Kompas TV nasional peristiwa

Sejarah Konflik Keraton Solo: Sejak 2004, Pernah Damai saat Jokowi jadi Walikota

Kompas.tv - 25 Desember 2022, 05:31 WIB
sejarah-konflik-keraton-solo-sejak-2004-pernah-damai-saat-jokowi-jadi-walikota
Suasana di Kori Kamandungan usai kericuhan geger Keraton Solo atau Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Solo, Jumat (23/12/2022). (Sumber: Tribun Solo/Ahmad Syarifudin)
Penulis : Nadia Intan Fajarlie | Editor : Gading Persada

SOLO, KOMPAS.TV - Peristiwa geger Keraton Solo pada Jumat (23/12/2022) malam menambah deretan panjang konflik antara dua kubu yang telah berlangsung sejak 18 tahun silam.

Perebutan tahta Keraton Solo yang menimbulkan konflik internal terjadi setelah wafatnya Raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat bergelar Pakubuwono XII atau PB XII pada 12 Juni 2004.

Pakubuwono XII tidak memiliki permaisuri, melainkan sejumlah selir. Ia juga tak menunjuk satu pun anaknya sebagai pewaris tahta Kasunanan Solo. Konflik pun tak terhindarkan di antara anak-anaknya yang berbeda ibu itu.

Sejarah konflik Keraton Solo diawali oleh pendeklarasian dua pangeran sebagai raja pada tahun yang sama dengan meninggalnya PB XII.

Putra tertua dari selir ketiga PB XII, Sinuhun Hangabehi, mendeklarasikan diri sebagai raja pada 31 Agustus 2004. Ia bertahta di dalam keraton dengan dukungan utama dari saudara satu ibunya, termasuk Gusti Moeng.

Baca Juga: Geger Keraton Solo, Kubu Gusti Moeng Ngaku Diusir dari Istana dan Bakal Lapor Polisi: Kita Abdi

Sedangkan putra dari selir lain, Sinuhun Tedjowulan, juga mendeklarasikan diri sebagai raja pada 9 November 2004.

Ia bertahta di luar keraton dengan dukungan dari saudara-saudaranya yang menilai dirinya lebih mampu menjadi pemimpin Kasunanan Solo.

Konflik Keraton Solo sempat teredam pada tahun 2012 ketika Hangabehi dan Tedjowulan sepakat berdamai dan menandatangani akta rekonsiliasi.

Saat itu, Wali Kota Solo Joko Widodo atau Jokowi dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Mooryati Sudibyo, berupaya mendamaikan dua kubu tersebut di Jakarta.


Dua kubu Keraton Solo itu pun menyepakati bahwa Hangabehi sebagai putra tertua dari PB XII tetap menjadi raja (PB XIII), sedangkan Tedjowulan menjadi Mahapatih dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Panembahan Agung.

Akan tetapi, Gusti Moeng dan saudara-saudaranya tidak menyepakati rekonsiliasi tersebut. Mereka pun mendirikan Lembaga Dewan Adat (LDA) yang menyewa pendekar untuk menyandera PB XIII dan Mahapatih. 

Pihak LDA juga melakukan kudeta terhadap PB XIII yang dijabat oleh Hangabehi karena menilai raja baru itu melakukan sejumlah pelanggaran.



Sumber : Kompas TV/Tribun Jateng/Bayu Dardias UGM


BERITA LAINNYA



Close Ads x