> >

Perumus Naskah Akademik Ungkap Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan di RUU Perampasan Aset

Hukum | 16 Mei 2023, 06:57 WIB
Draf Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana atau RUU Perampasan Aset yang terus didorong pemerintah untuk disahkan oleh DPR menjadi UU. (Sumber: KOMPAS TV)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Pengelolaan aset dalam Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU Perampasan Aset) menjadi perhatian lantaran berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan. 

Dalam draf RUU Perampasan Aset yang didapat KOMPAS TV, di Pasal 50 dijelaskan pengelolaan aset dilaksanakan oleh Jaksa Agung berdasarkan asas profesional, kepastian hukum, keterbukaan, efisiensi dan akuntabilitas. 

Di draf juga tertera catatan bahwa pengelolaan aset oleh Jaksa Agung sudah dilaporkan ke Kemenkopolhukam karena pelaksanaan pengelolaan aset di Jaksa Agung diatur dalam Pasal 51 draf RUU Perampasan Aset.

Dalam Pasal 51 ayat (2) dijelaskan tugas pengelolaan aset meliputi, penyimpanan aset tindak pidana, pengamanan, pemeliharaan, pemindahtanganan, penggunaan, pemanfaatan hingga pengembalian aset tindak pidana. 

Baca Juga: Aset Doni Salmanan yang Disita Negara Tidak Dikembalikan ke Korban Quotex tapi Dilelang

Perumus naskah akademik RUU Perampasan Aset, Yunus Husein menjelaskan sedari awal memang terjadi "kompetisi" instansi mana yang akan melakukan pengelolaan aset hasil tindak pidana. 

Diketahui Kementerian Keuangan punya Ditjen Kekayaan Negara yang berminat untuk mengelola, di Kementerian Hukum dan Ham memiliki satuan kerja Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, (Rupbasan) sebagai pengelolaan benda sitaan negara dan barang rampasan negara.

Kemudian di Kejaksaan Agung punya satuan kerja Pusat Pemulihan Aset.

Bahkan di awal perumusan naskah RUU Perampasan Aset diusulkan adanya lembaga baru sebagai pengelola aset dari tindak pidana hingga akhirnya dalam draf mengarah ke Kejaksaan. 

Baca Juga: Menunggu RUU Perampasan Aset Dibahas DPR, ‘Now or Never?’ - OPINI BUDIMAN

Menurut Yunus jika nantinya proses penglelolaan aset hasil tindak pindana dipengang oleh Kejaksaan Agung tentu perlu pengawasan. Sebab berpotensi terjadi penyalahgunaan kekuasaan.

"Kalau dari awal sampai akhir dia (Kejaksaan) yang mengurus itu secara pemerintahan kurang bagus, tetapi kita sudah masukkan beberapa pengamanan supaya penyalahgunaan kekuasaan jadi berkurang," ujar Yunus saat wawancara eksklusif di program Ni Luh KOMPAS TV, Senin (15/5/2023).

Yunus menambahkan salah satu pengamanan untuk menjaga tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan yakni meminta seluruh proses penyitaan, pemanfaatan hingga pengembalian aset tindak pidana dimasukkan dalam satu pangkalan data secara daring yang bisa diakses oleh instansi lain. 

Semisal dari Kemenkeu Ditjen Kekayaan Negara dan Rupbasan Kemenkumham serta aparatur penegak hukum lainnya seperti KPK dan Kepolisian.

Baca Juga: Wamenkumham: RUU Perampasan Aset Bisa Sita Aset Pelaku Kejahatan di Luar Negeri

Menurutnya hal ini harus dimasukkan di dalam draf RUU Perampasan Aset agar kontrol dari pegelolaan aset yang sudah dirampas negara bisa diketahui secara transparan. 

"Jadi satu pangkalan data ini bisa diakses instansi lain, bisa mengetahui barang ini statusnya ada di mana, sudah dieksekusi atau belum, sudah di jual atau belum. Kalau sekarang tidak ada yang mengetahui Kepolisian pegang apa, Kejaksaan pegang apa enggak tahu," ujar Yunus. 

"Ini bukan hanya dimasukkan tapi harus dilaksanakan, kalau tidak enggak ada kontrol," ujarnya. 

Mekanisme Perampasan Aset

Lebih lanjut Yunus menjelaskan dalam RUU Perampasan Aset ini memungkinkan untuk menyita aset tersangka atau terdakwa yang melarikan diri, meninggal dunia hingga tersangka berada di luar negeri sehingga tidak dapat dieksekusi. 

Baca Juga: Jokowi Ungkap Ada Peluang Korupsi di Ribuan Proyek Pemerintah: Padahal Setiap Hari Dicek

Jika dari hasil penyelidikan dan penyidikan, kemudian dilakukan penelusuran dan ditemukan aset pelaku dari tindak kejahatan maka dalam proses di pengadilan jaksa penuntut umum bisa mengajukan kepada majelis hakim untuk mengeksekusi aset pelaku kejahatan. 

"Ini salah satu alasan untuk mengajukan permohonan menyita aset tanpa menghukum pelakunya," ujar Yunus. 

Yunus menambahkan pendekatan RUU Perampasan Aset ini tidak lagi dilakukan secara konvensional. Sebelumnya tersangka atau terdakwa divonis bersalah dan memiliki kekuatan hukum tetap, baru aset milik terpidana bisa dieksekusi. 

Dengan adanya RUU Perampasan Aset, jika bisa dibuktikan aset pelaku hasil kejahatan tanpa proses hukum aset dapat dirampas negara. 

 

"Jadi pendekatannya administrasi seperti ini. Jika di pengadilan tidak terbukti aset yang disita harus dikembalikan," ujarnya.

"Kalau sistem di Belanda simpel semua barang-barang sitaan dijual dengan harga saat barang disita, uangnya disimpan kalau putus dikembalikan dalam bentuk uang hasil penjualan tadi. Jadi harus dikembalikan kalau tidak bersalah," kata Yunus. 

Sebelumnya Presiden Joko Widodo telah mengirimkan surat presiden (surpres) terkait pembahasan RUU Perampasan Aset berikut naskah RUU kepada pimpinan DPR pada 4 Mei 2023. 

Dalam surpres tersebut, Presiden Jokowi memberi tugas kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kapolri Listyo Sigit Prabowo sebagai wakil pemerintah membahas RUU tersebut di DPR. 

Draf RUU Perampasan Aset yang disampaikan pemerintah kepada DPR terdiri dari 7 bab dan 68 pasal.
 

Penulis : Johannes Mangihot Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Kompas TV


TERBARU