> >

Kasus Brotoseno Tak Hanya Mencoreng Polri, tetapi Juga Wajah Penegakan Hukum

Politik | 3 Juni 2022, 06:20 WIB
Mantan penyidik Polri AKPB Raden Brotoseno dikabarkan kembali aktif di kepolisian meski terbukti pernah dipidana kasus suap. (Sumber: Tribun Surabaya)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar meminta Polri tegas dalam menegakkan hukum.

Menurutnya, Polri harus mampu menciptakan penegakan hukum yang tidak hanya untuk eksternal, tapi juga bagi lingkungan internal.

Hal ini menyoroti polemik AKBP Raden Brotoseno yang masih menjadi anggota Polri, meski berstatus mantan terpidana kasus suap penanganan perkara di Bareskrim Polri.

Baca Juga: Polri: Raden Brotoseno Bukan Penyidik, Tapi Staf di Divisi TIK Polri

"Saya kira ini harus menjadi perhatian ketika menerapkan atau menegakkan hukum tidak hanya eksternal tetapi juga pada kalangan internalnya," ujar Abdul kepada KOMPAS TV, Kamis (2/6/2022).

Abdul Fickar menyatakan sikap tegas dalam penegakan hukum itu untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap Polri.

Ia menilai jika Polri tidak memberhentikan dengan tidak hormat Brotoseno, maka tidak hanya Polri yang tercoreng, wajah penegak hukum di negara ini juga ikut tercoreng.

Baca Juga: Brotoseno Dibolehkan Aktif Lagi oleh Polri, Pinangki "Dipecat" Kejaksaan Agung

"Satu dan lain hal untuk menjaga citra kepolisian sebagai penegak hukum, sebagai pelayan masyarakat dan penjaga keamanan dan ketertiban dalam negeri," ujarnya.

Aturan yang Tak Tegas

Di sisi lain, Abdul Fickar juga mengkritisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Menurutnya aturan yang tidak ambigu dalam PP tersebut membuat polemik Brotoseno mencuat.

Baca Juga: ICW Desak Propam Polri Ungkap Sosok Identitas Atasan yang Rekomendasikan Brotoseno Tak Dipecat

Dalam Pasal 11 PP Nomor 1/2003 disebutkan, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberhentikan tidak dengan hormat apabila melakukan tindak pidana, melakukan pelanggaran, meninggalkan tugas atau hal lain.

Sedangkan Pasal 12 PP Nomor 1/2003 berbunyi:

(1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia diberhentikan tidak dengan hormat dari dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia apabila:

a. dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan menurut pertimbangan pejabat yang berwenang tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia;

Baca Juga: ICW Sebut Kasus AKBP Raden Brotoseno Tanda Komitmen Antikorupsi Kapolri Sekadar Janji Manis

b. diketahui kemudian memberikan keterangan palsu dan/atau tidak benar pada saat mendaftarkan diri sebagai calon anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;

c. melakukan usaha atau kegiatan yang nyata-nyata bertujuan mengubah Pancasila, terlibat dalam gerakan, atau melakukan kegiatan yang menentang negara dan/atau Pemerintah Republik Indonesia secara tidak sah.

(2) Pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah melalui sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Menurutnya ketentuan pemberhentian anggota Polri dibaca sebagai satu kesatuan.

Yakni seorang polisi bisa diberhentikan dengan tidak hormat dengan pertimbangan telah dijatuhi pidana. 

Baca Juga: Pimpinan Komisi III DPR: AKBP Brotoseno Itu Pencuri, Prestasinya Apa?

Namun institusi Kepolisian justru menafsirkannya dengan parsial, sehingga menimbulkan tafsir yang berbeda.

Ia menyarankan agar ketentuan tersebut diubah atau dilakukan uji materi (judicial review) di Mahkamah Konstitusi (MK).

Tujuannya agar kasus serupa tidak terjadi lagi dikemudian hari.

"Tafsirnya menjadi bisa diberhentikan tetapi karena ada pertimbangan pejabat yang berwenang tidak diberhentikan karena alasan subjektif. Inilah pangkal masalahnya," ujar Abdul, dikutip dari Kompas.com.

 

Penulis : Johannes Mangihot Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas TV


TERBARU