Kompas TV ekonomi ekonomi dan bisnis

Agus Gumiwang: Salah Kalau Ada yang Bilang Kemenperin Antiimpor

Kompas.tv - 17 Oktober 2023, 03:15 WIB
agus-gumiwang-salah-kalau-ada-yang-bilang-kemenperin-antiimpor
Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan pihaknya tidak antiimpor. Ia menilai impor barang sah-sah saja selama tidak mematikan industri dalam negeri. (Sumber: Kemenperin)
Penulis : Dina Karina | Editor : Edy A. Putra

JAKARTA, KOMPAS.TV - Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) tidak antiimpor. Ia menilai impor barang sah-sah saja selama tidak mematikan industri dalam negeri.

"Perlu saya tegaskan posisi kita. Posisi Kemenperin itu tidak antiimpor. Salah, kalau ada yang katakan bahwa Kemenperin itu antiimpor. Bukan," kata Agus saat memberikan arahan dalam acara Pengangkatan Petugas Pengawas Standar Industri (PPSI) dan Pengarahan PPNS di Jakarta, Senin (16/10/2023).

Agus menerangkan, semua barang yang beredar di Indonesia, baik itu produk dalam negeri maupun impor, harus sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan pemerintah Indonesia. 

Kemenperin sebagai pembina industri nasional, kata dia, harus melindungi industri nasional serta masyarakat secara keseluruhan lewat kebijakan yang ada.

"Serta harus dipastikan, ini yang paling penting, bahwa kegiatan importasi tidak boleh mematikan atau merugikan industri dalam negeri," ujarnya. 

Baca Juga: Impor Sepeda, Jam Tangan, Kosmetik, Besi-Baja Kena Tarif Tambahan, Harga akan Jadi Lebih Mahal

Menurut Menperin, hal itu perlu dilakukan agar tercipta persaingan usaha yang sehat dan mampu melindungi industri nasional.

Ia juga mengatakan pihaknya turut mendukung upaya pengetatan impor barang dari pengawasan di luar kawasan pabean (post-border) menjadi pengawasan di kawasan pabean (border) sebagaimana arahan Presiden Joko Widodo dalam rapat kabinet terbatas beberapa waktu lalu.

Dengan perubahan itu, pemeriksaan barang impor yang sebelumnya di luar kawasan pabean, akan diperiksa di wilayah pabean oleh petugas bea dan cukai.

"Saat ini pengawasan bersifat post-border akan kita ubah pengawasannya menjadi border dengan adanya pemenuhan Persetujuan Impor (PI) dan Laporan Surveyor (LS)," terangnya. 

Ia mengungkapkan, belakangan ini marak pemberitaan soal keluhan-keluhan pelaku usaha dan masyarakat karena peredaran barang impor di pasar tradisional serta peningkatan penjualan barang impor lewat platform digital atau e-commerce.

Baca Juga: Selain Beras, Pemerintah juga akan Impor Setengah Juta Ton Jagung untuk Pakan Ternak

Pemerintah pun, kata dia, langsung bergerak cepat untuk fokus pada pengetatan impor komoditas tertentu yakni pakaian jadi, mainan anak-anak, elektronik, alas kaki, kosmetik, barang tekstil sudah jadi lainnya, obat tradisional, suplemen kesehatan dan produk tas.

"Ini komoditas yang ditetapkan itu minimal. Kalau ada tambahan, boleh diusulkan, pemerintah terbuka," katanya.

Menperin menyebut dari total 11.415 harmonized system (HS), terdapat ketentuan tata niaga impor larangan atau pembatasan (lartas) terhadap 6.910 HS, atau sekitar 60,5 persen.

Dari 60,5 persen komoditas yang dikenakan lartas tersebut, sebanyak 32,1 persennya dilakukan pengawasan di border dan sebanyak 28,4 persennya akan dilakukan pengawasan di post-border.

Berdasarkan hasil ratas yang dipimpin Presiden Jokowi, Kemenperin ditugaskan untuk melakukan revisi atau perbaikan peraturan-peraturan yang mengakomodir perubahan pengawasan dari post-border ke border dalam waktu dua minggu.

Baca Juga: Aturan Baru Sri Mulyani, E-Commerce Impor 1.000 Barang atau Lebih Wajib Lapor Data ke Bea Cukai

Dalam ratas tersebut juga diputuskan pembentukan Satgas Nasional Pengendalian Impor yang terdiri dari kepolisian, Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Koperasi UKM, Kementerian Kominfo, dan Badan Karantina.

Aturan impor lainnya yang baru diterbitkan pemerintah adalah penambahan empat komoditas baru yang dikenakan tarif Most Favoured Nation (MFN) dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 96 Tahun 2023 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor dan Ekspor Barang Kiriman.

Keempat komoditas tersebut adalah sepeda dengan tarif 25 persen hingga 40 persen, jam tangan 10 persen, kosmetik 10 persen sampai 15 persen, serta besi dan baja 0 persen hingga 20 persen.

“Kami menambah empat komoditas ini karena kami melihat transaksi perdagangan melalui barang kiriman, khususnya kosmetik, impornya sangat tinggi. Inilah yang akhirnya berdampak pada pertumbuhan industri di dalam negeri,” kata Direktur Teknis Kepabeanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan Fadjar Donny Tjahjadi dalam media briefing di Jakarta, Kamis (12/10). 

Baca Juga: Selain Beras, Pemerintah juga akan Impor Setengah Juta Ton Jagung untuk Pakan Ternak

Selain itu, DJBC juga melihat impor barang sepeda dan jam tangan juga meningkat, sejalan dengan tren gaya hidup di kalangan masyarakat yang cenderung gemar bersepeda dan membeli jam tangan.

Sementara terkait besi dan baja, pemerintah memutuskan untuk mengenakan tarif MFN kepada komoditas tersebut sebagai bentuk antisipasi adanya pergeseran importir dari kargo umum ke barang kiriman.

Dalam ketentuan sebelumnya, yakni PMK Nomor 199 Tahun 2019, pemerintah telah menetapkan pengenaan tarif MFN terhadap empat komoditas, yaitu tekstil dan produk tekstil dengan tarif 15 persen hingga 25 persen, alas kaki atau sepatu 25 persen hingga 30 persen, tas 15 persen hingga 20 persen, serta buku 0 persen.

“Untuk diketahui, barang kiriman itu kena tarif flat sebesar 7,5 persen, sehingga dengan PMK 96 nanti, ada delapan komoditas yang dikenakan tarif MFN,” jelas Donny.

PMK 96/2023 disebut sebagai salah satu bentuk upaya untuk melindungi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Baca Juga: Kereta Cepat Bakal Sampai Surabaya, Pengamat: Lebih Baik Perbaiki Infrastruktur yang Sudah Ada

Salah satu ketentuan yang diatur dalam PMK tersebut adalah mengenai kewajiban kemitraan antara Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) dengan DJBC.

Dalam konteks itu, PPMSE yang dimaksud adalah yang melakukan transaksi impor barang kiriman dengan jumlah lebih dari 1.000 kiriman dalam periode satu tahun kalender.

Sementara PPMSE yang bertransaksi di bawah jumlah tersebut dikecualikan dari kewajiban kemitraan.

Adapun bentuk kemitraan yang dimaksud adalah pertukaran data katalog elektronik (e-catalog) dan invoice elektronik (e-invoice) atas barang kiriman yang transaksinya dilakukan melalui PMSE. Pertukaran tersebut dilakukan melalui SKP.

“Dengan ini diharapkan DJB bisa mengetahui harga sebenarnya dari barang kiriman tersebut,” ujar Donny.


 



Sumber : Antara, Kompas.tv


BERITA LAINNYA



Close Ads x