> >

Mungkinkah Merdeka dari Korupsi?

Opini | 17 Agustus 2021, 14:36 WIB
Ilustrasi korupsi (Sumber: s3images.coroflot.com)

Oleh Endang Tirtana, Peneliti Maarif Institute Jakarta

JAKARTA, KOMPAS.TV- Persoalan terbesar yang menjadi catatan serius dalam perjalanan kita sebagai sebuah bangsa adalah korupsi. Satu kata yang sering dianggap biasa dan tindakan wajar. Bahkan ada yang menyebut korupsi sebagai minyak pelumas pembangunan, sinonim dengan ungkapan “uang pelicin”.

Korupsi telah menjatuhkan Orde Baru dan melahirkan era reformasi. Tindakan korupsi selama Orde Baru telah menghancurkan cita-cita bangsa untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Kekayaan negara hanya dinikmati segelintir orang yang dekat dengan kekuasaan. Kedekatan itu dipelihara melalui praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Reformasi kemudian datang, menawarkan semangat untuk membangun bangsa yang bebas dari korupsi.

Baca Juga: Sidang Korupsi Bansos Covid-19, Jaksa KPK Sebut Matheus Joko Penuhi Syarat Jadi Justice Collaborator

Lalu, setelah Orde Baru tumbang, sudahkah kita bebas dari korupsi? Satu pertanyaan yang mungkin tidak akan pernah mendapat jawaban. Faktanya, korupsi berjangkit dan menular seperti virus corona.

Virus itu terus bermutasi dan memunculkan varian-varian baru yang semakin mematikan. Belum ada tanda-tanda adanya obat atau vaksin yang betul-betul bisa menangkal supaya virus itu tidak terus-menerus menular. 

Lihat saja, bagaimana bantuan sosial yang diberikan oleh negara dalam keadaan bencana pandemi Covid-19 pun menjadi lahan korupsi. Fakta tak terbantahkan, bahwa perilaku korupsi tidak lagi menyisakan lagi sedikit pun nilai-nilai kemanusian.

Indeks persepsi korupsi pada 2020 turun, membuat Indonesia melorot menjadi peringkat 102 dari 180 negara. Pada 2019, Indonesia masih menempati peringkat 85. Persepsi publik yang ditangkap oleh lembaga-lembaga survei pun mengatakan bahwa korupsi makin marak belakangan.

Survei yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) mencatat 55 persen responden menilai korupsi pada 2020 lebih banyak dibanding tahun lalu. Sedangkan LSI merilis hasil survei, bahwa 60 persen publik nasional menilai bahwa tingkat korupsi meningkat dalam dua tahun terakhir.

Baca Juga: Kasus Korupsi PT Asabri Memasuki Babak Baru, 8 Terdakwa Jalani Sidang Dakwaan

Lalu bagaimana dengan tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga pemberantasan korupsi? Menurut hasil survei Indostrategic yang dirilis pada 3 Agustus 2021, KPK hanya menempati urutan kelima di antara lembaga-lembaga yang dipercaya publik dengan skor 73,4 persen.

Angkanya tidak berbeda jauh dengan survei KedaiKOPI, di mana KPK meraih 76,2 persen. Survei yang dirilis pada 12 Agustus 2021 itu masih menempatkan KPK pada urutan pertama paling dipercaya publik dibanding lembaga penegak hukum lainnya, yaitu pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian.

Berbagai indikator tersebut menjadi peringatan serius kepada pemerintah dan semua pihak, agar tidak abai terhadap praktik korupsi maupun pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi. Konsistensi dan ketegasan harus ditunjukkan dalam tindakan-tindakan untuk memberantas korupsi. Tindakan tegas berupa hukuman maksimal bukan mengurangi tuntutan dan hukuman. 

Korupsi Kader Parpol

Salah satu masalah utama dalam pemberantasan korupsi adalah partai politik. Partai politik memiliki peran menumbuhsuburkan praktik korupsi, dengan tidak melalukan seleksi secara ketat dalam proses rekrutmen kader-kader yang ditempatkan di lembaga legislatif dan eksekutif.

Banyak di antara pelaku korupsi berasal dari kader partai. Sebut saja sosok Juliari Batubara dan Edhy Prabowo yang menjadi sorotan publik, merupakan figur dari dua partai utama dalam koalisi pemerintahan saat ini.

Partai sebagai instrumen politik untuk mengawal keberlangsungan demokrasi semestinya memiliki komitmen yang kuat pula dalam perjuangan membebaskan diri dari belenggu korupsi yang melilit bangsa ini.

Perlawanan terhadap korupsi menjadi tanggung jawab bersama. Rakyat harus memberikan “hukuman politik” kepada partai-partai dan pemimpin yang telah melakukan tindakan korupsi. Jika tidak, maka korupsi akan terus menjadi virus yang berkembang biak.

Partai-partai dan pemimpin selalu menganggap besar rasa, seolah-olah rakyat memafhumi tindakan mereka. Mereka merasa yakin, toh pada setiap pelaksanaan pemilu rakyat akan memberikan dukungan kembali kepada mereka.

Penulis : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU