Kompas TV internasional kompas dunia

Kebijakan "Zero COVID" di China Picu Kemarahan Publik Terbesar Selama Pemerintahan Xi Jinping

Kompas.tv - 29 November 2022, 07:06 WIB
kebijakan-zero-covid-di-china-picu-kemarahan-publik-terbesar-selama-pemerintahan-xi-jinping
Kepolisian China menangkap seorang pengunjuk rasa di Shanghai, China, Minggu (27/11/2022). Kebijakan zero COVID di China yang membuat warga kesulitan telah memicu gelombang protes terbesar selama kepemimpinan Presiden Xi Jinping. (Sumber: The Associated Press.)
Penulis : Tussie Ayu | Editor : Iman Firdaus

SHANGHAI, KOMPAS.TV - Hampir sebulan setelah memberikan dirinya kekuatan baru sebagai pemimpin seumur hidup potensial di China, Xi Jinping menghadapi gelombang kemarahan publik yang belum pernah terjadi selama beberapa dekade terakhir. Kemarahan publik ini dipicu oleh kebijakan "zero COVID".

Demonstran turun ke jalan selama akhir pekan terlihat di Shanghai dan Beijing untuk mengkritik kebijakan tersebut. Para demonstran berhadapan dengan polisi, bahkan menyerukan Xi untuk mundur.

Pada hari Senin (28/11/2022), para demonstran berkumpul di Hong Kong yang merupakan pemerintahan semi-otonom.

Sebelumnya, gerakan pro-demokrasi Hong Kong pernah melakukan aksi demonstrasi selama berbulan-bulan yang dimulai pada tahun 2019. Namun berhasil dipadamkan lewat kekuatan militer. 

Mahasiswa di Chinese University of Hong Kong meneriakkan “lawan kediktatoran” dan “Kebebasan! Kebebasan!" 

Namun demonstrasi kali ini yang meluas,  belum pernah terjadi sebelumnya sejak tentara menghancurkan gerakan pro-demokrasi yang dipimpin mahasiswa tahun 1989 yang berpusat di Lapangan Tiananmen Beijing.

Sebagian besar pengunjuk rasa memusatkan kemarahan mereka pada pembatasan yang dapat mengurung keluarga di rumah mereka selama berbulan-bulan dan telah dikritik sebagai tidak ilmiah dan tidak efektif. Beberapa mengeluh sistem gagal untuk menanggapi kebutuhan mereka.

Baca Juga: Pemerintah China Longgarkan Pembatasan Ketat Covid-19 Usai Protes Rakyat yang Meluas

Teriakan pengunduran diri Xi dan berakhirnya Partai Komunis yang telah memerintah China selama 73 tahun terus digemakan para demonstran. Padahal, teriakan mundur kepada pemimpin China dan mengeritik partai berkuasa  dapat dianggap sebagai hasutan, yang dapat dihukum penjara.

Sebagai tanggapan, polisi di Shanghai menggunakan semprotan merica untuk mengusir para demonstran, dan puluhan orang ditahan dalam penyisiran polisi dan dibawa pergi dengan mobil polisi dan bus.

Aparat keamanan China terkenal karena mengidentifikasi orang-orang yang dianggap pembuat onar dan kemudian akan menjemput para aktivis jika keadaan sudah sepi. 

Langkah-langkah ketat China pada awalnya diterima untuk meminimalkan kematian, sementara negara-negara lain mengalami gelombang virus COVID yang mematikan. Tetapi konsensus itu mulai goyah dalam beberapa pekan terakhir.

Sementara partai yang berkuasa mengatakan tindakan anti-coronavirus harus "ditargetkan dan tepat" dan menyebabkan gangguan sekecil mungkin pada kehidupan warga, pejabat lokal terancam kehilangan pekerjaan atau hukuman lain jika wabah terjadi. 

Mereka menanggapi dengan memberlakukan karantina dan pembatasan lain yang menurut pengunjuk rasa melebihi apa yang diatur oleh pemerintah pusat.

Pemerintah Xi tampaknya tidak terlalu peduli dengan kesulitan yang ditimbulkan oleh kebijakan tersebut. Musim semi ini, jutaan penduduk Shanghai harus mengalami lockdown ketat yang mengakibatkan kekurangan makanan, membatasi akses ke perawatan medis, dan kesulitan ekonomi. 

Baca Juga: Pembatasan Ketat Covid-19 China Memaksa Petani Menghancurkan Hasil Panen karena Tidak Bisa Diantar

Tapi protes akhir pekan ini melibatkan banyak anggota kelas menengah perkotaan terpelajar dari mayoritas etnis Han. Partai yang berkuasa mengandalkan kelompok itu untuk mematuhi perjanjian pasca-Tiananmen secara tidak tertulis untuk menerima pemerintahan otokratis dengan imbalan kualitas hidup yang lebih baik.

Sekarang, pengaturan lama tampaknya telah berakhir karena partai memaksakan kendali dengan mengorbankan ekonomi, kata Hung Ho-fung dari Universitas Johns Hopkins.

“Partai dan rakyat berusaha mencari keseimbangan baru,” ujarnya. "Akan ada beberapa ketidakstabilan dalam prosesnya," ujar Hung seperti dikutip dari The Associated Press.
 



Sumber : The Associated Press


BERITA LAINNYA



Close Ads x