> >

Mengecam Aksi Terorisme, Justru Menjadi Pupuk?

Opini | 2 April 2021, 07:00 WIB
Ilustrasi: Terorisme. (Sumber: Shutterstock/Kompas.com)

Oleh: Usman Abdhali Watik, Alumni Pascasarjana Ilmu Komunikasi UI dan pernah Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat 2011-2013

Terorisme dibahas di mana-mana saat ini, analisis pakar dari berbagai disiplin ilmu, pegiat media sosial, aktivis kemanusiaan dan awam sekalipun, cenderung amat sangat menyederhanakan persoalan, jika bukan sekedar inferensi sederhana. Buktinya adalah munculnya berbagai ungkapan prihatin yang disertai dengan kutukan (baca: sumpah serapah). Sambil sesekali menyatakan semoga ini jadi yang terakhir (dulu waktu peristiwa serupa terjadi juga keluar pernyatan itu, lalu dimana akhirnya?)

Prihatin boleh jadi harus, sebagai rasa empati kepada korban aksi terorisme. Bagaimana dengan kutukan atau kecaman, menurut saya perlu dilihat dengan kepala yang bersih dari lompatan penilaian liar yang dibumbui apriori dan hati yang dingin. Sebab jika tidak, kutukan/kecaman malah justru menjadi pupuk bagi bersemainya (inkubasi) pikiran-pikiran yang selama ini dianggap sesat oleh mayoritas penduduk dunia.

Dari perspektif psikologi komunikasi - disiplin yang mempelajari faktor-faktor yang memengaruhi perilaku manusia dari sudut komunikasi - , setidaknya ada beberapa alasan mengapa kutukan bisa menjadi pupuk:

Watak dasar manusia selalu resisten dengan pernyataan-pernyataan yang bernada menyalahkan, sekalipun sudah  terbukti secara nyata memang salah, mengapa karena kognisi manusia (sebuah ruang dimana percakapan internal berlangsung diam-diam, intra personal communication, atau dialog internal) selalu mencari keseimbangan mental di benaknya, begitu terjadi ketidakselarasan antara apa yang ada di benaknya dengan keadaan sekitarnya (termasuk pernyataan orang lain), maka ia akan mencari keseimbangan baru dengan cara mengabaikan, melawan balik dengan pernyataan yang lebih keras, sampai berujung dendam.

Inilah yang disebut gejala cognitive dissonance (ketidakseimbangan kognisi). Ilustrasi sederhananya adalah fenomena pengendara di jalan raya yang kena tilang, mayoritas pelanggar berbalik melawan aparat dengan ungkapan membenarkan dirinya, padahal sudah terbukti melanggar, salah satu motifnya adalah agar “tak kehilangan muka”.

Ketika masyarakat mengutuk keras pelaku terorisme, yang terjadi hanyalah kepuasan sementara setelah itu kosong. Mengapa? Karena lahir dari luapan emosi tanpa perspektif sama sekali. Katakanlah kita mengatakan mereka sesat, korban propaganda ISIS, teroris bodoh, hanya nyetor nyawa, atau diksi lainnya yang lebih tajam, semua itu hanya menambah dosis kegeraman mereka (baik jaringan teroris maupun simpatisan) terhadap masyarakat yang mengecam. Apalagi mereka membangun proses internalisasi nilai-nilai agama yang dianggap benar itu sebagai “keyakinan yang tak tergoyahkan” bahwa inilah cara kami menggapai surga.

Adanya pergolakan antara “private meaning” dan “shared meaning”.

Komunikasi terjadi jika antara saya dan Anda terjadi kesamaan pengertian akan makna sebuah kata. Sering terjadi pertengkaran sengit yang hanya dipicu oleh kata-kata yang nilainya sepele karena masing-masing orang punya makna individual (private meaning).

Bagi sebagian orang kata “saya” lebih halus dari kata “aku”, demikian pula kata “babu”, “pembantu”, “jongos”, “pesuruh”, “asisten rumah tangga” atau kata “mati”, “mampus”, “tewas”, meninggal”, “wafat”, “gugur”. Mengapa satu kata dimaknai berbeda oleh orang yang berbeda karena kata  tak memiliki makna, manusialah yang memberi makna (words don’t mean, people mean).

Penulis : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas TV

Tag

TERBARU