> >

Alasan Menaker Ida Fauziyah Tidak Naikkan UMP 2021

Politik | 30 Oktober 2020, 16:39 WIB
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) RI, Ida Fauziyah (Sumber: Humas Kemnaker)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah melalui Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor 11/HK04/X/2020 menetapkan tidak ada kenaikan upah minimum pada tahun 2021 mendatang.

Dalam surat edaran tersebut, Menaker menetapkan UMP 2021 sama dengan UMP 2020.

"Kami minta UMP 2021 sama dengan UMP 2020," ujar Ida, Jumat (30/10/2020), dikutip dari Kompas.com.

Adapun latar belakang ketiadaan kenaikan upah minimum tersebut adalah adanya pandemi Covid-19.

"Di surat edaran tersebut kami menyampaikan latar belakang kenapa surat edaran itu dikeluarkan. Tidak lain dan tidak bukan karena dilatarbelakangin dengan menurunnya kondisi perekonomian Indonesia serta ketenagakerjaan pada masa pandemi Covid-19," jelas Ida.

Selain itu, menurut Ida, UMP 2021 didasarkan pada kebutuhan hidup layak (KHL) para buruh/pekerja yang diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2020 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 tahun 2015.

Namun PP Nomor 78 tahun 2015 yang bersumber dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 itu tidak didesain untuk kondisi pandemi Covid-19 seperti ini.

Baca Juga: Upah Minimum Tahun 2021 Tidak Dinaikkan, Buruh: Pemerintah Tidak Adil

"Sebenarnya untuk upah minimum tahun 2021 itu menggunakan KHL sebagaimana ketentuan yang ada di PP 78 Tahun 2015. PP 78 2015 yang bersumber dari Undang-Undang 13/2003. Undang-undang ini didesain, peraturan pemerintah ini didesain dalam kondisi tidak memprediksi terjadi kondisi seperti adanya pandemi ini," jelas dia.

Oleh karena itu, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah mengeluarkan surat edaran yang ditujukan kepada para gubernur seluruh Indonesia untuk menetapkan upah minimum tahun 2021 sama dengan 2020.

Ida menegaskan yang menetapkan UMP di setiap daerah ialah para gubernur. Kemnaker hanya meminta agar kepala daerah menyesuaikan kondisi yang terjadi saat ini.

Namun begitu, kepala daerah juga diminta untuk melihat perekonomian di daerahnya masing-masing. "Saya kira dewan pengupahan daerah juga akan dilibatkan dalam merumuskan upah minimum provinsi," ujar dia.

Hingga saat ini 18 provinsi di Tanah Air telah menyepakati surat edaran tersebut.

Provinsi tersebut, yakni Jawa Barat, Banten, Bali, Aceh, Lampung, Bengkulu, Kepulauan Riau, dan Bangka Belitung.

Lalu Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Maluku Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Papua.

Tak Ikuti Surat Edaran, Ada Sanksi dari Kemnaker

Surat Edaran (SE) Nomor M/ll/HK.04/X/2020 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2021 Pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) ditujukan kepada gubernur seluruh provinsi.

Surat yang diterbitkan pada 26 Oktober 2020 oleh Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah itu sebagai instruksi bagi kepala daerah untuk memutuskan upah minimum.

Namun demikian, keputusan tetap ada di ranah para gubernur.

Baca Juga: KSPI Tak Setuju Keputusan Pemerintah Tidak Naikkan UMP 2021

Tetapi, jika para gubernur tidak mengikuti aturan dari surat edaran penetapan upah minimum tersebut bisa terancam kena sanksi.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menjadi salah satu landasan hukum penetapan upah, dalam Pasal 68 diatur sanksi tersebut.

Wakil Ketua Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) Adi Mahfudz pun membenarkan perihal sanksi itu.

Namun, keputusan sanksi ini menjadi keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

"Saya kira demikian, semua ada aturan dan mekanismenya di Kemendagri untuk kepala daerah. SE atau Surat Edaran itu sifatnya memberitahu hal kesesuaian dimaksud," ujarnya kepada Kompas.com, Kamis (29/10/2020).

Di Pasal 68 UU Nomor 23/2014 tertulis sanksi yang jelas untuk para kepala daerah.

"Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang tidak melaksanakan program strategis nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf f dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis oleh Menteri untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota," sebut undang-undang tersebut.

Selain sanksi administratif, terdapat juga sanksi pemberhentian apabila kepala daerah tidak mematuhi keputusan dari pemerintah pusat.

Namun, sebelum jabatan kepala daerah berhenti, ada peringatan tertulis yang dilayangkan oleh pemerintah pusat.

"Dalam hal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah disampaikan dua kali berturut-turut dan tetap tidak dilaksanakan, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara selama tiga bulan," sambungan isi beleid Pasal 68.

"Dalam hal kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah telah selesai menjalani pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap tidak melaksanakan program strategis nasional, yang bersangkutan diberhentikan sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah," isi dari pasal tersebut.

Baca Juga: Menkeu Sri Mulyani Jelaskan Alasan Upah Minimum Tidak Naik, Pengusaha Lega

Selain diatur di dalam UU No. 23/2014, mekanisme sanksi juga terdapat di dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

Pasalnya, penetapan upah minimum ini merupakan upaya pemerintah dalam menangani pemulihan ekonomi nasional (PEN).

Oleh sebab itu, dimasukanlah beleid mengenai program PEN sebagai landasan hukum penetapan upah minimum 2021.

Menaker memutuskan di dalam surat edaran tersebut bahwa upah minimum tahun depan tidak naik atau setara dengan upah tahun 2020.

"Mempertimbangkan kondisi perekonomian Indonesia pada masa pandemi Covid-19 dan perlunya pemulihan ekonomi nasional, diminta kepada Gubernur untuk melakukan penyesuaian penetapan nilai Upah Minimum Tahun 2021 sama dengan nilai Upah Minimum Tahun 2020," kata Ida dalam SE.

Penulis : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas TV


TERBARU