> >

Stafsus Presiden Tanggapi Gelombang Kritik Guru Besar dan Kampus: Representasinya Kecil

Politik | 8 Februari 2024, 22:26 WIB
Staf khusus presiden, Billy Mambrasar, dalam dialog Sapa Indonesia Malam, Kompas TV, Kamis (8/2/2024). (Sumber: Tangkapan layar Kompas TV)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Staf khusus (stafsus) presiden, Billy Mambrasar, berpendapat aksi yang dilakukan kampus-kampus dan guru-guru besar yang menyuarakan keprihatinan dan kritik terhadap situasi demokrasi di Indonesia saat ini, tidak mewakili keseluruhan karena jumlahnya sedikit.

Dalam dialog Sapa Indonesia Malam Kompas TV, Kamis (8/2/2024), Billy menjawab pertanyaan tentang apakah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendengarkan suara para akademisi tersebut.

Ia mengatakan Jokowi memberi kebebasan kepada siapa pun untuk bersuara dan berekspresi.

“Kalau ditanya apakah presiden mendengar, presiden mendengar. Ada tim khusus yang kemudian melakukan telaah untuk melakukan respons tentunya mengikuti sistem kenegaraan yang ada,” kata Billy.

Ia menyebut per hari ini, sudah ada 30 kelompok yang mengatasnamakan kampus dan melakukan aksi atau membuat petisi.

Billy mengatakan dari sekitar 450 guru besar di Universitas Gadjah Mada (UGM), hanya sebagian kecil yang melakukan aksi.

Baca Juga: BEM SI Ungkap Alasan Kritik Tindakan Jokowi Terkait Pemilu 2024

”Kenapa saya bilang mengatasnamakan kampus? Karena misalnya untuk UGM sendiri dari 450 guru besar, ada sekitar sekianlah yang jauh dari angka 450 guru besar yang kemudian melakukan ekspresinya.”

“Jadi, saya tidak bilang partisan tapi representasi kecil dari yang melakukan ekspresinya tersebut. Itu kalau untuk UGM saja, dari 450 guru besar ada sekian, kecil sekali guru besar dari jumlah keseluruhan yang tidak semua melakukan ekspresi yang sama,” bebernya.

Kemudian, lanjut Billy, dari sekitar 4.550 kampus di Indonesia, hanya ada sekitar 30 kampus yang menyuarakan kritik.

“Artinya juga kecil representasinya. Tapi bukan berarti presiden kemudian tidak merespons. Presiden mendengar dan melakukan telaah yang mendalam.”

Billy menyatakan saat ini indeks demokrasi Indonesia mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 2013 saat awal Jokowi memerintah.

“Kalau kita lihat di 2013, pertama kali presiden memerintah itu peringkat Indonesia di 54 dengan skor di bawah rata-rata dunia.”

“Saat ini, itu sebenarnya indeks demokrasi Indonesia naik ke 52 dengan skor yang juga meningkat menjadi 6,7 dari 10.”

Ia juga mempertanyakan mengapa kinerja positif Jokowi yang mendapatkan apresiasi dari Forum Rektorat se-Indonesia pada 14 Januari 2023 tidak diberitakan besar-besaran oleh media.

“Kemudian ketika representasi kecil yang melakukan ekspresi seperti saat ini, kemudian di-blow up, dengan jarak deklarasi yang cuma sehari, dua hari dari tiap kampus. Tentu kita bisa berasumsi dong kalau ada kepentingan dan manuver politik di dalamnya.”

Baca Juga: Kampanye di Banyuwangi, Megawati Ingatkan Pilih Pemimpin Jangan Cuma Ganteng, tapi Punya Etika Moral

“Tentu kita bisa berasumsi seperti itu, karena 30 kampus yang tidak merepresentasikan seluruh guru besar, tidak merepresentasikan 4.550 kampus seluruh Indonesia, yang jarak deklarasinya itu sedikit demi sedikit, yang kemudian tadi ada pimpinan partai di salah satu kelompoknya,” beber Billy.

 

Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Kompas TV


TERBARU