> >

Pamer Harta di Medsos, Pejabat Publik Bisa Diintai Penegak Hukum dengan Metode Ini

Hukum | 17 Maret 2023, 17:44 WIB
Ilustrasi pamer harta pejabat. Pejabat publik maupun keluarganya yang memamerkan kekayaan di media sosial bisa diintai penegak hukum dengan metode open-source, Jumat (17/3). (Sumber: iStock via Kompas.com)

"Kalau tidak tercatat dalam transaksi keuangan, berarti kemungkinan transaksi tunai," ungkapnya.

Baca Juga: Hedone, Sang Dewi Kenikmatan dan Kegembiraan yang Kini Dikaitkan Gaya Hidup Mewah Pejabat

Ia menyebut, pelaku pemberi suap kepada pejabat atau pihak berwenang biasanya memberikan barang berharga yang nilainya sangat tinggi. Ia mencontohkan, pemberi suap bisa saja memberikan jam tangan mewah seharga miliaran rupiah.

Zaenal menilai, perilaku hidup hedonis pejabat negara melanggar kode etik aparatur sipil negara (ASN). Selain itu, secara teori, gaya hidup hedonis juga merupakan salah satu faktor pendorong tindak pidana korupsi.

"Orang bergaya hidup mewah berpotensi menerima suap atau tindak pidana korupsi lebih tinggi daripada lainnya," terangnya.

Salah satu faktor risiko fraud atau penyimpangan keuangan, lanjut dia, ialah orang-orang yang memiliki pengeluaran besar lebih dari pendapatannya.

"Sehingga mereka harus punya penghasilan dari sumber-sumber lain selain penghasilan sah," tegasnya.

Peraturan di Indonesia yang mengatur tentang kejahatan ini, kata dia, ialah Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

"Peraturan hukum Indonesia belum secara lengkap mengatur terkait deteksi kemungkinan pelanggaran hukum, yang kita punya saat ini adalah UU TPPU Nomor 8 Tahun 2010," ujarnya.

Baca Juga: Viral Diduga Istri Jenderal Polisi Bergaya Hidup Mewah, Polri Ingatkan Tak Hedon hingga Ancam Sanksi

UU tersebut mengharuskan aparat penegak hukum untuk memiliki alat bukti predicate crime atau tindak pidana asal.

Menurut Zaenal, selama ini sudah ada indikasi pejabat-pejabat negara yang bergaya hidup mewah dan tak sesuai dengan penghasilannya, namun tidak pernah diproses lebih lanjut oleh aparat penegak hukum, maupun pengawas internal lembaga terkait.

"Selama ini ada indikasi-indikasi pejabat hidup mewah, tidak sesuai penghasilan sahnya tapi tidak pernah ditindaklanjuti," jelasnya.

Padahal, secara teori dan peraturan, aparat penegak hukum dapat melakukan tindakan lebih lanjut dari indikasi-indikasi hedonisme tersebut.

"Secara praktik, sangat jarang aparat penegak hukum masuk menyelidiki perkara itu hanya dari gaya hidup yang mewah seorang pejabat negara," pungkasnya.

Penulis : Nadia Intan Fajarlie Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Kompas TV


TERBARU