> >

Komnas Perempuan Kutuk Penggunaan UU PKDRT di Kasus Istri Dituntut karena Marahi Suami Mabuk

Hukum | 18 November 2021, 13:25 WIB
Ilustrasi pembungkaman terhadap perempuan korban KDRT. (Sumber: ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan angkat bicara terkait kasus Valencya (45), seorang ibu rumah tangga di Karawang, Jawa Barat, yang dituntut 1 tahun penjara karena memarahi suaminya yang sering pulang mabuk.

Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan, penggunaan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga UU PKDRT yang disangkakan kepada Valencya salah dan merupakan bentuk kriminalisasi terhadap perempuan korban KDRT.

Menurutnya, UU PKDRT sering digunakan para suami untuk melaporkan atau memperkarakan secara hukum istrinya yang awalnya merupakan korban KDRT.

"Komnas Perempuan berpendapat, penggunaan UU PKDRT untuk mengkriminaliasi perempuan korban KDRT merupakan kesalahan penerapan hukum. Meski tidak hanya melindungi perempuan, UU PKDRT mengenali kerentanan khas perempuan," kata Siti dalam siaran persnya, Kamis (18/11/2021).

Baca juga: Curhat Valencya: Biar Ibu-ibu se-Indonesia Tahu, Tidak Boleh Marah Kalau Suami Pulang Mabuk-mabukan

Seringkali, ujar dia, pelaporan terhadap perempuan korban KDRT dilakukan dengan menggunakan instrumen hukum lainnya.

"Aturan yang kerap dipakai mulai dari UU Perlindungan Anak, UU ITE, UU Pornografi, dan KUHP dengan tuduhan penelantaran keluarga, pemalsuan dokumen, pencemaran nama baik, pencurian dalam keluarga atau memasuki perkarangan rumah orang lain," ujarnya.

Menurut Siti, kriminalisasi terhadap perempuan korban KDRT dilakukan karena adanya upaya perempuan menggugat cerai untuk memutus mata rantai KDRT, mendapatkan haknya sebagai istri atau mantan istri, atau mendapatkan hak atas anaknya.

Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2021, kata dia, 36 persen dari 120 lembaga layanan menyampaikan terjadinya kriminalisasi terhadap perempuan korban KDRT.

"Dalam banyak kasus, laporan yang mengkriminalkan perempuan korban KDRT justru lebih cepat diproses daripada laporan KDRT dari pihak perempuan, dan kedua laporan tersebut kerap diperlakukan sebagai kasus yang terpisah," ujar Siti.

Penulis : Baitur Rohman Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Kompas TV


TERBARU