> >

Periode Januari hingga September 2021 DBD di Jateng Capai 2.170 Kasus, 56 Meninggal

Kesehatan | 23 November 2021, 01:05 WIB
Nyamuk Aedes Aegypti. Jumlah kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Jawa Tengah pada periode Januari hingga September 2021 sebanyak 2.170 kasus, dengan jumlah kematian 56 orang. (Sumber: Getty Images/iStockphoto)

SEMARANG, KOMPAS.TV – Jumlah kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Jawa Tengah pada periode Januari hingga September 2021 sebanyak 2.170 kasus, dengan jumlah kematian 56 orang.

Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Dinas Kesehatan Jateng Irma Makiah mengatakan, berdasarkan data dari Buku Saku Dinkes Provinsi Jateng, kasus DBD di Jateng relatif menurun dibanding 2020.

Dilansir laman resmi Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jateng, pihak Dinas Kesehatan Jateng telah berkoordinasi dengan dinas kesehatan di 35 kabupaten/kota terkait hal itu.

Menurutnya, pelaksanaan koordinasi tersebut sebagai upaya untuk memantapkan strategi pengendalian penyakit, terutama penyakit menular vektor dan zoonosis (penyakit yang dibawa oleh hewan).

Baca Juga: Cegah Jentik Nyamuk Demam Berdarah, Ribuan Ikan Cupang Dibagikan

Walaupun selama hampir dua tahun terakhir angka penyakit itu turun, kewaspadaan tetap menjadi hal penting.

Sebab, penyakit ini termasuk yang rentan terjadi saat pancaroba seperti saat ini.

“Kesiapsiagaan dari logistik baik dari provinsi maupun dari kabupaten atau kota. Kemudian pemberdayaan masyarakat untuk ikut menanggulangi vektor nyamuk atau tikus,” jelasnya.

Selain itu, kader juru pemantau jentik (Jumantik) juga dikerahkan, termasuk di tingkat sekolah, karena PTM sudah mulai berjalan.

“Itu perlu koordinasi lintas sektor,” ucapnya.

Masyarakat juga diminta mewaspadai penyakit demam berdarah. Untuk mencegah penyakit itu, warga disarankan melakukan pola hidup sehat dan melakukan aktivitas 3 M (menguras, menutup tampungan air, dan mengubur barang yang berpotensi menampung air).

Selanjutnya, jika ada warga yang menemukan gejala demam dengue, seperti demam, mual, pusing, nyeri perut, Irma meminta warga segera memeriksakan diri ke Puskesmas terdekat.

Sedangkan mengenai adanya pihak yang menyelenggarakan fogging atau pengasapan mandiri, dia mengimbau warga untuk tetap berkoordinasi dengan Puskesmas setempat.

“Karena, fogging itu ada aturannya. Hubungi Puskesmas, tanyakan apakah fogging itu sudah berizin,” sebutnya.

Baca Juga: Waspada! Kota Tangerang Catat Peningkatan Kasus Demam Berdarah Sejak Agustus-Oktober 2021

Selain mewaspadai DBD, Irma juga meminta warga mewaspadai penyakit Leptospirosis. Menurutnya, hingga September sudah ada 184 kasus, dengan jumlah kematian mencapai 35 kasus.

Sebanyak 21 kabupaten dan kota di Jawa Tengah telah melaporkan adanya kasus ini.

Kata Irma, masa inkubasi penyakit itu cukup singkat. Dalam waktu 7-10 hari setelah terpapar, penyakit bisa mengalami perburukan jika tidak diobati.

Oleh karenanya, warga disarankan segera melapor ke Puskesmas jika ada kasus terjadi di lingkungan tinggal.

Dikatakannya, Leptospirosis rentan menular melalui genangan air, banjir, daerah dengan populasi tikus tinggi, kebun dan pertanian.

“Leptospirosis ini terjadi jika orang kontak dengan cairan, atau kotoran dari hewan pembawa bakteri Leptospira salah satunya tikus. Kalau terkena mukosa atau luka bisa tertular."

"Gejalanya itu demam, mata merah, ikterik (warna kuning pada kulit). Jika terlambat penanganan bisa terjadi gagal ginjal, dan menyebabkan kematian,” tutur Irma.

Untuk pencegahannya, Irma menyebut dengan menjaga kebersihan lingkungan dan pengelolaan faktor risiko leptospirosis.

 

Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas TV


TERBARU