> >

PKS Singgung Pernyataan Jokowi Soal Minta Izin Rakyat buat Pindah Ibu Kota Negara

Politik | 19 Januari 2022, 23:27 WIB
Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid (HNW) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (9/10/2019). (Sumber: KOMPAS.com/KRISTIAN ERDIANTO)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur masih menjadi polemik.

Walaupun DPR sudah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) menjadi Undang-Undang (UU).

Wakil Ketua Majelis Syura PKS, Hidayat Nur Wahid menilai penetapan RUU IKN menjadi UU sangat terburu-buru. 

Terlebih, masih banyak elemen masyarkat yang menolak adanya perpindahan Ibu Kota ke Kaltim itu.

Menurutnya, di Kaltim saja, lokasi dibangunnya IKN baru masyarakat membuat koalisi untuk menolak pengesahan UU IKN.

Baca Juga: Soal Pemindahan Ibu Kota Baru ke Kaltim, PKS Minta Ada Referendum

Koalisi masyarakat tersebut beranggotakan Walhi, LBH, Jaringan Advokasi Tambang.

Kemudian ada juga koalisi kaum muda Kaltim anti oligarki yang menolak UU IKN.

Selain itu, lanjut Hidayat, saat dirinya menemui konstituen di daerah pemilihan Jakarta II, banyak tokoh masyarakat yang menyampaikan keberatan atau tidak setuju perpindahan Ibu Kota ke Kaltim.

"Presiden Jokowi menyatakan secara resmi akan memohon izin kepara rakyat Indonesia memindahkan Ibu Kota. Sekarang apakah izin itu sudah diberikan, atau rakyat sudah ditanya apakah mereka sudah menjawab permohonan izin Jokowi tersebut," ujar Hidayat saat jadi narasumber di program Sapa Indonesia Malam KOMPAS TV secara langsung (live), Rabu (19/1/2021).

Wakil Ketua MPR ini menambahkan, masih ada penolakan dari masyarakat di Jakarta dan Kaltim.

Baca Juga: Jokowi Sebut Kemungkinan Istana dan Sejumlah Kementerian Akan Pindah ke IKN pada 2024

Waktu pengesahan UU IKN yang tergolong singkat juga berpotensi digugat ke Mahkamah Konstitusi.

Hidayat mengingatkan DPR punya pengalaman membuat UU secara singkat yang ujung-ujungnya dinyatakan oleh MK inkonstitusional bersyarat.

UU yang dimaksud adalah UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Hidayat menilai, 43 hari proses RUU IKN menjadi UU sangat tidak biasa.

Telebih saat masa reses DPR tetap membahas RUU tersebut.

Bahkan di hari terakhir DPR harus maraton sampai 16 jam agar RUU IKN bisa diketok pada 18 Januari 2022 saat rapat paripurna. 

Baca Juga: PKS: Ada Banyak Kelompok Masyarakat yang Tolak Pemindahan Ibu Kota Negara

"Padahal sudah diingatkan jangan terlalu terburu-buru, karena (IKN) ini masalah serius dan ada pengalaman yang tidak baik terkait dengan UU Cipta Kerja," ujar Hidayat.

Penulis : Johannes Mangihot Editor : Deni-Muliya

Sumber : Kompas TV


TERBARU