> >

Ribuan Pelaku Korupsi Dipidana tapi Kerugian Negara Meningkat, Jaksa Agung: Kita Renungkan Bersama

Hukum | 26 Januari 2022, 21:09 WIB
Jaksa Agung menyebut ribuan pelaku korupsi telah dipidana, tetapi kualitas dan tingkat kerugian negara semakin meningkat. (Sumber: Antara/Putu Indah Savitri)

JAKARTA, KOMPAS.TV – Ribuan pelaku korupsi telah dipidana, tetapi kualitas dan tingkat kerugian negara semakin meningkat.

Pernyataan itu disampaikan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia Sanitiar Burhanuddin ketika memberi paparan dalam kuliah umum bertajuk “Efektivitas Penanganan Hukum dan Ekonomi dalam Kasus Mega Korupsi: Studi Kasus Jiwasraya” yang disiarkan di kanal YouTube Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Rabu (26/1/2022).

Burhanuddin juga mengatakan bahwa menghukum mati para koruptor merupakan bentuk manifestasi maksimal dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia yang menyerupai fenomena gunung es.

“Korupsi di Indonesia adalah fenomena gunung es, di mana ribuan perkara sudah diungkap dan ribuan pelaku korupsi telah dipidana. Akan tetapi, justru kualitas dan tingkat kerugian negara semakin meningkat,” kata Burhanuddin, seperti dikutip Antara.

Baca Juga: Kasus Korupsi Garuda Indonesia Naik ke Tahap Penyidikan, Jaksa Agung: Kita akan Tuntaskan

Menurutnya, berbagai sanksi pidana yang telah dijatuhkan kepada para koruptor, hanya menimbulkan efek jera kepada para terpidana saja.  Namun, efek jera itu belum sampai ke masyarakat umum.

Hal ini, kata dia, dapat dilihat dari munculnya bibit-bibit koruptor baru yang justru silih berganti dan tumbuh di mana-mana.

“Perlu kita renungkan bersama-sama, ternyata dengan pola sanksi pidana yang telah dikenakan kepada para koruptor hanya menimbulkan efek jera pada para terpidana,” tegasnya.

Berdasarkan hal itu, aparat penegak hukum maupun pembentuk undang-undang harus memikirkan efek jera yang dapat menjadi peringatan paling efektif bagi masyarakat untuk tidak melakukan korupsi.

Penerapan hukuman mati disebutnya merupakan salah satu instrumen yang dapat menjadi pertimbangan.

Pada dasarnya, tutur Burhanuddin, kejaksaan menyampaikan pesan yang keras kepada setiap orang yang berpotensi untuk melakukan kejahatan korupsi agar segera mengurungkan niatnya.

“Kami tetap berkomitmen dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang bersifat serious crime, harus dilakukan dengan cara extraordinary sehingga keadilan dapat ditegakkan secara terukur, efektif, terutama dalam penanganan kasus korupsi dengan skala mega korupsi,” kata dia.

Dalam kegiatan tersebut, dia juga berpendapat bahwa para pembentuk undang-undang dan aparat penegak hukum perlu mengkaji ulang frasa "pengulangan tindak pidana".

Khususnya terkait Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 menyatakan bahwa salah satu keadaan tertentu yang dapat menjadi pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi adalah apabila pelaku melakukan pengulangan tindak pidana korupsi.

Baca Juga: Terdakwa Korupsi ASABRI Dapat Vonis Nihil, Jaksa Agung: Tidak Ada Kata Lain Selain Banding!

"Ini merupakan suatu ikhtiar kami. Ikhtiar kejaksaan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi melalui perluasan secara progresif pengertian pengulangan tindak pidana di dalam hukum pidana," kata Burhanuddin.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), seseorang dapat dikategorikan melakukan pengulangan tindak pidana jika kembali melakukan perbuatan pidana setelah menjalani hukuman pidana yang diputuskan hakim.

"Itu adalah residivis di dalam KUHP. Akan tetapi, yang berkembang saat ini adalah bagaimana terhadap kasus korupsi yang baru terungkap saat yang bersangkutan telah berstatus terpidana?” kata dia.

Ia mencontohkan kasus Jiwasraya dan Asabri yang melibatkan Heru Hidayat.

Majelis hakim telah menyatakan Heru Hidayat bersalah dan menjalani hukuman penjara seumur hidup akibat kasus Jiwasraya.

Namun, ketika kasus Asabri terungkap, Heru Hidayat kembali menjadi tokoh penting dalam kasus tersebut.

"Kejaksaan mengambil sebuah terobosan hukum di sini dengan menuntut terdakwa dengan tuntutan hukuman mati,” katanya.

Akan tetapi, majelis hakim menjatuhkan sanksi pidana pokok berupa vonis nihil. Padahal, tutur Burhanuddin melanjutkan, kerugian yang ditanggung oleh Negara akibat kasus Asabri mencapai Rp22 triliun.

Oleh karena itu, dia berpandangan bahwa pembahasan mengenai frasa "pengulangan tindak pidana" sangat penting.

Memperluas definisi dari frasa "pengulangan tindak pidana" dapat memungkinkan kejaksaan untuk menggunakan itu sebagai pemberatan pidana dan berujung pada penjatuhan hukuman mati.

Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Antara


TERBARU