Kami mengucapkan selamat kepada Bapak Biden dan Ibu Harris,” tambahnya.

Baca Juga: Mahathir Mohamad Ingatkan NASA untuk Tak Membawa Alien ke Bumi, Ini Alasannya

Sebelumnya, China dan Rusia tidak bergabung dengan rombongan negara-negara yang mengucapkan selamat kepada Biden akhir minggu lalu, setelah mantan wakil presiden masa Obama itu diproyeksikan meraih suara Electoral College terbanyak untuk duduk di tampuk tertinggi pemerintahan AS.

Wang Wenbin tidak memberikan alasan tentang keterlambatan China mengucapkan selamat, namun menegaskan, “hasilnya akan dipastikan menurut hukum dan prosedur Amerika Serikat,”

Hubungan AS dan China jatuh ke tingkat terendah beberapa dekade terakhir akibat perang tariff sebagai hasil dari ambisi teknologi dan surplus perdagangan China terhadap AS, tuduhan mata-mata, ketegangan dalam isu HAM, pandemi Covid-19, isu Hong Kong, dan isu Laut Cina Selatan.

Baca Juga: Mengejutkan, Joe Biden Ternyata Juga Ada di Jepang, Siapa Dia?

Presiden AS Petahana Donald Trump melabeli China sebagai ancaman keamanan dan menerapkan pembatasan impor barang China serta sanksi terhadap berbagai perusahaan China.

Kamis (12/11/2020), pemerintahan AS menerapkan sanksi tambahan berupa larangan bagi perusahaan AS untuk melakukan penanaman modal ke dalam perusahaan-perusahan yang menurut pejabat AS dimiliki oleh angkatan bersenjata China.

Kalangan pengamat melihat, walau Trump kalah, dia tetap akan meningkatkan tekanan terhadap China hingga hengkang dari Gedung Putih pada 20 Januari 2021 nanti.

Baca Juga: Trump Tuduh Kecurangan di Pemilihan Presiden AS, Obama Mengecam Keras

Mereka juga melihat pemerintahan Biden akan mengaktifkan kembali kerja sama dengan Beijing di bidang perubahan iklim, Korea Utara, Iran, dan Covid-19.

Mereka juga melihat Biden akan mengambil langkah yang lebih tradisional terhadap China, namun akan lebih keras di bidang alih teknologi dan perdagangan.

Beberapa pengamat melihat, Biden akan meningkatkan tekanan kepada China, dengan membentuk koalisi bersama negara maju lain untuk menekan China mengubah kebijakannya.

Baca Juga: Ekonomi Jepang Lesu Akibat Pandemi, Lebih dari 13 Ribu Orang Bunuh Diri

Pemerintahan China saat ini terlibat perang tariff dengan pemerintahan Donald Trump, terkait ambisi teknologi China dan surplus perdagangan dengan Amerika Serikat.

"Sikap keras terhadap China memiliki dukungan luas di seluruh spektrum politik AS," kata Louis Kuijs dari Oxford Economics dalam sebuah laporan minggu ini.

“Pernyataan dan program kebijakan Biden sendiri menunjukkan bahwa dia akan terus berusaha mempertahankan keunggulan teknologi AS dan menarik aktivitas manufaktur (untuk masuk ke AS),” tambahnya.

China telah berusaha merangkul Jerman, Perancis, Korea Selatan dan pemerintahan untuk bersekutu melawan AS namun semua negara itu menolak.

Baca Juga: Paus Fransiskus Ucapkan Selamat Kepada Presiden AS Terpilih Joe Biden

Negara-negara ini mengkritik taktik perdagangan pemerintahan Trump yang menerapkan kenaikan tariff perdagangan secara mendadak, yang juga diterapkan Trump kepada sekutu AS. Namun juga mengamini keluhan AS bahwa China melanggar komitmen perdagangan bebasnya.

Sebagian pakar perdagangan China melihat, Beijing kemungkinan besar akan mencoba melakukan negosiasi ulang dari kesepakatan “Tahap 1” yang ditandatangani bulan Januari lalu, sebagai langkah awal mengakhiri perang dagang.

Kesepakatan itu mewajibkan China meningkatkan pembelian barang-barang AS sebagai imbalan penundaan kenaikan tariff perdagangan. Namun kesepakatan itu ditandatangani sebelum badai Covid-19 memporak-porandakan perdagangan dunia, yang membuat China terlambat memenuhi komitmennya kepada AS.

Baca Juga: Partai Aung San Suu Kyi Menang Pemilu Myanmar, Raih Cukup Kursi Parlemen untuk Pemerintahan Baru

Negosiasi ulang dilihat, “akan lebih strategis dan berorientasi jangka panjang,” bagi pemerintahan Joe Biden, namun Biden tidak bisa terlihat “lunak terhadap China, setelah berbagai retorika keras yang diucapkan masa kampanye,” tutur Kuijs lebih jauh.

Jajaran pemimpin China tampak lebih menahan diri untuk tidak berkomentar pada pemilu presiden AS kali ini, dibanding pada pemilu 2016 dimana mereka lebih suka kepada Trump dibanding pesaingnya saat itu, mantan menteri luar negeri Hillary Clinton.

Trump menggoncang jajaran pemimpin China dengan menerapkan kenaikan tariff perdagangan secara mendadak tahun 2018 lalu, atas produk China yang masuk ke AS, ditengah keluhan AS bahwa China mencuri teknologi AS atau menekan perusahaan AS untuk menyerahkan teknologi mereka kepada China.

Baca Juga: China Akhirnya Beri Selamat kepada Joe Biden karena Terpilih sebagai Presiden AS

Gedung Putih masa Trump melobi sekutu-sekutu mereka untuk tidak memasukkan Huawei Technologies Ltd dari jaringan telekomunikasi generasi baru, atas pertimbangan keamanan. Beberapa tahun terakhir akses Huawei atas komponen dan teknologi AS dihentikan, membuat penjualan Huawei terancam anjlok.

Trump juga mencoba memblokir berbagai perusahaan sosial media China di Amerika Serikat, atas kekuatiran perusahaan-perusahaan tersebut mengumpulkan terlalu banyak informasi pribadi tentang warga AS.

Gedung Putih pernah menekan TikTok untuk menjual operasinya di AS, dan mencoba menutup akses berbagai perusahaan untuk melakukan kesepakatan bisnis dengan WeChat.

(Edwin Shri Bimo)




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x