> >

Covid-19, "Xenophobia," dan Rasisme

Opini | 30 April 2020, 12:47 WIB
Bunga Lily (Sumber: Pixabay)

Orang cenderung menunjukkan tingkat kesukuan tertentu dalam kehidupan. Hal itu juga terjadi dalam politik, olah raga, teori konspirasi, dan banyak lagi.  Seringkali lebih mudah untuk membuat narasi yang sesuai dengan zona kenyamanan, kapasitas intelektual, atau ideologi seseorang. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa pandangan rasis atau xenofobik akan muncul dari ketakutan dan kecenderungan mempertahankan diri.

Di awal mula, sikap anti-Asia (orang-orang Asia) juga muncul di Inggris. Bahkan, di Perancis, surat kabar Le Courier Picard menjadi sasaran kritik dan kecaman karena menurunkan berita utama berjudul “Alerte jaune” atau “Yellow Alert” (Siaga Kuning),  meminjam istilah menghina dan rasis dunia Barat masa lalu yakni “Le peril jaune?” atau “Yellow Peril?” (Bahaya Kuning?), lengkap dengan wajah seorang perempuan China yang mengenakan masker. 

Untuk melawan tindakan itu, orang-orang Asia di Perancis   melawan di media sosial dengan  hashtag JeNeSuisPasUnVirus, Saya bukan virus. 

Kambing Hitam

Sikap-sikap semacam tersebut di atas, xenophobia dan rasisme, adalah bagian dari mencari kambing hitam. Sebuah sikap yang cenderung menuding pihak lain sebagai yang bertanggung jawab; sikap tak berani bertanggung jawab. 

Dengan kata lain menunjukkan rendahnya integritas. Selain itu, menunjukkan rendahnya kualias kejujuran. Oleh karena tidak berani mengakui, menceritakan kebenaran kepada orang lain. Tetapi memilih untuk menyalahkan orang lain; menjadikan orang lain sebagai kambing hitam.

Kebiasaan menuding orang lain lain, bukan hanya menunjukkan tiadanya sikap ksatria, tetapi juga mengurangi kesadaran terhadap akar masalah. Jika seseorang mengalami frustrasi dan tidak dapat menemukan alasannya atau tidak dapat mengatasi sumber penyebab dari frustrasi itu, orang akan mencari kambing-hitam untuk dijadikan sasaran prasangka dan agresinya.

Apa yang terjadi di negeri ini, Indonesia (untungnya) tidak sampai pada sikap xenophobia dan rasisme. Semoga tetap hidup kesadaran bahwa Indonesia menjadi karena keberagaman dalam segala hal: suku, etnis, ras, agama, bahasa, budaya, tradisi dan sebagainya. Mengingkari keberagaman berarti mengingkari ke-Indonesiaan. Kemajemukan itu adalah kekuatan Indonesia.

Akan tetapi, kejadian di sejumlah wilayah beberapa waktu lalu, misalnya penolakan terhadap enam perawat sebuah rumah sakit di Palembang untuk pulang ke tempat kosnya, adalah juga sikap yang tidak hanya kurang tetapi tidak terpuji. Juga penolakan pemakaman jenazah korban Covid-19 oleh warga di beberapa wilayah adalah bentuk  dari rendahnya rasa kemanusiaan, sebuah tindakan tidak berdasarkan alasan-alasan yang rasional, tidak berdasarkan akal sehat, dan pikiran waras.

Oleh karena itu, masyarakat perlu diberikan pemahaman yang sederhana tetapi jelas tentang dimensi krisis dan kebijakan dan keputusan politik pemerintah. 

Tidak kalah penting adalah (kalau masih ada) menghentikan dan melarang pernyataan para pejabat pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat maupun agama yang simpang siur, meremehkan keadaan dan melemahkan kewaspadaan masyarakat serta tidak sejalan dengan agenda pemerinah untuk percepatan penanganan Covid-19.*

Tulisan ini telah tayang di Triaskun.id pada 30 April 2020. Selengkapnya bisa dibaca di sini

Penulis : Tito-Dirhantoro

Sumber : Kompas TV


TERBARU