> >

Serangan Drone AS yang Tewaskan Ayman Al Zawahiri Langgar Hukum Internasional? Ini Penjelasannya

Kompas dunia | 12 Agustus 2022, 18:45 WIB
Seorang kontraktor dari General Atomics memasang rudal Hellfire pada drone MQ-1C Gray Eagle di Camp Taji, Irak pada 27 Februaari 2011. Pada 2 Agustus 2022, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengumumkan tewasnya pemimpin Al Qaidah, Ayman Al Zawahiri, dalam sebuah serangan drone yang dilancarkan CIA ke Kabul, Afghanistan. (Sumber: Jason Sweeney/U.S. Army via AP)

JAKARTA, KOMPAS.TV Pada 1 Agustus 2022, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengumumkan terbunuhnya pemimpin Al Qaeda, Ayman Al Zawahiri, dalam sebuah serangan drone yang dilancarkan CIA ke Kabul, Afghanistan.

“Keadilan telah diwujudkan dan pemimpin teroris ini tidak ada lagi,” kata Biden dalam sebuah pidato di luar Gedung Putih.

Biden mengatakan, seperti dikutip dari CNN, Zawahiri sedang berada di pusat kota Kabul untuk berkumpul kembali dengan keluarganya, ketika serangan dilancarkan.

Pria Mesir yang baru saja genap berusia 71 tahun itu terbunuh dalam serangan drone yang menggunakan dua rudal Hellfire, menurut seorang pejabat senior AS.

Taliban yang kini menguasai Afghanistan, melalui juru bicaranya, Zabihullah Mujahid, mengatakan dalam serangkaian cuitan, “Sebuah serangan udara dilancarkan ke sebuah rumah di daerah Sherpur, Kabul pada 31 Juli.”

Baca Juga: Kronologi Tewasnya Ayman al-Zawahiri, Bos Al Qaeda yang Dituding Pembunuh Ribuan Umat Islam

Pemerintah Afghanistan di bawah Taliban yang menyebut diri sebagai Emirat Islam Afghanistan, mengutuk serangan tersebut.

Mujahid mengatakan pihaknya “mengecam keras serangan ini dengan alasan apapun dan menyebutnya sebagai pelanggaran yang jelas terhadap prinsip-prinsip internasional dan Kesepakatan Doha.”

Zawahiri disebut membantu merencanakan serangan-serangan 11 September 2001 di AS yang menewaskan hampir 3.000 orang.

“Meski demikian, pembunuhannya sekitar 21 tahun kemudian, membutuhkan pembenaran hukum di bawah hukum internasional,” ujar Craig Martin, profesor hukum di Washburn University School of Law, Kansas, AS, dalam sebuah tulisan di laman Just Security.

Di samping itu, Martin berpendapat, serangan drone pada 31 Juli tersebut merupakan penggunaan kekuatan (use of force) terhadap Afghanistan, negara yang tidak sedang terlibat konflik bersenjata dengan AS.

“Ini juga membutuhkan pembenaran hukum,” tulisnya.

Penggunaan Kekuatan terhadap Individu

Martin menggarisbawahi penggunaan kekuatan mematikan (use of lethal force) terhadap seorang individu.

Menurutnya, agar sebuah penggunaan kekuatan yang mematikan tidak menjadi pembunuhan atau pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing), mesti ada dasar hukumnya.

Hukum humaniter internasional, kata Martin, mengizinkan atau setidaknya memberikan imunitas, atas penggunaan kekuatan mematikan terhadap individu-individu tertentu yang terlibat dalam konflik bersenjata.

Kombatan, kata dia, dapat menjadi target serangan atas dasar status mereka.

“Al Zawahiri tidak termasuk kombatan sesuai dengan kriteria-kriteria kombatan dalam sebuah konflik bersenjata internasional.”

“Dia hanya dapat ditargetkan jika, dan saat dia terlibat langsung dalam permusuhan.”

Martin mengungkapkan, Komite Palang Merah Internasional (ICRC) mendukung pandangan yang berpendapat bahwa dalam beberapa kondisi, anggota kelompok bersenjata dalam suatu konflik bersenjata non-internasional, dapat dipandang terlibat dalam “fungsi pertempuran secara terus-menerus.”

Sehingga, membuatnya dapat menjadi target.

“Tapi perlu dicatat bahwa ini menargetkan atas dasar fungsi, dan hanya untuk waktu saat mereka terus memegang fungsi ini,” kata Martin.

Baca Juga: AS Tembak Rudal Pemimpin Al Qaeda Secara Presisi, Intelijen Berperan Vital

Meski demikian, sambungnya, harus ada bukti solid yang menunjukkan Zawahiri terlibat langsung dalam permusuhan, atau dia masih terlibat dalam fungsi pertempuran.

Martin mengatakan, jika tidak ada konflik bersenjata dan operasi hukum humaniter internasional, maka yang berlaku adalah hukum pidana AS dan undang-undang hak asasi manusia (HAM) internasional.

Standar penggunaan kekuatan mematikan, baik sebagai pembenaran untuk melanggar hak untuk hidup di bawah undang-undang HAM maupun sebagai pembelaan atas tuduhan pembunuhan di bawah hukum pidana AS, membutuhkan bukti-bukti yang kuat.

Bukti-bukti itu harus menunjukkan adanya ancaman kematian atau cedera mengerikan yang segera terjadi, baik bagi pengguna kekuatan atau pihak yang dilindungi oleh pengguna kekuatan.

“Tapi di sini juga, tidak ada otoritas hukum dalam hukum internasional untuk membunuh teroris berdasarkan keanggotaan mereka dalam suatu organisasi teroris, atau status mereka sebagai ‘teroris’,” kata Martin.

Baca Juga: Setelah Bunuh Bos Al Qaeda, AS Minta Warganya Waspadai Serangan Balik

Dia mengatakan, pemerintah AS sejak lama sudah mengambil posisi bahwa kewajiban-kewajibannya dalam HAM di bawah Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, termasuk hak untuk hidup, tidak berlaku di luar wilayahnya.

“Dengan kata lain, dia (pemerintah AS) tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas pelanggaran terhadap hak untuk hidup Zawahiri karena dia (Zawahiri) tidak berada ‘di dalam teritori dan di bawah yurisdiksi’ Amerika Serikat.”

Penggunaan Kekuatan terhadap Afghanistan

Dalam esainya, Martin juga menyorot penggunaan kekuatan terhadap Afghanistan, negara yang sedang tidak terlibat konflik bersenjata dengan AS.

“Jika Amerika Serikat terlibat dalam konflik bersenjata internasional dengan Afghanistan, seperti pada 2001-2002, maka serangan itu (terhadap Zawahiri) dapat disebut bagian dari permusuhan itu,” katanya.

Sama halnya jika AS terlibat konflik bersenjata non-internasional dalam wilayah Afghanistan, dengan persetujuan dari pemerintah Afghanistan, seperti yang terjadi dalam dua dekade terakhir, serangan itu, kata Martin, dapat disebut bagian dari permusuhan.

Masalahnya, kata dia, pasukan AS sudah ditarik mundur dari Afghanistan pada 2021 lalu dan perang di sana sudah berakhir.

“Sebuah serangan rudal dari suatu drone yang menewaskan orang-orang dalam wilayah sebuah negara merupakan penggunaan kekuatan terhadap negara tersebut, kecuali negara itu telah memberikan persetujuan atas serangan tersebut,” kata Martin.

Ia mengatakan penggunaan kekuatan tanpa persetujuan dari negara yang menjadi target, dilarang di bawah Pasal 2 (4) Piagam PBB, kecuali diizinkan oleh Dewan Keamanan PBB.

Baca Juga: Serangan Drone AS Tewaskan Anak-Anak, Warga Afghanistan Berang

Martin menegaskan bahwa ia tidak mengeklaim bahwa serangan terhadap Zawahiri melanggar hukum dalam kerangka hukum internasional.

“Tapi ini … memunculkan pertanyaan-pertanyaan serius yang mesti dijawab untuk menyatakan baik pembunuhannya (Zawahiri) maupun penggunaan kekuatan terhadap Afghanistan, bukan pelanggaran hukum internasional.”

Berbeda dengan Martin, Marjorie Cohn, professor emeritus di Thomas Jefferson School of Law, California, AS, dengan tegas menilai serangan drone terhadap Zawahiri adalah ilegal.

“Fakta bahwa Zawahiri tidak menimbulkan ancaman yang segera terjadi adalah alasan pembunuhannya ilegal,” tulis Cohn dalam tulisannya di laman LA Progressive.

Dia mengatakan, pembunuhan yang ditargetkan atau yang bersifat politis, merupakan eksekusi di luar proses hukum (extrajudicial executions).

Eksekusi di luar proses hukum, kata Cohn, dilarang menurut Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh AS.

Seorang warga Afghanistan tampak tengah memeriksa kerusakan akibat serangan drone militer AS di sebuah rumah di Kabul, Afghanistan, Senin (13/9/2021). (Sumber: AP Photo/Bernat Armangue, File)

Cohn juga menyatakan pembunuhan yang disengaja merupakan pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa dan dapat dihukum sebagai sebuah kejahatan perang di bawah hukum AS sendiri yaitu Undang-Undang Kejahatan Perang.

“Pembunuhan yang ditargetkan dinyatakan sah hanya ketika dianggap diperlukan untuk melindungi nyawa, dan tidak ada cara lain (termasuk penangkapan atau pelumpuhan yang tidak mematikan) yang tersedia untuk melindungi nyawa,” tulisnya.

Jumlah Korban Serangan Drone AS

Cohn mendesak AS mengakhiri ‘perang global melawan teror’. Serangan-serangan drone, kata dia, telah meneror dan membunuh banyak warga sipil dan membuat AS semakin rentan terhadap serangan terorisme.

Menurut kelompok pemantau yang berpusat di Inggris, Airwars, sejak 2001, serangan drone dan udara AS telah mengakibatkan sedikitnya 22.679 warga sipil tewas. Angka tersebut berpotensi mencapai 48.308 warga sipil.

“Jarak antara dua angka ini mencerminkan banyaknya yang kita tidak ketahui tentang korban warga sipil dalam perang,” tulis Airwars dalam analisis yang dirilis pada 6 September 2021.

“Kami menemukan bahwa AS telah mengumumkan sedikitnya 91.340 serangan di tujuh zona konflik besar.”

Ketujuh zona konflik itu adalah Irak, Suriah, Afghanistan, Somalia, Yaman, Pakistan, dan Libya. 

 

Penulis : Edy A. Putra Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Kompas TV


TERBARU